
Pemilihan Ketum Parpol Secara Aklamasi Jadi Tren, Berbahaya?
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
06 December 2019 15:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan ketua umum partai politik secara aklamasi menjadi tren belakangan. Terbaru tentu adalah pemilihan ketum Partai Golongan Karya yang digelar dalam rangkaian musyawarah nasional X yang dibuka Presiden Joko Widodo, Selasa (3/12/2019) malam.
Sang petahana yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terpilih sebagai ketum partai berlambang pohon beringin itu untuk masa bakti 2024-2029 pada Rabu (4/12/2019) malam.
Beberapa saat sebelum Airlangga terpilih, politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai tidak ada yang salah dari aklamasi.
"Jangan juga salah kita menafsirkan kata aklamasi. Aklamasi itu adalah hasil akhir ketika sebuah kompetisi politik memunculkan cuma satu yang muncul sebagai calon dan ditetapkan sebagai yang terpilih. Nggak usah ditakutkan," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Sebelum Airlangga, sejumlah ketum parpol juga dilahirkan via aklamasi. Sebut saja Ketum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa Abdullah Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Bagi Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pemilihan ketum parpol secara aklamasi menandakan proses demokratisasi dan kaderisasi di internal partai tidak berjalan.
"Tidak ada atau tidak bolehnya calon lain muncul menandakan bahwa partai sudah seperti PT (perseroan terbatas), yang sahamnya dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang," ujar Ujang kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Menurut dia, parpol bukan lagi menjadi arena kompetisi nan sehat bagi para kader untuk menjadi ketum. Sebab, parpol sudah dikuasai secara oligarki oleh orang-orang tertentu.
Ujang menilai apabila parpol sudah dikuasai kekuatan oligarki, maka sosok yang akan menjadi ketum hanya itu-itu saja. Pemilihan ketum parpol pun sudah dikondisikan dengan cara aklamasi. Bagi kader yang ingin mencalonkan diri atau melawan oligarki, risikonya akan diasingkan atau dipecat.
"Tidak jalannya kaderisasi partai juga mengakibatkan kepemimpinan partai tidak berpindah tangan ke generasi yang sudah lama berjuang di partai. Namun, partai masih melanggengkan status quo. Tidak terjadi regenerasi dan tak akan terjadi perubahaan di tubuh partai," kata Ujang.
"Jika fenomena aklamasi terjadi dihampir semua partai artinya partai gagal dalam menjalankan proses demokratisasi dan kaderisasi. Dan gagal pula dalam membangun proses demokratisasi di tingkat nasional," lanjutnya.
Lantas, apa solusi dari masalah ini? Ujang menyebut penting agar parpol membangun sistem kelembagaan dengan baik.
"Jika kelembagaan partainya sudah baik, maka proses demokrasi dan kaderisasi juga akan jalan. Solusi lainnya adalah membangun kesadaran di kalangan elite partai agar mereka sadar agar membangun partai secara profesional. Jangan bangun partai seperti PT atau menjadi partai keluarga," katanya.
(miq/dob) Next Article Kejagung Selidiki Aliran Dana ke Parpol di Kasus Jiwasraya
Sang petahana yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terpilih sebagai ketum partai berlambang pohon beringin itu untuk masa bakti 2024-2029 pada Rabu (4/12/2019) malam.
Beberapa saat sebelum Airlangga terpilih, politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menilai tidak ada yang salah dari aklamasi.
Sebelum Airlangga, sejumlah ketum parpol juga dilahirkan via aklamasi. Sebut saja Ketum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa Abdullah Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Bagi Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pemilihan ketum parpol secara aklamasi menandakan proses demokratisasi dan kaderisasi di internal partai tidak berjalan.
"Tidak ada atau tidak bolehnya calon lain muncul menandakan bahwa partai sudah seperti PT (perseroan terbatas), yang sahamnya dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang," ujar Ujang kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Jumat (6/12/2019).
Menurut dia, parpol bukan lagi menjadi arena kompetisi nan sehat bagi para kader untuk menjadi ketum. Sebab, parpol sudah dikuasai secara oligarki oleh orang-orang tertentu.
Ujang menilai apabila parpol sudah dikuasai kekuatan oligarki, maka sosok yang akan menjadi ketum hanya itu-itu saja. Pemilihan ketum parpol pun sudah dikondisikan dengan cara aklamasi. Bagi kader yang ingin mencalonkan diri atau melawan oligarki, risikonya akan diasingkan atau dipecat.
"Tidak jalannya kaderisasi partai juga mengakibatkan kepemimpinan partai tidak berpindah tangan ke generasi yang sudah lama berjuang di partai. Namun, partai masih melanggengkan status quo. Tidak terjadi regenerasi dan tak akan terjadi perubahaan di tubuh partai," kata Ujang.
"Jika fenomena aklamasi terjadi dihampir semua partai artinya partai gagal dalam menjalankan proses demokratisasi dan kaderisasi. Dan gagal pula dalam membangun proses demokratisasi di tingkat nasional," lanjutnya.
Lantas, apa solusi dari masalah ini? Ujang menyebut penting agar parpol membangun sistem kelembagaan dengan baik.
"Jika kelembagaan partainya sudah baik, maka proses demokrasi dan kaderisasi juga akan jalan. Solusi lainnya adalah membangun kesadaran di kalangan elite partai agar mereka sadar agar membangun partai secara profesional. Jangan bangun partai seperti PT atau menjadi partai keluarga," katanya.
(miq/dob) Next Article Kejagung Selidiki Aliran Dana ke Parpol di Kasus Jiwasraya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular