Polemik UMK Jawa Barat yang Tinggi, Apa Solusinya?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 November 2019 07:27
Polemik UMK Jawa Barat yang Tinggi, Apa Solusinya?
Foto: Foto : Lidya Kembaren
Jakarta, CNBC Indonesia - Penetapan upah minimum untuk pekerja selalu jadi momen yang dilematis bagi Gubernur Jawa Barat. Inilah yang dialami Ridwan Kamil saat ini sampai-sampai harus menulis 'surat cinta' untuk buruh.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat resmi menetapkan upah minimum provinsi (UMP) naik 8,51% dari Rp 1.668.372 menjadi Rp 1.810.351. pada 2020. Kang Emil begitu sapaan akrab Gubernur Jabar ini menuturkan, penetapan sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang pengupahan.



Keputusan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 561/kep 1046 Yanbangsos. Selanjutnya UMP ini akan jadi dasar bagi kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat untuk menentukan besaran UMK.

Keputusan Ridwan Kamil atau yang biasa disapa Kang Emil dengan menyetujui UMK 2020 tanpa penetapan gubernur. Namun hanya mengeluarkan surat edaran UMK, ditanggapi miring para buruh.

Dirinya dinilai sebagai gubernur rasa Pengusaha. "Ada apa di balik semua ini?" tanya Presiden KSPI Said Iqbal. Hal ini membuat kalangan buruh jadi dongkol.

Menurut Said Iqbal, mengacu pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, keputusan UMK seharusnya ditetapkan dalam Peraturan Gubernur (Pergub), bukan hanya sekadar surat edaran.

Dengan hanya menggunakan surat edaran, maka pengusaha tak ada kewajiban untuk mematuhi nilai pembayaran UMK 2020 Jabar yang sudah disetujui gubernur.

"Gubernur Jawa Barat sudah melakukan perbuatan melawan hukum. Karena dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan melalui surat keputusan Gubernur, bukan surat edaran," kata Said Iqbal dalam keterangan resminya, Jumat (22/11).

Melalui sebuah 'surat cinta', mantan Wali Kota Bandung ini memberikan penjelasan. Penjelasan Kang Emil ini terkait dengan hadirnya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat yang menyetujui kenaikan UMK 2020 sesuai surat para Walikota/ Bupati.

Surat Edaran ini, menurut mantan Wali Kota Bandung ini, juga sebetulnya melindungi ribuan buruh padat karya yang terancam PHK karena banyak tutupnya usaha/industri dan rata-rata pindah ke tempat lain karena faktor upah yang tidak memungkinkan.

[Gambas:Instagram]

Kang Emil menyoroti dalam kurun lima tahun terakhir sudah ada 83 ribu orang telah kehilangan pekerjaan. Dalam surat cintanya itu ia juga menyampaikan sejak 2016-2019 gelombang penutupan pabrik, relokasi serta PHK juga terjadi. Ia miris melihatnya dan menggarisbawahi bahwa berlaku adil itu tidak mudah.

Tak hanya terjadi di tahun ini saja. Momen penetapan UMP dan UMK selalu menuai kontroversi. Hampir bisa dipastikan bulan November jadi bulan di mana kalangan buruh angkat suara selain di hari buruh. Bulan November jadi bulan yang muram bagi buruh lantaran harapannya pupus saat Surat Keputusan Gubernur diedarkan.

Tak hanya Kang Emil saja yang berurusan dengan tuntutan buruh. Gubernur Jabar sebelumnya, Ahmad Heryawan (Aher) juga dituntut terkait pemberian izin penangguhan UMP ke pengusaha.

Fenomena tuntutan buruh juga terjadi pada 2016. Kala itu, serikat pekerja Jawa Barat ajukan gugatan UMP ke PTUN. Serikat pekerja Jabar menilai bahwa penetapan UMP 2017 cacat hukum.

Pemerintah menggunakan PP Nomor 78/2015 untuk menentukan besaran upah yakni dengan menghitung tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun menurut UU 13 tahun 2013, penetapan UMP harus ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).

Kala itu, serikat pekerja meminta kenaikan upah sebesar 20% dengan dasar perhitungan yang sesuai UU 13 tahun 2003 yang mempertimbangkan KHL, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Tahun lalu besaran UMP juga dipersoalkan oleh serikat buruh. Kelompok buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat menolak penetapan UMP 2019 senilai Rp 1.668.372.83.

Ketua Konfederasi SPSI Jawa Barat Roy Jinto menganggap Provinsi Jawa Barat tidak membutuhkan UMP. Roy menjelaskan upah minimun yang berlaku di Jawa Barat seharusnya adalah UMK.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa UMP Jawa Barat bertentangan dengan pasal 88 ayat 4 UU 13 tahun 2003. Roy menyoroti poin di mana Gubernur menetapkan upah minimum berdasarkan KHL (kebutuhan hidup layak), pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.

Namun hal tersebut tidak tampak pada UMP 2019 yang ditetapkan Gubernur Jawa Barat. Tudingan Roy bukan tanpa dasar, belakangan diketahui bahwa Dewan Pengupahan Jawa Barat, tidak pernah melakukan survei pasar untuk menentukan nilai KHL.

Bukan keputusan yang mudah untuk menetapkan besaran upah. Jika upah tersebut terlalu kecil maka daya beli tidak terlalu terdongkrak. Namun jika terlalu tinggi tentu akan memberatkan.

Penetapan upah minimum haruslah mempertimbangkan banyak faktor secara komprehensif seperti tingkat inflasi, kebutuhan hidup laik, pertumbuhan ekonomi serta yang tak kalah penting adalah produktivitas tenaga kerja.

Mari ambil contoh soal produktivitas tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sebenarnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih lebih rendah dibanding Filiphina dan Vietnam.

Mengutip data dari CEIC, sejak tahun 2011-2017 rata-rata pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Vietnam mencapai 3,73%. Sementara Vietnam dan Filiphina mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi masing-masing 11,48% dan 4,5%.

Salah satu kunci utama adalah di produktivitas. Ketika upah naik tanpa dibarengi dengan peningkatan produktivitas yang nyata, sama saja bohong. Ke depan produktitas tenaga kerja RI perlu jadi agenda prioritas untuk mengurai benang kusut sengkarut UMP yang jadi masalah menahun terutama Jawa Barat.
(twg/twg) Next Article Anies Naikkan UMP Jadi Rp 4,2 Juta, Ridwan Kamil Rp 1,8 Juta

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular