Mau Jadi Bupati? Tito: Kalau Tak Punya Rp30 M, Tak Berani!

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
18 November 2019 16:07
Hal itu dilontarkan Tito dalam rapat bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Foto: Tito Karnavian (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali mengungkap alasan di balik keinginan mengevaluasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Hal itu dilontarkan Tito dalam rapat bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).

"Itu belum termasuk politik biaya tinggi untuk calon kepala daerah. Ini dari empirik saja. Untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati, kalau nggak punya Rp 30 miliar, nggak berani. Gubernur lebih lagi. Kalau ada yang mengatakan nggak bayar, nol persen, saya pengen ketemu orangnya," ujarnya seperti dilansir detik.com.

"Sementara dilihat pemasukan dari gaji, Rp 200 juta kali 12 (bulan), Rp 2,4 (miliar), lima tahun Rp 12 miliar, keluar Rp 30 miliar. Mana mau tekor? Kalau dia mau tekor saya hormat sekali. Itu berarti betul-betul mau mengabdi buat nusa-bangsa. Tapi ada 1.001 mungkin ya, ada," lanjutnya.



Fakta-fakta itu membuat Tito menyebut operasi tangkap tangan yang dilakukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sebab, sistem politik yang memaksa sang kepala daerah balik modal.

"Sehingga ya tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, teknik-teknik investigasi, menarget kepala daerah, itu sangat mudah sekali. Jadi kita sudah menciptakan sistem yang membuat kepala daerah itu untuk korupsi. Kalau ada yang memang tidak melakukan itu, kita sangat bersyukur," kata Tito.

"Evaluasi ini dilakukan harus ada kajian akademik, tidak bisa dengan empirik, berdasarkan pengalaman saja. Beberapa masukan informasi dampak negatif, dampak positif. Empirik ini bisa bias, bisa menyimpang, sehingga perlu adanya kajian akademik karena memiliki metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan data, baik data kualitatif atau data kuantitatif," lanjutnya.

Usulan Tito sejatinya sudah pernah disampaikan beberapa waktu yang lalu. Isunya melebar bahwa Tito menginginkan agar pilkada secara langsung diganti menjadi pilkada secara tidak langsung alias via DPRD. Tak pelak, pro dan kontra mengemuka. Bahkan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman memastikan bahwa Presiden mendukung penuh pilkada secara langsung.

Dari sisi pengusaha, tanggapan mereka beragam perihal evaluasi pelaksanaan pilkada secara langsung. Misalnya dari Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia Kyatmaja Lookman.

"Kalau dari sisi pengusaha, pemilihan langsung bagus juga karena rakyat bisa milih mana yang mereka anggap paling tepat. Kalau di DPRD ada plus minusnya juga. Mereka (rakyat) nggak bisa milih. Pemilihan akan dipilih ditentukan orang-orang itu aja, orang partai. Itu kan juga memberikan masalah," katanya di Kemenko Kemaritiman dan Investasi, pekan lalu.

"Mungkin prosesnya saja yang perlu diperbaiki. Karena biaya politik yang lalu cukup besar karena benturannya awet. Tapi kita liatlah. Dampaknya selalu ada plus minus," lanjut Kyatmaja.

Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengaku terkadang pilkada mengganggu aktivitas bisnis.

"Karena kerap kali pilkada ini terjadi insiden atau kelompok-kelompok di masyarakat yang itu jadi berdampak keamanan dan kenyamanan berinvestasi maupun berbisnis," katanya kepada CNBC Indonesia.

Oleh karena itu, Sarman menilai perlu ada kajian mendalam terkait pelaksanaan pilkada. Untuk menilai mana yang lebih baik, apakah langsung atau tidak langsung.

"Dengan melibatkan semua stakeholder. Unsur masyarakat, partai politik, pengusaha, pengamat, pemerintah, KPU sebagai penyelenggara, terutama mendengar aspirasi masyarakat ini," ujar Sarman.

[Gambas:Video CNBC]


(miq/hoi) Next Article Tito Ultimatum Kepala Daerah Soal Pilkada Serentak, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular