Kini, batu bara kian menduduki posisi penting dalam perekonomian nasional dan bahkan dunia. Menurut data BP, sejak tahun 2009 Indonesia menyalip Rusia menjadi produsen batu bara dunia terbesar kelima, dengan angka produksi 155,3 juta ton (4,6% produksi dunia). Rusia yang pada 2008 menyumbang 4,6% produksi dunia, turun ke posisi ke-6 dengan sumbangan 4,1%.
Sejak saat itu, dominasi batu bara Indonesia di pasar dunia kian merangsek maju. Terbaru pada tahun 2018, BP mencatat Indonesia telah menyingkirkan India dan Australia sebagai produsen mineral hitam tersebut, mengekor Amerika Serikat (AS) dan China. Produksi batu bara Indonesia pada tahun itu mencapai 323,2 juta ton atau setara dengan 8,3% produksi dunia.
Namun, jika kita bicara mengenai pemasok terbesar batu bara di pasar dunia, Indonesia menjadi pemain terbesar kedua, menempel ketat Australia yang berada di posisi pertama. Meski produksi batu bara China dan AS menjadi yang terbesar dunia, masing-masing sebesar 46,7% dan 9,3% dari produksi dunia, tetapi mayoritas diserap di pasar domestik mereka sendiri.
Australia dan Indonesia menduduki posisi sebagai eksportir bersih (net exporter) utama batu bara dunia, dengan porsi ekspor masing-masing sebesar 249,4 juta ton dan 220,3 juta ton. Eropa dan China di sisi lain menjadi net importer terbesar dengan porsi masing-masing 149,6 juta ton dan 146,5 juta ton pada 2018.
Sama seperti pola konsumsi energi dunia, Indonesia juga saat ini melihat pergeseran dalam bauran energinya, dengan posisi batu bara sebagai sumber utama kedua di bauran energi primer, setelah minyak bumi. Energi primer adalah energi asli yang dikonsumsi dalam bentuk aslinya, belum diubah menjadi bentuk energi lain seperti listrik.
Mengutip data Kementerian ESDM (2017) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal EBTKE, tiga energi fosil utama dunia, yakni minyak bumi, batu bara, dan gas alam masih berperan dominan dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional. Minyak bumi dan batu bara menyumbang 46% dan 21% dari konsumsi energi primer Indonesia, sedangkan gas alam di kisaran angka 18%.
Sementara itu, jika bicara pembangkitan listrik Kementerian ESDM mencatat energi fosil per Juni 2019 secara total menyumbang 87,21% listrik yang kita nikmati tiap hari. Batu bara menjadi penyumbang utama dengan porsi 61,85%, gas di posisi kedua dengan porsi 21,12%, dan energi baru terbarukan (EBT) menyusul sebesar 12,71%.
Ke depan, porsi batu bara dalam pembangkitan listrik bakal kian dominan, menyusul pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap terbesar se-Asia Tenggara, yakni PLTU Jawa 7 di Serang (Banten) yang bakal memproduksi 2x1.000 megawatt (MW) untuk Jawa dan Bali. Tahun depan jika tidak ada aral melintang, PLTU Batang menyusul dengan kapasitas sama. Ini bakal secara radikal mengubah porsi bauran energi kita secara umum (tak hanya listik).
Berdasarkan pemodelan pasokan energi primer pada Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN), batu bara pada 2019 diarahkan menjadi panglima dengan porsi 104,8 juta ton setara minyak (MTOE) atau 36,5% dalam bauran energi primer nasional. Porsi minyak bumi ditargetkan turun dari saat ini 46% menjadi 28,8%.
Dari data dan paparan tersebut, terlihat bahwa batu bara masih akan menjadi primadona dunia, dan menjadi urat nadi energi nasional. Terlepas dari ekses buruk yang ditimbulkan serta kampanye negatif yang menghujani industri ini, mineral hitam ini masih menjadi tulang punggung Indonesia.
Di tengah serangan kampanye negatif terhadap batu bara, sektor tambang diam-diam menjadi motor perekonomian, menyumbang triliunan rupiah per tahun yang memungkinkan negeri ini bertahan sampai sekarang. Dengan kata lain, kontribusi mineral hitam ini tak melulu “hitam” dan tidak hanya memberi dampak negatif saja bagi NKRI.
Dari setoran non-pajak, industri batu bara pada tahun depan ditargetkan menyumbang setoran PNBP senilai Rp 26,2 triliun, atau 59% dari total setoran pada APBN 2020. Gabungan lusinan mineral lainnya hanya ditargetkan menyumbang 41% sisanya. Setoran PNBP ini meliputi pembayaran royalti, penjualan hasil tambang, dan iuran tetap.
Dari sisi perpajakan, perusahaan batu bara terkena pajak ekspor, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 25% dari keuntungan mereka per tahun, dan pajak dividen sebesar 20%. Belum lagi retribusi daerah yang biasanya dikenakan pungutan alat berat (maksimum 0,2%), pungutan BBM dan penerangan jalan, hingga pajak bumi dan bangunan (PBB).
Sampai sekarang, Kementerian Keuangan belum pernah merilis kontribusi sektor batu bara terhadap penerimaan pajak. Sejauh ini data yang terbuka di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya mengenai jumlah wajib pajak (WP) dari industri batu bara yang mencapai 7.115 pihak.
Namun, ada baiknya kita menengok “jeroan” produsen terbesar batu bara Indonesia yang juga eksportir terbesar batu bara se-Asia, yakni PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Berdasarkan laporan keuangan tahunan yang dipublikasikan, setoran pajak perseroan pada 2018 mencapai US$263,5 juta atau setara dengan Rp 3,7 triliun.
Namun nilai ekonominya yang disumbangkan ke perekonomian lebih besar dari itu yakni mencapai US$454,15 juta (Rp 6,4 triliun). Ini dari satu perusahaan tambang saja, mengingat ada sekitar 7.000 perusahaan tambang batu bara yang berdiri di Indonesia.
 Sumber: Laporan Keuangan 2018 |
Tidak heran jika kemudian Indonesia Mining Association (IMA) Award 2018 menyematkan predikat “Kontributor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Terbesar di Indonesia” kepada raksasa batu bara nasional tersebut, karena besarnya sumbangsih perseroan terhadap APBN.
Perlu dicatat, BUMI merupakan tambang batu bara generasi pertama sehingga harus menyetor PPh Badan dengan tarif terbesar yakni mencapai 45%. "Untuk generasi pertama, sebanyak 7 perusahaan dan produksinya itu bisa dibilang sama dengan separuh dari produksi batu bara nasional," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, kepada CNBC Indonesia, baru-baru ini.
Kontrak-kontrak generasi pertama ini kebanyakan akan berakhir pada 2025 mendatang. Untuk kontrak generasi berikutnya memang sistem pajaknya sudah menggunakan sistem prevailing, atau mengikuti ketentuan yang berlaku. Menurut Hendra, tambang batu bara generasi pertama jika dihitung secara keseluruhan setorannya ke negara bisa mencapai 65%-70% dari omzetnya.
Sebagai eksportir utama batu bara di tingkat regional Asia Tenggara, tidak mengherankan jika BUMI juga menjadi perusahaan swasta dengan sumbangan devisa terbesar. Otoritas moneter mencatat rekam-jejak itu, sehingga memberikan anugerah Bank Indonesia (BI) Award PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai korporasi penyumbang devisa ekspor terbaik periode 2018.
Dari sisi setoran, sempat ada dugaan bahwa perusahaan-perusahaan tambang nasional, termasuk BUMI, menggelapkan pajak sebagaimana disuarakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sejauh ini penyidikan masih berlanjut untuk membuktikan dugaan-dugaan tersebut.
Namun bagi pemerintah Kalimantan Timur (Kaltim), BUMI merupakan pembayar pajak terbesar yang paling patuh, sehingga Gubernur Kaltim pada 30 Januari 2018 menganugerahinya sebagai Perusahaan Taat Pajak (Tax Abiding Company). Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bontang juga mengakui BUMI sebagai Biggest Tax Payer 2018.
Tak kurang, Kementerian Keuangan juga menilai perusahaan yang mempekerjakan 5.059 karyawan ini sebagai ‘One of Most Obedient and Biggest Tax Payer 2017’ dalam ajang PNBP Award yang digelar pada 13 Maret 2018.
Suka tidak suka, tambang batu bara masih akan di sini dan menjadi bagian dari urat nadi penerimaan negara, dan perekonomian Indonesia. Guna menghindari risiko dan ekses negatif dari industri ini, serta memastikan kontribusi mereka tetap berjalan dengan benar, pengawasan perlu dijalankan secara melekat baik oleh aparat maupun masyarakat.
TIM RISET CNBC INDONESIA