Polemik UMK Jawa Barat yang Tinggi, Apa Solusinya?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 November 2019 07:27

Tak hanya Kang Emil saja yang berurusan dengan tuntutan buruh. Gubernur Jabar sebelumnya, Ahmad Heryawan (Aher) juga dituntut terkait pemberian izin penangguhan UMP ke pengusaha.
Fenomena tuntutan buruh juga terjadi pada 2016. Kala itu, serikat pekerja Jawa Barat ajukan gugatan UMP ke PTUN. Serikat pekerja Jabar menilai bahwa penetapan UMP 2017 cacat hukum.
Pemerintah menggunakan PP Nomor 78/2015 untuk menentukan besaran upah yakni dengan menghitung tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun menurut UU 13 tahun 2013, penetapan UMP harus ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Kala itu, serikat pekerja meminta kenaikan upah sebesar 20% dengan dasar perhitungan yang sesuai UU 13 tahun 2003 yang mempertimbangkan KHL, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.
Tahun lalu besaran UMP juga dipersoalkan oleh serikat buruh. Kelompok buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat menolak penetapan UMP 2019 senilai RpĀ 1.668.372.83.
Ketua Konfederasi SPSI Jawa Barat Roy Jinto menganggap Provinsi Jawa Barat tidak membutuhkan UMP. Roy menjelaskan upah minimun yang berlaku di Jawa Barat seharusnya adalah UMK.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa UMP Jawa Barat bertentangan dengan pasal 88 ayat 4 UU 13 tahun 2003. Roy menyoroti poin di mana Gubernur menetapkan upah minimum berdasarkan KHL (kebutuhan hidup layak), pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.
Namun hal tersebut tidak tampak pada UMP 2019 yang ditetapkan Gubernur Jawa Barat. Tudingan Roy bukan tanpa dasar, belakangan diketahui bahwa Dewan Pengupahan Jawa Barat, tidak pernah melakukan survei pasar untuk menentukan nilai KHL.
Bukan keputusan yang mudah untuk menetapkan besaran upah. Jika upah tersebut terlalu kecil maka daya beli tidak terlalu terdongkrak. Namun jika terlalu tinggi tentu akan memberatkan.
Penetapan upah minimum haruslah mempertimbangkan banyak faktor secara komprehensif seperti tingkat inflasi, kebutuhan hidup laik, pertumbuhan ekonomi serta yang tak kalah penting adalah produktivitas tenaga kerja.
Mari ambil contoh soal produktivitas tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sebenarnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih lebih rendah dibanding Filiphina dan Vietnam.
Mengutip data dari CEIC, sejak tahun 2011-2017 rata-rata pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Vietnam mencapai 3,73%. Sementara Vietnam dan Filiphina mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi masing-masing 11,48% dan 4,5%.
Salah satu kunci utama adalah di produktivitas. Ketika upah naik tanpa dibarengi dengan peningkatan produktivitas yang nyata, sama saja bohong. Ke depan produktitas tenaga kerja RI perlu jadi agenda prioritas untuk mengurai benang kusut sengkarut UMP yang jadi masalah menahun terutama Jawa Barat. (twg/twg)
Fenomena tuntutan buruh juga terjadi pada 2016. Kala itu, serikat pekerja Jawa Barat ajukan gugatan UMP ke PTUN. Serikat pekerja Jabar menilai bahwa penetapan UMP 2017 cacat hukum.
Pemerintah menggunakan PP Nomor 78/2015 untuk menentukan besaran upah yakni dengan menghitung tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun menurut UU 13 tahun 2013, penetapan UMP harus ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Tahun lalu besaran UMP juga dipersoalkan oleh serikat buruh. Kelompok buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat menolak penetapan UMP 2019 senilai RpĀ 1.668.372.83.
Ketua Konfederasi SPSI Jawa Barat Roy Jinto menganggap Provinsi Jawa Barat tidak membutuhkan UMP. Roy menjelaskan upah minimun yang berlaku di Jawa Barat seharusnya adalah UMK.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa UMP Jawa Barat bertentangan dengan pasal 88 ayat 4 UU 13 tahun 2003. Roy menyoroti poin di mana Gubernur menetapkan upah minimum berdasarkan KHL (kebutuhan hidup layak), pertumbuhan ekonomi dan produktivitas.
Namun hal tersebut tidak tampak pada UMP 2019 yang ditetapkan Gubernur Jawa Barat. Tudingan Roy bukan tanpa dasar, belakangan diketahui bahwa Dewan Pengupahan Jawa Barat, tidak pernah melakukan survei pasar untuk menentukan nilai KHL.
Bukan keputusan yang mudah untuk menetapkan besaran upah. Jika upah tersebut terlalu kecil maka daya beli tidak terlalu terdongkrak. Namun jika terlalu tinggi tentu akan memberatkan.
Penetapan upah minimum haruslah mempertimbangkan banyak faktor secara komprehensif seperti tingkat inflasi, kebutuhan hidup laik, pertumbuhan ekonomi serta yang tak kalah penting adalah produktivitas tenaga kerja.
Mari ambil contoh soal produktivitas tenaga kerja. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sebenarnya pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Indonesia masih lebih rendah dibanding Filiphina dan Vietnam.
Mengutip data dari CEIC, sejak tahun 2011-2017 rata-rata pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Vietnam mencapai 3,73%. Sementara Vietnam dan Filiphina mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi masing-masing 11,48% dan 4,5%.
Salah satu kunci utama adalah di produktivitas. Ketika upah naik tanpa dibarengi dengan peningkatan produktivitas yang nyata, sama saja bohong. Ke depan produktitas tenaga kerja RI perlu jadi agenda prioritas untuk mengurai benang kusut sengkarut UMP yang jadi masalah menahun terutama Jawa Barat. (twg/twg)
Pages
Most Popular