
Krisis Petani di RI Apakah Benar-Benar Terjadi?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
14 November 2019 18:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menghadapi ancaman besar yang bernama krisis pertanian. Penyebabnya yaitu krisis jumlah petani, alih fungsi lahan pertanian dan urbanisasi yang tinggi.
Sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan besar ke depannya. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu hampir 30 tahun terakhir, sokongan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun.
Tercatat sejak tahun 1990-2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama. Sektor pertanian pun tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Ketika ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan 5% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan sektor pertanian hanya mampu mencapai angka 3%.
Sektor pertanian Indonesia terancam terkontraksi karena krisis petani. Indonesia diprediksi mengalami krisis jumlah petani dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Alih generasi sektor pertanian kepada kaum milenial menjadi perhatian serius.
Kondisi tersebut tak terlepas dari karakter demografi petani di Indonesia. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyebut rata-rata petani saat ini berusia 47 tahun ke atas.
"Rata-rata petani di Indonesia berumur 47 tahun. Petani Indonesia akan menjadi krisis pada 10-15 tahun mendatang," kata Arif usai bertemu Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2019). Persoalan itu menjadi topik pembahasan dalam pertemuan Syahrul dan Arif yang datang didampingi pengajar, senat dan guru besar IPB.
Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun jumlahnya. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 33% menjadi 29%.
Baca : Rektor IPB: RI akan Krisis Petani pada 10-15 Tahun ke Depan
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan persoalan margin di sektor pertanian membuat orang menjadi tak tertarik berbisnis di sektor ini.
"Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor tanaman pangan dalam beberapa tahun ini selalu tipis di atas angka 100 bahkan sering di bawah 100. Statistik tersebut menunjukkan bahwa subsektor tanaman pangan saat ini sebenarnya kurang prospektif." Tulis Agus Dwi Nugroho, peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM dalam tulisannya di detikNews. Selain masalah margin, upah buruh di sektor pertanian juga tergolong rendah dan bahkan terendah dibandingkan dengan upah buruh di sektor lainnya.
Mengutip dataSakernas Agustus 2019, upah buruh di sektor pertanian per bulan rata-rata Rp 2.031.206 jauh lebih rendah dibanding upah buruh di sektor lainnya. Masalah upah juga membuat sektor pertanian menjadi tidak dilirik.
Masalah kedua yang dihadapi sektor pertanian tanah air yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman maupun kawasan industri. Menurut Agus Dwi Nugroho Indonesia terancam darurat lahan pangan.
Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan pada 2018 luas baku sawah di Indonesia tinggal 7,1 juta hektar (ha) atau turun dibandingkan 2013 yang masih 7,75 juta ha. Pada sisi lain, upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk program cetak sawah hanya mampu menghasilkan sekitar 60 ribu ha sawah tiap tahunnya. Dengan begitu, Indonesia mengalami defisit sawah hampir sekitar 350 ribu ha selama 5 tahun terakhir.
Alih fungsi sawah menyebabkan potensi kehilangan pangan yang tinggi tiap tahunnya akibat berkurangnya luas tanam. Apabila diasumsikan produktivitas padi nasional adalah 5 ton per ha, maka Indonesia telah kehilangan minimal sekitar 350 ribu ton gabah per musim tanam akibat alih fungsi sawah.
Kondisi tersebut nantinya akan memperkuat pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat daripada pertambahan bahan makanan.
Akibatnya, Indonesia di masa depan akan mengalami kekurangan pangan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, dan solusi yang harus dilakukan adalah meningkatkan kuantitas impor pangan.
Hal ini pada jangka panjang akan mengganggu kedaulatan pangan maupun kedaulatan nasional karena semakin besarnya ketergantungan pada negara lain.
Faktor lain yang juga membuat Indonesia darurat pertanian adalah, urbanisasi. Urbanisasi memang dapat mendongkrak perekonomian. Namun urbanisasi yang tinggi punya konsekuensi terhadap pertanian. Banyak orang meninggalkan desa untuk mengundi nasib ke kota.
Laju urbanisasi Indonesia tergolong sangat pesat. Pada 2007, 47,54% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Namun sepuluh tahun kemudian penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan sudah mencapai 54,66%.
Memang salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di perkotaan adalah dengan adanya urban farming. Namun hingga saat ini ketika berbicara masalah skala jelas tidak sebesar pertanian konvensional.
Urban farming juga masih dianggap sebagai gaya hidup ketimbang sebagai sesuatu yang urgen. Belum lagi lahan di perkotaan yang kosong banyak yang dikonversi menjadi kawasan hunian maupun industri. Jadi memang tak bisa dipungkiri Indonesia darurat pertanian.
Baca : Sawah Kian Langka di Indonesia, Jokowi Rilis Aturan Khusus
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article 100 Ribu Hektar Lebih Lahan Kekeringan, Produksi Masih Aman?
Sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan besar ke depannya. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu hampir 30 tahun terakhir, sokongan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun.
Tercatat sejak tahun 1990-2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama. Sektor pertanian pun tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Sektor pertanian Indonesia terancam terkontraksi karena krisis petani. Indonesia diprediksi mengalami krisis jumlah petani dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang. Alih generasi sektor pertanian kepada kaum milenial menjadi perhatian serius.
Kondisi tersebut tak terlepas dari karakter demografi petani di Indonesia. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyebut rata-rata petani saat ini berusia 47 tahun ke atas.
"Rata-rata petani di Indonesia berumur 47 tahun. Petani Indonesia akan menjadi krisis pada 10-15 tahun mendatang," kata Arif usai bertemu Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2019). Persoalan itu menjadi topik pembahasan dalam pertemuan Syahrul dan Arif yang datang didampingi pengajar, senat dan guru besar IPB.
Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun jumlahnya. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 33% menjadi 29%.
Baca : Rektor IPB: RI akan Krisis Petani pada 10-15 Tahun ke Depan
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan persoalan margin di sektor pertanian membuat orang menjadi tak tertarik berbisnis di sektor ini.
"Nilai Tukar Petani (NTP) subsektor tanaman pangan dalam beberapa tahun ini selalu tipis di atas angka 100 bahkan sering di bawah 100. Statistik tersebut menunjukkan bahwa subsektor tanaman pangan saat ini sebenarnya kurang prospektif." Tulis Agus Dwi Nugroho, peneliti di Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian (PAKTA) Fakultas Pertanian UGM dalam tulisannya di detikNews. Selain masalah margin, upah buruh di sektor pertanian juga tergolong rendah dan bahkan terendah dibandingkan dengan upah buruh di sektor lainnya.
Mengutip dataSakernas Agustus 2019, upah buruh di sektor pertanian per bulan rata-rata Rp 2.031.206 jauh lebih rendah dibanding upah buruh di sektor lainnya. Masalah upah juga membuat sektor pertanian menjadi tidak dilirik.
![]() |
Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan pada 2018 luas baku sawah di Indonesia tinggal 7,1 juta hektar (ha) atau turun dibandingkan 2013 yang masih 7,75 juta ha. Pada sisi lain, upaya pemerintah melalui Kementerian Pertanian untuk program cetak sawah hanya mampu menghasilkan sekitar 60 ribu ha sawah tiap tahunnya. Dengan begitu, Indonesia mengalami defisit sawah hampir sekitar 350 ribu ha selama 5 tahun terakhir.
Alih fungsi sawah menyebabkan potensi kehilangan pangan yang tinggi tiap tahunnya akibat berkurangnya luas tanam. Apabila diasumsikan produktivitas padi nasional adalah 5 ton per ha, maka Indonesia telah kehilangan minimal sekitar 350 ribu ton gabah per musim tanam akibat alih fungsi sawah.
Kondisi tersebut nantinya akan memperkuat pendapat Malthus bahwa pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat daripada pertambahan bahan makanan.
Akibatnya, Indonesia di masa depan akan mengalami kekurangan pangan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cepat, dan solusi yang harus dilakukan adalah meningkatkan kuantitas impor pangan.
Hal ini pada jangka panjang akan mengganggu kedaulatan pangan maupun kedaulatan nasional karena semakin besarnya ketergantungan pada negara lain.
Faktor lain yang juga membuat Indonesia darurat pertanian adalah, urbanisasi. Urbanisasi memang dapat mendongkrak perekonomian. Namun urbanisasi yang tinggi punya konsekuensi terhadap pertanian. Banyak orang meninggalkan desa untuk mengundi nasib ke kota.
Laju urbanisasi Indonesia tergolong sangat pesat. Pada 2007, 47,54% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Namun sepuluh tahun kemudian penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan sudah mencapai 54,66%.
Memang salah satu upaya yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di perkotaan adalah dengan adanya urban farming. Namun hingga saat ini ketika berbicara masalah skala jelas tidak sebesar pertanian konvensional.
Urban farming juga masih dianggap sebagai gaya hidup ketimbang sebagai sesuatu yang urgen. Belum lagi lahan di perkotaan yang kosong banyak yang dikonversi menjadi kawasan hunian maupun industri. Jadi memang tak bisa dipungkiri Indonesia darurat pertanian.
Baca : Sawah Kian Langka di Indonesia, Jokowi Rilis Aturan Khusus
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article 100 Ribu Hektar Lebih Lahan Kekeringan, Produksi Masih Aman?
Most Popular