Gara-gara Trump, Industri Manufaktur Global Nyungsep

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 December 2019 10:10
Gara-gara Trump, Industri Manufaktur Global Nyungsep
Perakitan Mobil Esemka di Boyolali (Biro Pers Sekretariat Presiden)
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri manufaktur global sedang dalam masa sulit. Negara maju maupun berkembang sama-sama mengalami tekanan berat.

Malam tadi waktu Indonesia, Institute of Supply Management (ISM) merilis data aktivitas manufaktur Amerika Serikat (AS) periode November. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Negeri Paman Sam bulan lalu tercatat 48,1, turun dari Oktober yang sebesar 48,3.

PMI menggunakan 50 sebagai titik awal. Angka di bawah 50 berarti dunia usaha mengalami kontraksi, lawan dari ekspansi. Sudah empat bulan beruntun PMI manufaktur AS terkontraksi.

 

"Permintaan terkontraksi, dan pemesanan baru mengalami laju kontraksi yang lebih cepat. Ekspor juga mencatat penurunan, demikian pula konsumsi," sebut keterangan tertulis ISM.




Tidak hanya AS, sektor manufaktur Indonesia pun mengalami tekanan. Kemarin, IHS Markit mengumumkan PMI manufaktur Indonesia periode Oktober di angka 48,2. Kontraksi sudah terjadi selama lima bulan beruntun.

"Dengan rata-rata PMI Oktober dan November yang sebesar 48, kami memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,9%. Survei kami menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur masih lemah. Permintaan baru dan penjualan menurun, dan dunia usaha memilih untuk mengurangi tenaga kerja serta menurunkan pembelian bahan baku. Ini memberi gambaran bahwa output ekonomi masih akan lemah dalam beberapa bulan ke depan," jelas Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, dikutip dari siaran tertulis.



Sektor manufaktur terpukul akibat tren kebijakan proteksionistis di berbagai negara. AS, misalnya, sudah lebih dari setahun menjalani perang dagang dengan China. AS mengenakan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 550 miliar, sementara China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.

Bagi AS, China adalah negara mitra dagang penting. Pada Januari-September 2019, US Census Bureau mencatat ekspor AS ke China adalah US$ 78,8 miliar, Kanada (US$ 221,7 miliar) dan Meksiko (US$ 194,1 miliar).

Dengan pengenaan bea masuk, harga produk-produk AS di China tentu semakin mahal. Permintaan pun turun, yang diikuti oleh pemangkasan produksi oleh dunia usaha.

Hal serupa terjadi di China, bahkan mungkin lebih besar. Pada Oktober 2019, nilai ekspor Negeri Tirai Bambu adalah US$ 212,92 miliar. Dari jumlah tersebut, ekspor ke AS mencapai US$ 35,79 miliar atau hampir 17%.

Patut dicatat bahwa ekspor China ke AS pada Oktober 2019 amblas 16,2% year-on-year (YoY). Serupa dengan apa yang terjadi di AS, penurunan permintaan membuat industriawan mengurangi produksi. Kontraksi.

Situasi kian pelik kala perang dagang meluas. AS lagi-lagi mengajak perang dagang dengan negara lain.

Malam tadi waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump menegaskan segera memberlakukan bea masuk untuk impor baja dan aluminium dari Brasil dan Argentina. Sang presiden ke-45 Negeri Adidaya beralasan selama ini mata uang dua negara tersebut terlalu lemah sehingga merugikan AS.

"Brasil dan Argentina telah melemahkan mata uang mereka, yang ini tidak bagus buat para petani kita. Oleh karena itu, berlaku efektif segera, saya akan mengenakan bea masuk bagi impor baja dan aluminium dari dua negara tersebut. The Federal Reserve (Bank Sentral AS) seharusnya bertindak sehingga negara-negara seperti itu tidak lagi memanfaatkan penguatan dolar AS untuk melemahkan mata uangnya. Situasi ini membuat manufaktur dan petani kita kesulitan untuk mengekspor. Turunkan bunga dan longgarkan, Fed!" tegas Trump dalam cuitan di Twitter.


Kalau tidak ada solusi, pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Brasil bisa memukul industri Negeri Samba. Mengutip data US Trade Representative, baja adalah salah satu komoditas andalan ekspor Brasil.

Pada 2018, ekspor AS ke Brasil adalah US$ 31,1 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 3,1 miliar (9,97%) adalah ekspor besi dan baja.

Di sisi Argentina, industri aluminium bakal terkena dampak signifikan dari kobaran api perang dagang yang disulut Trump. Data US Trade Representative menyebutkan, nilai ekspor Argentina ke AS pada 2018 adalah US$ 4,8 miliar. Aluminium menjadi salah satu komoditas ekspor utama dengan nilai US$ 444 juta (9,17%).

Apabila perang dagang masih bergelora, maka sulit untuk berharap industri manufaktur global bisa pulih dalam waktu dekat. Sebab, perang dagang terbukti telah merusak rantai pasok dan menurunkan produksi industri.


TIM RISET CNBC INDONESIA




(aji/aji) Next Article Lesunya Manufaktur Penyebab Lambatnya Pertumbuhan Ekonomi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular