Eropa Gugat RI Soal Bijih Nikel, Pengusaha: Setop Beli Airbus

Muhamad Choirul, CNBC Indonesia
22 December 2019 08:41
RI digugat Eropa karena larangan ekspor biji nikel
Foto: Airbus A330-900
Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan dagang Indonesia danĀ Uni Eropa memang sedang tidak adem ayem. Indonesia digugat oleh Uni Eropa soal laranganĀ ekspor bijih nikel ke WTO, sebaliknya Indonesia menggugat Uni Eropa soal diskriminatif terhadap sawit Indonesia.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) angkat suara. Mereka menilai langkah Indonesia menggugat Uni Eropa tidak akan cukup efektif. Hipmi mengusulkan Indonesia menghentikan pembelian sebanyak 313 pesawat komersil Airbus yang sudah dipesan kepada Prancis, sebagai posisi tawar. Hal ini sempat juga disinggung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bahwa Indonesia pembeli terbanyak Airbus.


"Kita usul gertak saja dengan menghentikan pesanan sebanyak 313 Airbus yang kita pesan ke Prancis," kata Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H. Maming dalam keterangan resminya, Jumat (20/12).

Maming mengatakan, total pesanan pesawat Indonesia ke Airbus saat ini sebanyak 313 unit. Yang telah selesai dibuat mencapai 95 unit. Dengan rincian, Citilink sebanyak 25 unit, Garuda 58 unit, dan terbanyak oleh Lion Air 230 unit.

"Kita adalah pemborong pesawat terbesar di Airbus," ujar Maming.

Ia berpendapat posisi tawar Indonesia yang sudah memesan banyak pesawat dari Prancis, namun Eropa tidak berbuat sesuatu yang dapat membantu penyelesaian masalah diskriminasi CPO Indonesia di Eropa. Padahal, suara Prancis sangat berpengaruh besar di parlemen Eropa. Sebab negara memiliki kursi terbanyak.

"Jadi, buat apa kita baik-baikan sama dia. Dia enggak bantu-bantu. Malah ikut ngompor-ngomporin CPO kita," ujar Maming.

Maming mengatakan, kontribusi pembelian pesawat Indonesia sangat besar dibandingkan ekspor sawit Indonesia ke Eropa. Diperkirakan pembelian pesawat ke Airbus mencapai US$ 42,8 miliar atau sebesar Rp 599 triliun. Sedangkan ekspor Sawit Indonesia tahun 2018 sebesar Rp 4 miliar hingga 5 miliar.


"Tidak sebanding dengan kontribusi devisa kita ke dia. Meskipun itu realisasinya bertahap," ujar Maming.

Apa yang menjadi usulan Maming nyatanya bukan perkara mudah, karena pembelian pesawat bersifar business to business (b to b) antara produsen Airbus dengan maskapai penerbangan di Indonesia, bukan urusan pemerintah. Lion Air misalnya, salah satu pembeli terbanyak Airbus, mengambil sikap berhati-hati, soal ide pembatalan pembelian pesawat.

Managing Director Lion Group Daniel Putut Kuncoro Adi, sulit percaya bahwa Airbus akan dilarang berjualan di Indonesia. Ia menilai soal pernyataan pemerintah bagian dari urusan politik.

"Ah enggak lah. Itu kebijakan politik. Kita enggak mungkin bisa sampai dilarang begitu, kan pasti risikonya panjang," ungkap Daniel Putut kepada CNBC Indonesia ketika ditemui di Jakarta.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia beberapa kali mengaku tidak akan tinggal diam dengan diskriminasi yang tengah dilakukan Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam menyikapi perlakukan Uni Eropa tersebut.

"Tentunya, Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menyikapi diskriminasi ini," kata Jokowi dalam kesempatan saat menerima kunjungan delegasi Dewan Bisnis Uni Eropa - ASEAN (EU - ASEAN Business Council).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengingatkan Eropa untuk tidak main-main terhadap Crude Palm Oil (CPO) Indonesia, apalagi Indonesia juga konsumen besar Airbus, pesawat pabrikan Perancis.

"Kami ingatkan, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat. Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di Eropa," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis.

Masalah diskriminasi harus segera diselesaikan terutama jika Eropa mendorong CEPA atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa. Apalagi untuk biofuel, pasar Indonesia di Eropa US$ 650 juta dan kerja sama perdagangan US$ 31 miliar.

"Jadi jangan sampai US$ 650 juta itu mengganggu bilateral dengan EU," kata Airlangga.

Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, total order pesawat Airbus dari Indonesia hingga Oktober 2019 mencapai 313 unit sedangkan total delivery mencapai 95 unit. Indonesia menyumbang 5,7% dari total order di kawasan Asia Pasifik. Dari total pemesanan tersebut, maskapai penerbangan Citilink memesan 25 unit, Garuda 58 unit dan terbanyak Lion Air 230 unit.

Jika semua order tersebut dijumlahkan maka nominalnya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau setara dengan Rp 599,4 triliun. Jumlah yang sangat fantastis tentunya. Sebagai tambahan informasi pada 2018 Airbus berhasil mencatatkan pendapatan sebesar US$ 70,4 miliar.

Memang order tersebut tak mungkin dibayar langsung kontan. Namun jika benar RI menggunakan peluru ini untuk menggertak Eropa tentu akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar Airbus di Asia Pasifik hingga 5%. Penurunan market share hingga 5% bukan jumlah yang kecil.

Jika dibandingkan dengan ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2018, jumlahnya lebih kecil dibanding pembelian Airbus. Pada 2018 Indonesia mengekspor sawit hingga 4,8 juta ton ke Eropa dengan perkiraan nilai mencapai US$ 4 miliar - US$ 5 miliar. Pasar Eropa menyumbang 18,75% pangsa pasar minyak sawit RI.

Menanggapi ini, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket mengatakan bahwa apa yang dilakukan UE terhadap sawit Indonesia bukanlah sebuah bentuk diskriminasi. Namun lebih kepada upaya penyelamatan lingkungan, mengingat banyaknya lahan yang digunakan untuk bertani sawit di Indonesia.

"Kami tahu betul betapa pentingnya sektor minyak kelapa sawit bagi perekonomian Anda, untuk pekerjaan Anda dan kehidupan di daerah pedesaan. Kami berada di pihak Anda. Juga, sangat tertarik pada minyak sawit. Hampir setengah dari impor minyak kelapa sawit kami berasal dari Indonesia," jelasnya saat diwawancarai CNBC Indonesia.

Menurutnya, tidak ada larangan impor minyak sawit ke Uni Eropa, namun pihaknya mencoba memastikan minyak sawit dan biodiesel yang diperoleh bersifat keberlanjutan. Pasalnya, Eropa tidak tidak tinggal diam membiarkan CPO Indonesia yang kurang memenuhi standar berkelanjutan.

[Gambas:Video CNBC]





(sef/sef) Next Article RI Korban Baru Perang Rusia-Ukraina, Ini Dampak Paling Terasa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular