
Uni Eropa Hambat Biodiesel, RI Siap Lawan di WTO
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
12 December 2019 22:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Mahendra Siregar menyebut Indonesia tidak akan tinggal diam atas penerapan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) yang dikenakan Uni Eropa kepada produk biodiesel Indonesia. Awal Desember ini, Uni Eropa secara resmi sudah menandatangani penerapan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) sebesar 8-18%.
"Caranya ya kita harus respons dengan membawa ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) karena kan jelas ini persis pengulangan dengan apa yg dilakukan oleh Eropa beberapa tahun lalu, yang sudah dimenangkan Indonesia, tapi ternyata kelihatan mereka betul-betul ingin mematikan akses biodiesel kita ke sana jadi ya kita harus lawan," kata Mahendra di kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Kamis (12/12/2019).
Mahendra juga tidak segan menyebut Uni Eropa memang ingin memperlakukan produk biodiesel Indonesia secara tidak baik atau diskriminatif. Ini karena produk turunan sawit itu dianggap mengancam produk biofuel produksi Uni Eropa.
"Ya seperti yang pertama dulu, baik ke WTO maupun ke European Court. Tapi kita harus sadari, sekalipun demikian, mereka akan ulangi lagi. Karena memang tujuannya bukan untuk mendapatkan fairness, tapi untuk mematikan akses kita ke Eropa," sebutnya.
Mantan Wamendag ini belum melakukan langkah konkret, karena perlu persiapan matang untuk membawanya ke WTO ataupun European Court of Justice.
"Saya rasa iya karena prosesnya itu kan perlu persiapan tapi tidak lama sih," katanya.
Di sisi lain, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berpendapat tidak mempermasalahkan keputusan Uni Eropa yang secara resmi sudah menandatangani penerapan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) produk biodiesel.
"Nggak ada masalah, cuma 400 juta dolar AS (nilai produk biodiesel Indonesia di Eropa). silakan aja dibikin (aturan BMAS)," kata Luhut.
Luhut yakin produk sawit dan turunan bisa dikonsumsi oleh dalam negeri. "Nanti kalau kita B20, B30, B40 kita mungkin nggak perlu lagi ekspor ke sana. Malah mungkin, jumlah sawit kita 47 juta ton itu ya nggak cukup lagi untuk itu. Jadi, mesti kita replanting program, supaya nanti bisa produksi sawitnya naik," sebutnya.
Upaya penerapan BMAS oleh Uni Eropa sudah dilakukan pada Agustus 2019 lalu. Namun, saat itu sifatnya hanya berlangsung sementara. Kini, Uni Eropa sudah resmi mengenakan BMAS mulai 1 Januari 2020 mendatang hingga 5 tahun ke depan.
Penyebab pengenaan BMAS diklaim Uni Eropa sebagai langkah balasan atas subsidi yang diberikan kepada produsen sawit di Indonesia. Mereka menuding produk biodiesel Indonesia sudah disubsidi oleh pemerintah sehingga mengancam kelangsungan produsen dalam negeri Uni Eropa.
Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa ditaksir mencapai 400 juta euro (Rp 6,2 triliun) atau sekitar 4-5% dari pasar biodiesel Uni Eropa yang diperkirakan mencapai 9 miliar euro atau hampir Rp 140 triliun per tahun.
(hoi/hoi) Next Article Berlumur Minyak CPO, Potret Pekerja Penguras Kapal di Priok
"Caranya ya kita harus respons dengan membawa ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) karena kan jelas ini persis pengulangan dengan apa yg dilakukan oleh Eropa beberapa tahun lalu, yang sudah dimenangkan Indonesia, tapi ternyata kelihatan mereka betul-betul ingin mematikan akses biodiesel kita ke sana jadi ya kita harus lawan," kata Mahendra di kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Kamis (12/12/2019).
Mahendra juga tidak segan menyebut Uni Eropa memang ingin memperlakukan produk biodiesel Indonesia secara tidak baik atau diskriminatif. Ini karena produk turunan sawit itu dianggap mengancam produk biofuel produksi Uni Eropa.
"Ya seperti yang pertama dulu, baik ke WTO maupun ke European Court. Tapi kita harus sadari, sekalipun demikian, mereka akan ulangi lagi. Karena memang tujuannya bukan untuk mendapatkan fairness, tapi untuk mematikan akses kita ke Eropa," sebutnya.
Mantan Wamendag ini belum melakukan langkah konkret, karena perlu persiapan matang untuk membawanya ke WTO ataupun European Court of Justice.
"Saya rasa iya karena prosesnya itu kan perlu persiapan tapi tidak lama sih," katanya.
Di sisi lain, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berpendapat tidak mempermasalahkan keputusan Uni Eropa yang secara resmi sudah menandatangani penerapan Bea Masuk Anti-Subsidi (BMAS) produk biodiesel.
"Nggak ada masalah, cuma 400 juta dolar AS (nilai produk biodiesel Indonesia di Eropa). silakan aja dibikin (aturan BMAS)," kata Luhut.
Luhut yakin produk sawit dan turunan bisa dikonsumsi oleh dalam negeri. "Nanti kalau kita B20, B30, B40 kita mungkin nggak perlu lagi ekspor ke sana. Malah mungkin, jumlah sawit kita 47 juta ton itu ya nggak cukup lagi untuk itu. Jadi, mesti kita replanting program, supaya nanti bisa produksi sawitnya naik," sebutnya.
Upaya penerapan BMAS oleh Uni Eropa sudah dilakukan pada Agustus 2019 lalu. Namun, saat itu sifatnya hanya berlangsung sementara. Kini, Uni Eropa sudah resmi mengenakan BMAS mulai 1 Januari 2020 mendatang hingga 5 tahun ke depan.
Penyebab pengenaan BMAS diklaim Uni Eropa sebagai langkah balasan atas subsidi yang diberikan kepada produsen sawit di Indonesia. Mereka menuding produk biodiesel Indonesia sudah disubsidi oleh pemerintah sehingga mengancam kelangsungan produsen dalam negeri Uni Eropa.
Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa ditaksir mencapai 400 juta euro (Rp 6,2 triliun) atau sekitar 4-5% dari pasar biodiesel Uni Eropa yang diperkirakan mencapai 9 miliar euro atau hampir Rp 140 triliun per tahun.
(hoi/hoi) Next Article Berlumur Minyak CPO, Potret Pekerja Penguras Kapal di Priok
Most Popular