
Round Up
Jangan Bully CPO RI, Pesanan Airbus Bisa Batal!
Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
07 December 2019 07:12

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia tidak akan tinggal diam dengan diskriminasi yang tengah dilakukan Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit. Hal ini ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam menyikapi perlakukan Uni Eropa tersebut.
"Tentunya, Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menyikapi diskriminasi ini," kata Jokowi dalam kesempatan saat menerima kunjungan delegasi Dewan Bisnis Uni Eropa - ASEAN (EU - ASEAN Business Council).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengingatkan Eropa untuk tidak main-main terhadap Crude Palm Oil (CPO) Indonesia, apalagi Indonesia juga konsumen besar Airbus, pesawat pabrikan Perancis.
"Kami ingatkan, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat. Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di Eropa," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Masalah diskriminasi harus segera diselesaikan terutama jika Eropa mendorong CEPA atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa. Apalagi untuk biofuel, pasar Indonesia di Eropa US$ 650 juta dan kerja sama perdagangan US$ 31 miliar.
"Jadi jangan sampai US$ 650 juta itu mengganggu bilateral dengan EU," kata Airlangga.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, total order pesawat Airbus dari Indonesia hingga Oktober 2019 mencapai 313 unit sedangkan total delivery mencapai 95 unit. Indonesia menyumbang 5,7% dari total order di kawasan Asia Pasifik. Dari total pemesanan tersebut, maskapai penerbangan Citilink memesan 25 unit, Garuda 58 unit dan terbanyak Lion Air 230 unit.
Jika semua order tersebut dijumlahkan maka nominalnya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau setara dengan Rp 599,4 triliun. Jumlah yang sangat fantastis tentunya. Sebagai tambahan informasi pada 2018 Airbus berhasil mencatatkan pendapatan sebesar US$ 70,4 miliar.
Memang order tersebut tak mungkin dibayar langsung kontan. Namun jika benar RI menggunakan peluru ini untuk menggertak Eropa tentu akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar Airbus di Asia Pasifik hingga 5%. Penurunan market share hingga 5% bukan jumlah yang kecil.
Jika dibandingkan dengan ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2018, jumlahnya lebih kecil dibanding pembelian Airbus. Pada 2018 Indonesia mengekspor sawit hingga 4,8 juta ton ke Eropa dengan perkiraan nilai mencapai US$ 4 miliar - US$ 5 miliar. Pasar Eropa menyumbang 18,75% pangsa pasar minyak sawit RI.
Menanggapi ini, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket mengatakan bahwa apa yang dilakukan UE terhadap sawit Indonesia bukanlah sebuah bentuk diskriminasi. Namun lebih kepada upaya penyelamatan lingkungan, mengingat banyaknya lahan yang digunakan untuk bertani sawit di Indonesia.
"Kami tahu betul betapa pentingnya sektor minyak kelapa sawit bagi perekonomian Anda, untuk pekerjaan Anda dan kehidupan di daerah pedesaan. Kami berada di pihak Anda. Juga, sangat tertarik pada minyak sawit. Hampir setengah dari impor minyak kelapa sawit kami berasal dari Indonesia," jelasnya saat diwawancarai CNBC Indonesia.
Menurutnya, tidak ada larangan impor minyak sawit ke Uni Eropa, namun pihaknya mencoba memastikan minyak sawit dan biodiesel yang diperoleh bersifat keberlanjutan. Pasalnya, Eropa tidak tidak tinggal diam membiarkan CPO Indonesia yang kurang memenuhi standar berkelanjutan.
Salah satu pemesan Airbus, Lion Air Group, angkat bicara perihal ancaman pemerintah Indonesia soal posisi tawar dalam perdagangan dengan Uni Eropa. Eropa selama ini memang banyak menekan produk sawit (CPO) dengan kebijakan yang dianggap diskriminatif.
Managing Director Lion Group Daniel Putut Kuncoro Adi, sulit percaya bahwa Airbus akan dilarang berjualan di Indonesia. Ia menilai soal pernyataan pemerintah bagian dari urusan politik.
"Ah enggak lah. Itu kebijakan politik. Kita enggak mungkin bisa sampai dilarang begitu, kan pasti risikonya panjang," ungkap Daniel Putut kepada CNBC Indonesia.
Daniel menjelaskan bahwa kerja sama antara Lion Air Group dengan pabrikan Airbus merupakan hubungan business to business (B to B). Daniel Putut mengaku Lion sudah terlanjur memesan ratusan pesawat. Beberapa di antaranya sudah diserahterimakan dan digunakan untuk melayani pelanggan Lion Air Group.
"[Kerja sama] jangka panjang, masih sampai ratusan [unit pesanan]," ungkapnya.
Ia enggan memberikan rekomendasi ataupun protes kepada pemerintah terkait hal ini. "Kita enggak berani mengomentari masalah yang non-aviasi," tandasnya.
(dob/dob) Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah
"Tentunya, Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menyikapi diskriminasi ini," kata Jokowi dalam kesempatan saat menerima kunjungan delegasi Dewan Bisnis Uni Eropa - ASEAN (EU - ASEAN Business Council).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengingatkan Eropa untuk tidak main-main terhadap Crude Palm Oil (CPO) Indonesia, apalagi Indonesia juga konsumen besar Airbus, pesawat pabrikan Perancis.
"Kami ingatkan, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat. Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di Eropa," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Masalah diskriminasi harus segera diselesaikan terutama jika Eropa mendorong CEPA atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa. Apalagi untuk biofuel, pasar Indonesia di Eropa US$ 650 juta dan kerja sama perdagangan US$ 31 miliar.
"Jadi jangan sampai US$ 650 juta itu mengganggu bilateral dengan EU," kata Airlangga.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, total order pesawat Airbus dari Indonesia hingga Oktober 2019 mencapai 313 unit sedangkan total delivery mencapai 95 unit. Indonesia menyumbang 5,7% dari total order di kawasan Asia Pasifik. Dari total pemesanan tersebut, maskapai penerbangan Citilink memesan 25 unit, Garuda 58 unit dan terbanyak Lion Air 230 unit.
Jika semua order tersebut dijumlahkan maka nominalnya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau setara dengan Rp 599,4 triliun. Jumlah yang sangat fantastis tentunya. Sebagai tambahan informasi pada 2018 Airbus berhasil mencatatkan pendapatan sebesar US$ 70,4 miliar.
Memang order tersebut tak mungkin dibayar langsung kontan. Namun jika benar RI menggunakan peluru ini untuk menggertak Eropa tentu akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar Airbus di Asia Pasifik hingga 5%. Penurunan market share hingga 5% bukan jumlah yang kecil.
Jika dibandingkan dengan ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2018, jumlahnya lebih kecil dibanding pembelian Airbus. Pada 2018 Indonesia mengekspor sawit hingga 4,8 juta ton ke Eropa dengan perkiraan nilai mencapai US$ 4 miliar - US$ 5 miliar. Pasar Eropa menyumbang 18,75% pangsa pasar minyak sawit RI.
Menanggapi ini, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket mengatakan bahwa apa yang dilakukan UE terhadap sawit Indonesia bukanlah sebuah bentuk diskriminasi. Namun lebih kepada upaya penyelamatan lingkungan, mengingat banyaknya lahan yang digunakan untuk bertani sawit di Indonesia.
"Kami tahu betul betapa pentingnya sektor minyak kelapa sawit bagi perekonomian Anda, untuk pekerjaan Anda dan kehidupan di daerah pedesaan. Kami berada di pihak Anda. Juga, sangat tertarik pada minyak sawit. Hampir setengah dari impor minyak kelapa sawit kami berasal dari Indonesia," jelasnya saat diwawancarai CNBC Indonesia.
Menurutnya, tidak ada larangan impor minyak sawit ke Uni Eropa, namun pihaknya mencoba memastikan minyak sawit dan biodiesel yang diperoleh bersifat keberlanjutan. Pasalnya, Eropa tidak tidak tinggal diam membiarkan CPO Indonesia yang kurang memenuhi standar berkelanjutan.
![]() |
Managing Director Lion Group Daniel Putut Kuncoro Adi, sulit percaya bahwa Airbus akan dilarang berjualan di Indonesia. Ia menilai soal pernyataan pemerintah bagian dari urusan politik.
"Ah enggak lah. Itu kebijakan politik. Kita enggak mungkin bisa sampai dilarang begitu, kan pasti risikonya panjang," ungkap Daniel Putut kepada CNBC Indonesia.
Daniel menjelaskan bahwa kerja sama antara Lion Air Group dengan pabrikan Airbus merupakan hubungan business to business (B to B). Daniel Putut mengaku Lion sudah terlanjur memesan ratusan pesawat. Beberapa di antaranya sudah diserahterimakan dan digunakan untuk melayani pelanggan Lion Air Group.
"[Kerja sama] jangka panjang, masih sampai ratusan [unit pesanan]," ungkapnya.
Ia enggan memberikan rekomendasi ataupun protes kepada pemerintah terkait hal ini. "Kita enggak berani mengomentari masalah yang non-aviasi," tandasnya.
(dob/dob) Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah
Most Popular