
INTERNASIONAL
Mengenal UU 'Anti Muslim' yang Buat India Gempar
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
17 December 2019 12:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Belakangan ini India sedang dihebohkan dengan keluarnya Undang-Undang (UU) yang memberikan kewarganegaraan kepada kelompok minoritas agama, kecuali Muslim.
UU baru tersebut didorong melalui Parlemen India oleh partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) dan diratifikasi oleh Presiden Ram Nath Kovind pada 12 Desember lalu.
Para kritikus melihat bahwa langkah itu adalah bagian dari agenda supremasi Hindu yang didorong oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, sejak ia berkuasa enam tahun silam.
Lalu bagaimana UU ini bisa muncul ke permukaan?
Cerita diawali oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri Amit Shah yang merupakan orang kepercayaan dekat Modi.
November lalu, ia mengumumkan bahwa negara itu akan mulai menjalankan penghitungan warga negaranya untuk menyingkirkan imigran tanpa dokumen dari negara-negara tetangga.
Dalam payung National Register of Citizens (NRC), hal ini juga dilakukan di negara bagian timur laut yakni Assam, di mana hampir dua juta orang tidak dimasukkan dalam daftar warga negara pada Agustus.
Namun sebenarnya, UU yang dinamakan Amademen Kewarganegaraan ini bukan hal yang benar-benar baru.
UU tersebut pertama kali diperkenalkan di Parlemen India pada Juli 2016, untuk mengubah UU Kewarganegaraan 1955 dengan menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) saat itu disahkan di majelis rendah di parlemen bernama Lok Sabha pada Januari 2019. Namun, tidak dapat diserahkan ke majelis tinggi karena banyaknya protes.
Kemudian RUU itu dengan cepat menuai kritikan karena dianggap mendiskriminasi Muslim dalam mendapat kewarganegaraan.
Bahkan RUU ini disamakan dengan aturan di negeri paman Sam yang dibuat Presiden AS Donald Trump, di mana Muslim dari beberapa negara dilarang mencari suaka di Amerika Serikat.
Sejalan dengan kritikus, pakar hukum juga berpendapat bahwa itu UU Amademen Kewarganegaraan melanggar Pasal 14 tentang konstitusi, yang menjamin hak atas kesetaraan.
Faizan Mustafa, seorang ahli hukum konstitusional, telah menyebut undang-undang itu "sangat regresif" dan melanggar konstitusi.
"Konstitusi kami melarang diskriminasi berdasarkan agama. Dengan membedakan imigran ilegal berdasarkan agama, undang-undang yang diusulkan melanggar struktur dasar konstitusi India," kata Mustafa yang juga Wakil Rektor Universitas Hukum NALSAR di Hyderabad, seperti dilansir dari Al Jazeera, Selasa (17/12/2019).
"Jika pemerintah India, melalui RUU ini, ingin memberikan kewarganegaraan kepada minoritas teraniaya di negara-negara tetangga, bagaimana bisa mengecualikan Rohingya dari Myanmar yang jauh lebih teraniaya daripada kelompok lain di lingkungan itu," katanya.
"Demikian pula, bagaimana kita bisa mengecualikan Ahmadiyah dan Syiah dari Pakistan dan Bangladesh dan Hazara dari Afghanistan."
Namun pemerintah, bagaimanapun tetap mengatakan bahwa undang-undang itu dapat memberikan kewarganegaraan kepada minoritas yang menghadapi penganiayaan agama di negara-negara mayoritas Muslim tetangga.
"Argumen bahwa RUU ini diskriminatif tidak dapat diterapkan karena masalahnya bukan tentang warga negara India," kata Juru Bicara BJP Nalin Kohli.
"RUU itu untuk komunitas minoritas Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen yang karena pemisahan tidak bisa datang ke India dan menderita penganiayaan di negara mereka sendiri," jelasnya.
"Mengenai Muslim, ada negara yang dibentuk khusus untuk mereka."
Sejak di-sahkan aksi protes terjadi di beberapa negara bagian timur India seperti Assam, Tripura dan Benggala Barat. Di lokasi itu juga terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pihak kepolisian.
Akibat kerusuhan itu, dari data Aljazeera, dua orang tewas dan beberapa lainnya mengalami luka. Kebanyakan pendemo adalah mahasiswa.
Pada awal pekan ini, demonstrasi yang berujung bentrok juga terjadi di New Dehli. Berdasarkan laporan BBC, ratusan orang memenuhi ibu kota India itu untuk berdemo.
Awalnya demo terjadi di Universitas Jamia Millia Islamia. Namun menjalar ke sejumlah kampus seperti Universitas Jawaharlal Nehru. Polisi pun menembakkan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa.
Melihat kekerasan yang terus terjadi Perdana Menteri India Modi meminta massa tetap tenang. "Ini waktunya untuk kembali damai, bersatu dan saling bersaudara," ujarnya ditulis media Inggris itu.
"Warga India tidak perlu khawatir atas undang-undang ini. UU ini hanya untuk mereka yang menghadapi persekusi dan tak ada tempat berlari selain ke India."
(sef/sef) Next Article India Geger, Pemerintah Sahkan UU 'Anti Muslim'
UU baru tersebut didorong melalui Parlemen India oleh partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) dan diratifikasi oleh Presiden Ram Nath Kovind pada 12 Desember lalu.
Para kritikus melihat bahwa langkah itu adalah bagian dari agenda supremasi Hindu yang didorong oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, sejak ia berkuasa enam tahun silam.
Cerita diawali oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri Amit Shah yang merupakan orang kepercayaan dekat Modi.
November lalu, ia mengumumkan bahwa negara itu akan mulai menjalankan penghitungan warga negaranya untuk menyingkirkan imigran tanpa dokumen dari negara-negara tetangga.
Dalam payung National Register of Citizens (NRC), hal ini juga dilakukan di negara bagian timur laut yakni Assam, di mana hampir dua juta orang tidak dimasukkan dalam daftar warga negara pada Agustus.
Namun sebenarnya, UU yang dinamakan Amademen Kewarganegaraan ini bukan hal yang benar-benar baru.
UU tersebut pertama kali diperkenalkan di Parlemen India pada Juli 2016, untuk mengubah UU Kewarganegaraan 1955 dengan menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) saat itu disahkan di majelis rendah di parlemen bernama Lok Sabha pada Januari 2019. Namun, tidak dapat diserahkan ke majelis tinggi karena banyaknya protes.
Kemudian RUU itu dengan cepat menuai kritikan karena dianggap mendiskriminasi Muslim dalam mendapat kewarganegaraan.
Bahkan RUU ini disamakan dengan aturan di negeri paman Sam yang dibuat Presiden AS Donald Trump, di mana Muslim dari beberapa negara dilarang mencari suaka di Amerika Serikat.
Sejalan dengan kritikus, pakar hukum juga berpendapat bahwa itu UU Amademen Kewarganegaraan melanggar Pasal 14 tentang konstitusi, yang menjamin hak atas kesetaraan.
Faizan Mustafa, seorang ahli hukum konstitusional, telah menyebut undang-undang itu "sangat regresif" dan melanggar konstitusi.
"Konstitusi kami melarang diskriminasi berdasarkan agama. Dengan membedakan imigran ilegal berdasarkan agama, undang-undang yang diusulkan melanggar struktur dasar konstitusi India," kata Mustafa yang juga Wakil Rektor Universitas Hukum NALSAR di Hyderabad, seperti dilansir dari Al Jazeera, Selasa (17/12/2019).
"Jika pemerintah India, melalui RUU ini, ingin memberikan kewarganegaraan kepada minoritas teraniaya di negara-negara tetangga, bagaimana bisa mengecualikan Rohingya dari Myanmar yang jauh lebih teraniaya daripada kelompok lain di lingkungan itu," katanya.
"Demikian pula, bagaimana kita bisa mengecualikan Ahmadiyah dan Syiah dari Pakistan dan Bangladesh dan Hazara dari Afghanistan."
Namun pemerintah, bagaimanapun tetap mengatakan bahwa undang-undang itu dapat memberikan kewarganegaraan kepada minoritas yang menghadapi penganiayaan agama di negara-negara mayoritas Muslim tetangga.
"Argumen bahwa RUU ini diskriminatif tidak dapat diterapkan karena masalahnya bukan tentang warga negara India," kata Juru Bicara BJP Nalin Kohli.
"RUU itu untuk komunitas minoritas Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi dan Kristen yang karena pemisahan tidak bisa datang ke India dan menderita penganiayaan di negara mereka sendiri," jelasnya.
"Mengenai Muslim, ada negara yang dibentuk khusus untuk mereka."
Sejak di-sahkan aksi protes terjadi di beberapa negara bagian timur India seperti Assam, Tripura dan Benggala Barat. Di lokasi itu juga terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pihak kepolisian.
Akibat kerusuhan itu, dari data Aljazeera, dua orang tewas dan beberapa lainnya mengalami luka. Kebanyakan pendemo adalah mahasiswa.
Pada awal pekan ini, demonstrasi yang berujung bentrok juga terjadi di New Dehli. Berdasarkan laporan BBC, ratusan orang memenuhi ibu kota India itu untuk berdemo.
Awalnya demo terjadi di Universitas Jamia Millia Islamia. Namun menjalar ke sejumlah kampus seperti Universitas Jawaharlal Nehru. Polisi pun menembakkan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa.
Melihat kekerasan yang terus terjadi Perdana Menteri India Modi meminta massa tetap tenang. "Ini waktunya untuk kembali damai, bersatu dan saling bersaudara," ujarnya ditulis media Inggris itu.
"Warga India tidak perlu khawatir atas undang-undang ini. UU ini hanya untuk mereka yang menghadapi persekusi dan tak ada tempat berlari selain ke India."
(sef/sef) Next Article India Geger, Pemerintah Sahkan UU 'Anti Muslim'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular