
Kontrak Gross Split Tak Wajib Lagi, Exxon Cs Girang!
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
04 December 2019 18:18

Jakarta, Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan cara baru agar investor bisa memilih skema kontrak bagi hasil migas, tujuannya meningkatkan investasi di hulu migas. Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Louise McKenzie, yang juga bos Exxonmobile Cepu Limited, mengatakan rencana ini menjadi sinyal positif.
Menurutnya tantangan utama dalam produksi migas bahwa setiap proyek tidak sama, artinya risiko yang dihadapi berbeda. Louise mengaku senang mendengar diskusi fleksibilitas ini, karena pihaknya mendukung rencana ini.
"Kami ingin melihat lebih banyak fleksibilitas sehingga saya pikir ini adalah langkah ke arah yang benar. Jelas, saya pikir kita semua harus berkumpul dan memahami apa artinya itu," ungkapnya di Hotel Dharmawangsa, Rabu, (4/12/2019).
Saat ini, imbuhnya, dirinya sudah mendengar rencana ini tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski demikian perlu diskusi lebih lanjut agar benar-benar memahami apa yang diinginkan. IPA menurutnya menantikan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang rencana Menteri ESDM ini.
"Tetapi keputusan yang memiliki potensi untuk menjadi fondasi positif bagi industri," imbuhnya.
Terkait rencana pemerintah menargetkan produksi 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Menurut Louise ini akan membutuhkan banyak investasi, membutuhkan proyek baru, dan penemuan baru. Louise mengatakan ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan tersebut.
"Untuk mencapai titik tersebut banyak hal yang harus dilakukan, karena decline produksi migas maka perlu peningkatan produksi," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memaparkan ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Rabu, (27/11/2019). "Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang Migas. Kami tanyakan mana yang prefer, ada dua," ungkapnya.
Menurut Arifin masing-masing skema ini punya nilai plus minus. Dirinya menerangkan ada investor yang suka dengan skema gross split dan cost recovery. Misalnya bagi yang baru akan melakukan eksplorasi di wilayah kerja baru biasanya tertarik dengan cost recovery karena berisiko tinggi. Sementara investor yang memilih dengan gross split karena ada kepastian investasi sejak awal.
"Cost recovery juga ada satu keluhan, tiap tahun perlu review dan prosesnya lama. Kalau gross split kan mereka senang terutama existing field, karena sumbernya sudah jelas, potensi jelas, risknya kurang," jelasnya.
(gus/gus) Next Article Masih Dipimpin Asing, Ini 10 Produsen Migas Raksasa RI
Menurutnya tantangan utama dalam produksi migas bahwa setiap proyek tidak sama, artinya risiko yang dihadapi berbeda. Louise mengaku senang mendengar diskusi fleksibilitas ini, karena pihaknya mendukung rencana ini.
Saat ini, imbuhnya, dirinya sudah mendengar rencana ini tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski demikian perlu diskusi lebih lanjut agar benar-benar memahami apa yang diinginkan. IPA menurutnya menantikan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang rencana Menteri ESDM ini.
"Tetapi keputusan yang memiliki potensi untuk menjadi fondasi positif bagi industri," imbuhnya.
Terkait rencana pemerintah menargetkan produksi 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Menurut Louise ini akan membutuhkan banyak investasi, membutuhkan proyek baru, dan penemuan baru. Louise mengatakan ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan lingkungan tersebut.
"Untuk mencapai titik tersebut banyak hal yang harus dilakukan, karena decline produksi migas maka perlu peningkatan produksi," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif memaparkan ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII, Rabu, (27/11/2019). "Kami melakukan dialog dengan para investor di bidang Migas. Kami tanyakan mana yang prefer, ada dua," ungkapnya.
Menurut Arifin masing-masing skema ini punya nilai plus minus. Dirinya menerangkan ada investor yang suka dengan skema gross split dan cost recovery. Misalnya bagi yang baru akan melakukan eksplorasi di wilayah kerja baru biasanya tertarik dengan cost recovery karena berisiko tinggi. Sementara investor yang memilih dengan gross split karena ada kepastian investasi sejak awal.
"Cost recovery juga ada satu keluhan, tiap tahun perlu review dan prosesnya lama. Kalau gross split kan mereka senang terutama existing field, karena sumbernya sudah jelas, potensi jelas, risknya kurang," jelasnya.
![]() |
(gus/gus) Next Article Masih Dipimpin Asing, Ini 10 Produsen Migas Raksasa RI
Most Popular