
Pengusaha Tekstil ke Jokowi: 100% Impor Kapas, Listrik Mahal!
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
21 November 2019 13:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Puluhan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) bertemu Presiden Jokowi di Istana, Kamis (21/11). Pertemuan ini adalah lanjutan dari pertemuan September lalu, yang membahas banyak hal soal permasalahan industri tekstil dan solusinya.
Ketua Umum Ade Sudrajat mengatakan ada beberapa pembahasan utama yang disampaikan ke Presiden Jokowi.
Pertama, bagaimana industri tekstil bisa menjadi penggerak investasi asing yang masuk ke Indonesia. Selain itu mencari solusi dari hambatan-hambatan yang dihadapi yang bisa menghambat investasi, termasuk investasi dari dalam negeri. Ade bilang banyak investor asing ingin masuk ke sektor dyeing atau pencelupan hingga printing tekstil, tapi masih ada sumbatan.
"Cuma mereka datang ke Indonesia melihat seberapa cepat pelayanan perizinan, karena perizinan ini sangat penting untuk mereka bisa beroperasi," kata Ade dalam konferensi pers di Istana, Kamis (21/11)
Kedua, Persoalan bahan baku industri tekstil. Industri tekstil di Indonesia memang sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir, tapi persoalannya tak semua bahan bakunya dari dalam negeri seperti bahan baku benang dan lain-lain. Indonesia masih bergantung dengan kapas impor hingga bahan baku serat buatan lainnya.
"Indonesia gunakan 3 serat utama: yaitu serat kapas, dimana kapas Indonesia tidak memiliki tanaman yang kuat sehingga sehingga kita harus impor 100%," katanya.
Soal bahan baku polyester, di Indonesia sudah ada 12 perusahaan yang menghasilkan polyester namun bahan bakunya masih harus impor seperti PolyEthylene Terephthalate (PET). Dari kondisi ini ada peluang investasi di sektor hulu polyester dengan membangun refinery masih sangat besar. Selain itu, ada opsi untuk mengembangkan bahan baku benang berbasis alam seperti serat kayu sehingga bisa menekan impor. Ke depannya segala bahan baku industri tekstil bisa 100% dari dalam negeri.
"Kita tadi memohon kiranya ada hutan tanaman rakyat kita sanggup berdayakan hingga 1 juta hektare untuk men-drive hutan tanaman rakyat jadi income masyarakat khususnya yang berada di Kalimantan," katanya.
Ketiga, isu lingkungan, industri tekstil memang tidak bersih dari persoalan isu lingkungan seperti yang terjadi di Bandung Jawa Barat terkait pencemaran Sungai Citarum. Ada beberapa industri harus ditutup saluran limbahnya. Ade bilang pada dasarnya industri ingin menjalankan usaha secara berkelanjutan termasuk soal lingkungan.
"Kita ingin melihat sustainability dari proses tekstil sehingga tidak merusak lingkungan maupun memperbaiki lingkungan ke depan tapi kita ingin mencegah sebelum segalanya terjadi sehingga proses pengolahan harus sentralistik supaya kita berdaya saing secara global," katanya.
Salah satu caranya mencegah pencemaran dari ekses industri tekstil dengan membangun kawasan industri khusus bagi tekstil, sehingga pembuangan limbah produksi bisa ditangani lebih baik. Kawasan industri tekstil bisa dikembangkan dari hulu sampai hilir. Ade mengusulkan kawasan industri khusus ini ada di Jawa Tengah dengan luas sampai 4.000 hektare.
Keempat, persoalan revitalisasi industri tekstil, yang harus terus berjalan karena mesin-mesin tekstil harus tetap diremajakan menyesuaikan kebutuhan pasar agar bisa berdaya saing.
"Bagaimana merevitalisasi industri ini supaya pergantian mesin misalnya mesin lama supaya penjualan mesin lama tidak dikenakan PPN," katanya.
Kelima, masalah yang dibahas soal kebutuhan energi bagi industri tekstil dan produk tekstil. Pengusaha mengeluh harga gas yang mahal di dalam negeri, sedangkan Indonesia menjual harga gas lebih murah ke negara pesaing. Pengusaha juga mengeluh soal tarif listrik yang masih tinggi untuk industri sebagai sumber energi kedua setelah gas.
"Listrik yang relatif masih lebih mahal. Mohon kiranya bapak presiden diberikan jalan keluar supaya listrik ini untuk industri khususnya ada insentif-insentif khusus yang bukan merupakan pelanggaran hukum bagi direksinya," katanya.
Keenam, soal upaya mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dan UU Agraria yang selama ini dianggap memberatkan pengusaha tekstil.
"Kita sampaikan juga ke pak presiden bahwa hak guna bangunan jangan dibatasi 30 tahun, kalau boleh 50 tahun. walau 30 tahun bisa diperpanjang tapi sama nanti dengan beli baru 30 tahun yang akan datang, jadi itu lebih baik ditetapkan 50 tahun daripada tidak bisa diperpanjang," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Temui Pengusaha Tekstil, Jokowi Sampaikan Jurus Genjot Ekspor
Ketua Umum Ade Sudrajat mengatakan ada beberapa pembahasan utama yang disampaikan ke Presiden Jokowi.
Pertama, bagaimana industri tekstil bisa menjadi penggerak investasi asing yang masuk ke Indonesia. Selain itu mencari solusi dari hambatan-hambatan yang dihadapi yang bisa menghambat investasi, termasuk investasi dari dalam negeri. Ade bilang banyak investor asing ingin masuk ke sektor dyeing atau pencelupan hingga printing tekstil, tapi masih ada sumbatan.
"Cuma mereka datang ke Indonesia melihat seberapa cepat pelayanan perizinan, karena perizinan ini sangat penting untuk mereka bisa beroperasi," kata Ade dalam konferensi pers di Istana, Kamis (21/11)
Kedua, Persoalan bahan baku industri tekstil. Industri tekstil di Indonesia memang sudah terintegrasi dari hulu sampai hilir, tapi persoalannya tak semua bahan bakunya dari dalam negeri seperti bahan baku benang dan lain-lain. Indonesia masih bergantung dengan kapas impor hingga bahan baku serat buatan lainnya.
"Indonesia gunakan 3 serat utama: yaitu serat kapas, dimana kapas Indonesia tidak memiliki tanaman yang kuat sehingga sehingga kita harus impor 100%," katanya.
Soal bahan baku polyester, di Indonesia sudah ada 12 perusahaan yang menghasilkan polyester namun bahan bakunya masih harus impor seperti PolyEthylene Terephthalate (PET). Dari kondisi ini ada peluang investasi di sektor hulu polyester dengan membangun refinery masih sangat besar. Selain itu, ada opsi untuk mengembangkan bahan baku benang berbasis alam seperti serat kayu sehingga bisa menekan impor. Ke depannya segala bahan baku industri tekstil bisa 100% dari dalam negeri.
"Kita tadi memohon kiranya ada hutan tanaman rakyat kita sanggup berdayakan hingga 1 juta hektare untuk men-drive hutan tanaman rakyat jadi income masyarakat khususnya yang berada di Kalimantan," katanya.
Ketiga, isu lingkungan, industri tekstil memang tidak bersih dari persoalan isu lingkungan seperti yang terjadi di Bandung Jawa Barat terkait pencemaran Sungai Citarum. Ada beberapa industri harus ditutup saluran limbahnya. Ade bilang pada dasarnya industri ingin menjalankan usaha secara berkelanjutan termasuk soal lingkungan.
"Kita ingin melihat sustainability dari proses tekstil sehingga tidak merusak lingkungan maupun memperbaiki lingkungan ke depan tapi kita ingin mencegah sebelum segalanya terjadi sehingga proses pengolahan harus sentralistik supaya kita berdaya saing secara global," katanya.
Salah satu caranya mencegah pencemaran dari ekses industri tekstil dengan membangun kawasan industri khusus bagi tekstil, sehingga pembuangan limbah produksi bisa ditangani lebih baik. Kawasan industri tekstil bisa dikembangkan dari hulu sampai hilir. Ade mengusulkan kawasan industri khusus ini ada di Jawa Tengah dengan luas sampai 4.000 hektare.
Keempat, persoalan revitalisasi industri tekstil, yang harus terus berjalan karena mesin-mesin tekstil harus tetap diremajakan menyesuaikan kebutuhan pasar agar bisa berdaya saing.
"Bagaimana merevitalisasi industri ini supaya pergantian mesin misalnya mesin lama supaya penjualan mesin lama tidak dikenakan PPN," katanya.
Kelima, masalah yang dibahas soal kebutuhan energi bagi industri tekstil dan produk tekstil. Pengusaha mengeluh harga gas yang mahal di dalam negeri, sedangkan Indonesia menjual harga gas lebih murah ke negara pesaing. Pengusaha juga mengeluh soal tarif listrik yang masih tinggi untuk industri sebagai sumber energi kedua setelah gas.
"Listrik yang relatif masih lebih mahal. Mohon kiranya bapak presiden diberikan jalan keluar supaya listrik ini untuk industri khususnya ada insentif-insentif khusus yang bukan merupakan pelanggaran hukum bagi direksinya," katanya.
Keenam, soal upaya mendorong revisi UU Ketenagakerjaan dan UU Agraria yang selama ini dianggap memberatkan pengusaha tekstil.
"Kita sampaikan juga ke pak presiden bahwa hak guna bangunan jangan dibatasi 30 tahun, kalau boleh 50 tahun. walau 30 tahun bisa diperpanjang tapi sama nanti dengan beli baru 30 tahun yang akan datang, jadi itu lebih baik ditetapkan 50 tahun daripada tidak bisa diperpanjang," katanya.
(hoi/hoi) Next Article Temui Pengusaha Tekstil, Jokowi Sampaikan Jurus Genjot Ekspor
Most Popular