CPO RI 'Dibully', Mungkinkah Pesanan Airbus Diganti Boeing?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 December 2019 16:31
CPO RI 'Dibully', Mungkinkah Pesanan Airbus Diganti Boeing?
Foto: Airbus A330-800 (REUTERS/Regis Duvignau)
Jakarta, CNBC Indonesia - Produk sawit tanah air didiskriminasi di Eropa. Pemerintah tak tinggal diam, Airbus jadi ancaman. Kalau beneran stop beli Airbus, beli kemana lagi? Boeing?

Belum lama ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa menegaskan bahwa pemerintah tak akan tinggal diam ketika produk ekspor unggulan berupa CPO didiskriminasi di pasar Eropa.

"Tentunya, Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menyikapi diskriminasi ini," kata Jokowi dalam kesempatan saat menerima kunjungan delegasi Dewan Bisnis Uni Eropa - ASEAN (EU - ASEAN Business Council)

Yang lebih menarik adalah pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang seolah mewanti-wanti Uni Eropa untuk tidak main-main.

"Kami ingatkan, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat. Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di Eropa," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Airlangga pun melanjutkan, "mereka [Eropa] mendorong CEPA [Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa], tapi saya sampaikan bahwa sawit diskriminasi, terutama untuk biofuel, di mana market Indonesia di Eropa US$ 650 juta dan [kerja sama] perdagangan kita di Eropa US$ 31 miliar."

Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, total order pesawat Airbus dari Indonesia hingga Oktober 2019 mencapai 313 unit sedangkan total delivery mencapai 95 unit. Indonesia menyumbang 5,7% dari total order di kawasan Asia Pasifik.

Dari total pemesanan tersebut, maskapai penerbangan Citilink memesan 25 unit, Garuda 58 unit dan terbanyak Lion Air 230 unit.



Menurut perkiraan Tim Riset CNBC Indonesia, jika semua order tersebut dijumlahkan maka nominalnya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau setara dengan Rp 599,4 triliun. Jumlah yang sangat fantastis tentunya.

Memang order tersebut tak mungkin dibayar langsung kontan. Namun jika benar RI menggunakan peluru ini untuk menggertak Eropa tentu akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar Airbus di Asia Pasifik hingga 5%. Penurunan tersebut tentu bukan jumlah yang kecil

Jika dibandingkan dengan ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2018, jumlahnya lebih kecil dibanding pembelian Airbus. Pada 2018 Indonesia mengekspor sawit hingga 4,8 juta ton ke Eropa dengan perkiraan nilai mencapai US$ 4 miliar - US$ 5 miliar. Pasar Eropa menyumbang 18,75% pangsa pasar minyak sawit RI.

Namun, segampang itukah membatalkan pemesanan? Tentu harus dikembalikan ke kontrak pembelian. Apa yang tertuang dalam kontrak pembelian harus kembali ditinjau, walau tidak menutup kemungkinan restrukturisasi kontrak dapat terjadi seperti satu dan lain hal. 

Baca : 'Jangan Main-main Sama CPO RI, Pesanan 200 Airbus Bisa Batal!'
Jika memang benar pembelian Airbus dihentikan, lantas ke manakah Indonesia harus membeli pesawat, terutama untuk pesawat komersil?

Saat ini dua raksasa pembuat pesawat terbang ini menguasai pasar global. Mengutip situs aerospace-technology, Airbus memiliki diversifikasi pendapatan yang lebih baik. Berbeda dengan Boeing yang pasarnya terkonsentrasi di AS, AIrbus menguasai pasar Eropa dan Asia Pasifik.

Kedua perusahaan juga bersaing ketat dalam hal produk yang diciptakan serta rentang harga yang ditawarkan. Untuk jenis pesawat single aisle Boeing menawarkan pesawat dengan kapasitas 138-204 pax dengan rentang harga di bawah US$ 100 juta hingga ~US$ 130 juta per unit.

Sementara itu Airbus menawarkan pesawat dengan kapasitas 100-220 penumpang dengan rentang harga yang tidak jauh berbeda dengan Boeing.

Untuk jenis pesawat widebodies, Boeing menawarkan pesawat dengan kapasitas penumpang 242-414 pax, dengan harga di rentang US$ 239 juta – US$ 425,8 juta per unit. Aibus selaku pesaingnya menawarkan pesawat dengan kapasitas 259-575 pax dengan harga di rentang US$ 259 juta – US$ 445 juta per unit.



Di tahun ini, maskapai Garuda Indonesia memesan pesawat Boeing sebanyak 50 unit dengan nilai US$ 4,9 miliar. Sementara, maskapai milik Rusdi Kirana yaitu Lion Air memesan pesawat Boeing hingga 222 unit senilai US$ 22 miliar.

Namun seperti yang diketahui bersama pembelian tersebut menuai kontroversi setelah jatuhnya pesawat Lion Air JT610 jatuh di perairan dekat Tanjung Karawang, 10 menit setelah take off yang menelan korban jiwa sebanyak 189 orang.


Pascakejadian tersebut, maskapai Lion Air memilih untuk menunda kedatangan sisa 209 pesawat yang dipesan dan Garuda memilih untuk membatalkan pembelian 49 pesawat dan menegosiasikan pesawat jenis lain dari Boeing.

Jatuhnya pesawat Boeing 737 Max 8 tersebut ternyata tak hanya dialami oleh maskapai Lion Air, maskapai lain milik Ethipian Airline juga mengalami hal serupa. Pada Minggu 10 Maret lalu pesawat Ethiopian Airlines yang membawa 157 penumpang dan awak kapal jatuh 5 menit setelah lepas landas serta menewaskan seluruh penumpang dan awak.

Belakangan diketahui ada ketidakberesan pada Manuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) Boeing 737 Max 8. Memang saat ini Boeing telah melakukan perbaikan sistem tersebut, tetapi masih menunggu persetujuan dari otritas penerbangan sipil Amerika Serika.

Jika melihat fakta di atas tentu masing-masing merek memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Inilah yang membuat maskapai penerbangan di Indonesia membeli dua pesawat ini. Strategi maskapai dalam melayani pasar domestik maupun internasional juga mempertimbangkan jenis pesawat yang dibeli. Aspek lain yang paling penting adalah aspek safety. Jadi tak bisa sembarangan.

Dengan kondisi seperti sekarang ini alangkah baiknya segala keputusan dipertimbangkan matang-matang. Jangan sampai petani sawit menderita dan penerbangan tanah air juga kena imbasnya. Tentu kita berharap solusi terbaik dari masalah ini.




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular