
Saat Janji Ekonomi Jokowi Hanya Tinggal Kenangan
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
29 November 2019 12:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, target ambisius dipasang dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Bagaimana kenyataannya?
Kala itu, Kabinet Jokowi-JK mematok pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,8% pada 2019. Menurut Indef (Institute of Development of Economics and Finance), angka tersebut dinilai sangat ambisius jika melihat kondisi perekonomian domestik dan global yang tengah dirundung ketidakpastian.
"Capaian pada 2019 kuartal III, pertumbuhan ekonomi hanya 5,02%. Pada tahun pertama RPJMN 2015-2019, ditargetkan mencapai 5,8%. Namun pada kenyataannya hanya 4,9%," tulis Indef dalam laporannya bertajuk Kabinet Baru & Ancaman Resesi Ekonomi, seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (29/11/2019).
Begitu pun juga dengan pertumbuhan ekonomi pada 2018 yang juga jauh dari target RPJMN. Pada RPJMN, ditargetkan pertumbuhan ekonomi mampu menyentuh 7,5%. Kenyataannya hanya terealisasi 5,2%.
Sama halnya dengan pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan investasi yang dicerminkan dari pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang ditargetkan mencapai 10,4% pada 2017, namun pada kenyataannya hanya terealisasi pada angka 6,2%. Sementara pada tahun 2019, PMTB ditargetkan bisa mencapai 12,1%, namun hanya 4,21% pada triwulan III-2019.
Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat, target tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka juga jauh dari target. Meskipun tingkat kemiskinan sudah di angka satu digit, namun pencapaian pemerintah mengenai tingkat kemiskinan masih belum memenuhi target RPJMN 2015-2019.
"Pada 2019, target dalam RPJMN 2015-2019 adalah 7,0-8,0. Namun capaian targetnya hanya 9,41% per Maret 2019. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada 2019 ditargetkan 4-5% namun kenyataannya TPT pada Agustus 2019 mencapai 5,28%," kata Indef dalam laporannya.
Pada akhirnya kegagalan-kegagalan pencapaian target makro pembangunan, menunjukkan program pemerintah banyak yang tidak optimal.
Misalnya saja, Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang tidak menghasilkan dampak signifikan pada percepatan investasi. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan 16 PKE yang terdiri dari beberapa sektor dan deregulasi yang salah satu produknya adalah Online Single Submission (OSS).
"OSS dianggap gagal karena tidak menyelesaikan lambatnya pengurusan izin investasi. Akibatnya peringkat Ease of Doing Business Indonesia pada 2019 melorot dari peringkat 72 ke peringkat 73 dari 190 negara," jelas Indef.
(dru) Next Article Jokowi Happy Soal Indikator Ekonomi RI, Apa Saja?
Kala itu, Kabinet Jokowi-JK mematok pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,8% pada 2019. Menurut Indef (Institute of Development of Economics and Finance), angka tersebut dinilai sangat ambisius jika melihat kondisi perekonomian domestik dan global yang tengah dirundung ketidakpastian.
"Capaian pada 2019 kuartal III, pertumbuhan ekonomi hanya 5,02%. Pada tahun pertama RPJMN 2015-2019, ditargetkan mencapai 5,8%. Namun pada kenyataannya hanya 4,9%," tulis Indef dalam laporannya bertajuk Kabinet Baru & Ancaman Resesi Ekonomi, seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (29/11/2019).
Sama halnya dengan pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan investasi yang dicerminkan dari pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang ditargetkan mencapai 10,4% pada 2017, namun pada kenyataannya hanya terealisasi pada angka 6,2%. Sementara pada tahun 2019, PMTB ditargetkan bisa mencapai 12,1%, namun hanya 4,21% pada triwulan III-2019.
Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat, target tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran terbuka juga jauh dari target. Meskipun tingkat kemiskinan sudah di angka satu digit, namun pencapaian pemerintah mengenai tingkat kemiskinan masih belum memenuhi target RPJMN 2015-2019.
"Pada 2019, target dalam RPJMN 2015-2019 adalah 7,0-8,0. Namun capaian targetnya hanya 9,41% per Maret 2019. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada 2019 ditargetkan 4-5% namun kenyataannya TPT pada Agustus 2019 mencapai 5,28%," kata Indef dalam laporannya.
Pada akhirnya kegagalan-kegagalan pencapaian target makro pembangunan, menunjukkan program pemerintah banyak yang tidak optimal.
Misalnya saja, Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) yang tidak menghasilkan dampak signifikan pada percepatan investasi. Padahal pemerintah sudah mengeluarkan 16 PKE yang terdiri dari beberapa sektor dan deregulasi yang salah satu produknya adalah Online Single Submission (OSS).
"OSS dianggap gagal karena tidak menyelesaikan lambatnya pengurusan izin investasi. Akibatnya peringkat Ease of Doing Business Indonesia pada 2019 melorot dari peringkat 72 ke peringkat 73 dari 190 negara," jelas Indef.
(dru) Next Article Jokowi Happy Soal Indikator Ekonomi RI, Apa Saja?
Most Popular