2020 Penuh Onak Duri, Bisakah Ekonomi RI Tumbuh 5,03%?

Tahir Saleh, CNBC Indonesia
13 December 2019 07:14
2020 Penuh Onak Duri, Bisakah Ekonomi RI Tumbuh 5,03%?
Jakarta, CNBC Indonesia - Instabilitas ekonomi global masih menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020. Apalagi perang dagang AS-China masih berkelindan dan belum menemukan titik temu yang saling menguntungkan.

Ekonom Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Felianti, menegaskan, instabilitas global itu juga yang membuat beberapa lembaga internasional menduga, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tidak akan sampai level 5%.


Talisa mencontohkan prediksi JPMorgan yang memprediksi pertumbuhan Indonesia 2020 sebesar 4,9%. Bahkan, Moody,s memprediksi pertumbuhan RI pada 2020 hanya 4,7%.

"IMF dan World Bank juga merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi global beberapa kali", kata Telisa dalam diskusi "Economic and Political Outlook 2020" yang digelar lembaga riset SIGMAPHI di Jakarta, Kamis kemarin (12/12/2019).

Kendati demikian, Telisa mengakui, masih ada peluang pertumbuhan ekonomi 2020 bisa di atas 5% sesuai prediksi lembaga riset Sigmaphi. Lembaga ini memprediksi pertumbuhan ekonomi RI pada 2020 bisa di level 5,03%.

Telisa menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

"Optimalisasi sektor ekonomi digital, perkuat UMKM, peningkatan SDM dan rencana kebijakan Omnibus Law dan super deductive tax menjadi aspek penting memanfaatkan pembangunan yang sudah dilakukan", tambah Telisa.


Dia menjelaskan bahwa peningkatan SDM diharapkan mampu mengoptimalisasi bonus demografi dan menciptakan generasi pekerja yang bermoral, dinamis, dan menguasai IPTEK. Peningkatan SDM harus diikuti dengan optimalisasi kerja sama dengan sektor industri.

Selain itu, permasalahan regulasi diharapkan dapat terselesaikan dengan adanya rencana kebijakan Omnimbus Law yang menyasar UU Perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Ada sebanyak 74 undang-undang yang teridentifikasi menghambat investasi.

2020 Penuh Onak Duri, Bisakah Ekonomi RI Tumbuh 5,03%?Foto: Economic and Political Outlook 2020" yang digelar lembaga riset SIGMAPHI di Jakarta, Kamis (12/12/2019)/Doc. Sigmaphi


Dalam acara tersebut, Sigmaphi memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 tumbuh 5,03%. Proyeksi ini semakin memperpanjang capaian Indonesia yang hanya mampu dan terjebak dalam pertumbuhan ekonomi 5%.

Muhammad Islam, Direktur Sigmaphi, juga menyebutkan, Indonesia hanya mampu tumbuh pada angka 5% akibat pengaruh ketidakpastian global seperti perang dagang dan dinamika geopolitik global.

"Indonesia hanya akan tumbuh 5,04% di tahun 2019 dan akan mengalami perlambatan di tahun 2020 yang menjadi 5,03%. Ini semua memperhitungkan kondisi eksternal yang belum stabil", ujar Islam.

[Gambas:Video CNBC]



Selain ekonomi global, stabilitas politik di tahun pertama bagi pemerintahan Jokowi - Maruf Amin juga menjadi perhatian.

Dalam kesempatan tersebut, pengamat politik Sigmaphi, Reno Koconegoro, menganalisis bahwa stabilitas politik pada tahun 2020 akan lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, bukan dengan tanpa catatan. Tahun 2020 memiliki beberapa catatan penting terkait dengan risiko politik yang ada dari Pilkada serentak, soliditas koalisi serta manuver dari tokoh politik 2024.

Pilkada serentak 2020 memang menjadi Pilkada serentak yang terbesar, namun risiko politiknya tidak sebesar pilkada-pilkada sebelumnya. "Hal tersebut karena pilkada dilaksanakan pada provinsi dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar (tidak ada Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur)," katanya.

2020 Penuh Onak Duri, Bisakah Ekonomi RI Tumbuh 5,03%?Foto: Economic and Political Outlook 2020" yang digelar lembaga riset SIGMAPHI di Jakarta, Kamis (12/12/2019)/Doc. Sigmaphi

Sedangkan untuk risiko politik di level kota, pilkada akan dilaksanakan di ibu kota provinsi seperti Medan, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Manado, Makassar, Palu, Mataram dan lainnya sehingga hal itu perlu menjadi perhatian.

Selanjutnya untuk pilkada di kabupaten, Reno mengungkapkan jika terdapat 20 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat yang melaksanakan pilkada. Dengan demikian perlu mendapat perhatian khusus mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.

Terkait dengan personalia yang masuk ke dalam kabinet, Reno menjelaskan jika stabilitas politik serta keamanan relatif akan lebih terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya beberapa sosok penting purnawirawan TNI dan POLRI ke dalam kabinet.

"Kabinet Pak SBY kedua, memasukkan empat purnawirawan. Sedangkan kabinet Pak Jokowi yang kedua, memasukkan lima purnawirawan yang di dalamnya terdapat nama Pak Prabowo dan Pak Tito yang merupakan mantan Kapolri" ujar Reno.

Selanjutnya, tim eksekutif rezim Presiden Joko Widodo berisi sosok yang memiliki relasi yang cukup kuat dengan media-media besar di Indonesia. Adanya Nasdem, Wishnutama, Angela Tanoesoedibjo dan Putri Tanjung dapat turut membantu pemerintahan dapat berjalan lebih stabil dalam relasinya dengan opini publik.

Selain itu, pengangkatan tujuh milenial menjadi staf khusus memiliki potensi positif bagi citra pemerintahan Jokowi - Maruf Amin. Namun, ketika mereka gagal mememnuhi ekspektasi milenial yang tinggi, maka hal itu justru dapat berdampak negatif bagi pemerintahan Jokowi - Maruf.

"Ekspektasi dan tuntutan milenial kepada para Staf Khusus milenial itu sangat tinggi. Jadi ketika kinerja mereka gagal dalam memenuhi ekspektasi para milenial, tujuh staf khusus milenial tadi justru akan menjadi boomerang bagi pemerintahan Pak Jokowi" tutur peneliti politik Sigmaphi ini.

Adapun mengenai risiko politik 2020, Reno menyoroti soliditas koalisi parpol pendukung pemerintah. Tantangan soliditas koalisi, diperkirakan akan terus muncul dari Partai Nasdem.

Ia menjelaskan jika pada 2014, Partai Nasdem mendapat persentase kursi di DPR sebesar 6% dan kemudian mendapatkan alokasi kursi kabinet sebesar 10%. Namun pada 2019, ketika Nasdem berhasil mendapatkan 10% kursi di DPR, mereka justru mendapat alokasi kursi kabinet sebesar 8%.

"Alokasi kursi kabinet untuk Nasdem tercatat turun sebesar 2%. Padahal nasdem berhasil menaikkan perolehan kursinya di DPR sebesar 4%. Bahkan kenaikkan perolehan kursi Nasdem di DPR menjadi yang terbesar. Inilah yang menjadi penyebab mengapa tercipta semacam ketegangan politik antara Nasdem dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu" jelas Reno.

Risiko politik 2020 yang kedua berkaitan dengan soliditas koalisi parpol pendukung pemerintah di DPR. Besarnya koalisi pemerintah saat ini, bukan merupakan suatu jaminan yang pasti untuk stabilitas politik di DPR. Reno mengungkapkan jika pada 2009, koalisi Presiden SBY sebesar 75,5%, namun ia harus menghadapi maneuver dari partai yang di antaranya membentuk Pansus Century.

"Koalisi Pak Jokowi yang sebesar 74,3% di DPR, bukanlah jaminan pasti untuk terciptanya stabilitas politik di DPR dalam jangka panjang. Buktinya, koalisi Pak SBY pada 2009 yang sebesar 75,5% atau lebih tinggi dibanding koalisi Pak Jokowi, tetap menghasilkan Pansus Century" ungkap Reno.

"Ketiadaan petahana di Pilpres 2024 sama dengan kondisi Indonesia pasca SBY di Pilpres 2014. Wakil dari keduanya juga berasal dari jalur non partai politik. Hal ini akan membuka peluang bagi para tokoh baru untuk bertarung di 2024" menurut Reno.

Reno menjelaskan jika sosok-sosok yang masuk ke dalam bursa pencalonan RI 1 dan RI 2 berpotensi mengeluarkan kebijakan dan pernyataan yang kontroversial. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan namanya tetap menjadi bahan perbincangan publik.

"Jadi, para tokoh 2024 akan berlomba untuk menjadi top of mind publik mengenai sosok pemimpin. Mereka berusaha mereplikasi momen ketegangan Wali Kota Solo dengan Gubernur Jawa Tengah pada 2011 - 2012 yang berhasil menjadikan Pak Jokowi sebagai top of mind publik mengenai sosok pemimpin" pungkas Reno.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular