
Pengusaha 'Gerah' Tekstil Dianggap Sebagai Bisnis Sunset
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
31 October 2019 11:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) berupaya bangkit dari tekanan. Ada peluang kenaikan ekspor besar di tahun 2025.
Ketua Umum Ikatan Tekstil Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi memaparkan volume perdagangan dunia akan mencapai US$ 1,23 T pada 2025 dibanding tahun 2018 sebesar US$ 925,3 miliar. Menurutnya, ini akan menjadi prospek bagus bagi industri TPT nasional asalkan produk mampu berdaya saing, masalah permesinan diatasi, dan regulasi berkompetitif.
Yang menjadi catatan adalah masih ada beberapa faktor yang menekan industri TPT. Selain derasnya produk impor, pengusaha TPT dihadapkan pada anggapan buruk terhadap industri ini. Padahal, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh dibanding Vietnam dan Bangladesh saat ini.
"Ada bad campaign, ekonom mengatakan industri TPT sunset industry. Vietnam itu sunshine, Bangladesh sunrise. Kita termakan oleh definisi kita," kata RusdiĀ di Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Sunset industry dapat diartikan bahwa industri ini dianggap beresiko untuk penyaluran kredit perbankan. Selain itu, anggapan bahwa industri TPT tidak mempunyai keunggulan komparatif juga menjadi tekanan lain.
Menurut Rusdi, istilah sunset industry dan anggapan tidak unggul komparatif memiliki pengaruh serius terhadap investor. "Ekonom selalu bilang industri TPT tidak punya comparative advantage. Investor enggan masuk. Ini berpengaruh, apalagi ketika yang ngomong adalah World Bank," tambahnya.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam juga tidak setuju jika istilah sunset industry disematkan kepada industri TPT. Dalam peta jalan making Indonesia 4.0, industri TPT termasuk dari 5 industri prioritas berbasis 4.0.
"Itu keliru. Dia [TPT] salah satu penyumbang negara [PDB manufaktur] terbesar untuk satu sektor. Ekspor dalam pakaian jadi sendiri, tekstil sendiri, kulit dan alas kaki itu besar," kata Khayam.
Masalahnya, istilah ini terus disuarakan sehingga menjadi penghambat bagi pelaku usaha dalam pendanaan. Padahal, industri ini didorong untuk merevitalisasi mesin yang berbiaya cukup tinggi.
"Betul [sunset industry] terus bergaung dan larinya ke aspek finance (pembiayaan), tetapi BI sudah mengubah mindset mereka sendiri. Kita nggak bisa sendiri, kita sekarang dengan BI dan juga OJK yang kita pengaruhi," ucap Khayam.
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil RI: Kalah dari Vietnam hingga Gelombang PHK
Ketua Umum Ikatan Tekstil Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi memaparkan volume perdagangan dunia akan mencapai US$ 1,23 T pada 2025 dibanding tahun 2018 sebesar US$ 925,3 miliar. Menurutnya, ini akan menjadi prospek bagus bagi industri TPT nasional asalkan produk mampu berdaya saing, masalah permesinan diatasi, dan regulasi berkompetitif.
Yang menjadi catatan adalah masih ada beberapa faktor yang menekan industri TPT. Selain derasnya produk impor, pengusaha TPT dihadapkan pada anggapan buruk terhadap industri ini. Padahal, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh dibanding Vietnam dan Bangladesh saat ini.
Sunset industry dapat diartikan bahwa industri ini dianggap beresiko untuk penyaluran kredit perbankan. Selain itu, anggapan bahwa industri TPT tidak mempunyai keunggulan komparatif juga menjadi tekanan lain.
Menurut Rusdi, istilah sunset industry dan anggapan tidak unggul komparatif memiliki pengaruh serius terhadap investor. "Ekonom selalu bilang industri TPT tidak punya comparative advantage. Investor enggan masuk. Ini berpengaruh, apalagi ketika yang ngomong adalah World Bank," tambahnya.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam juga tidak setuju jika istilah sunset industry disematkan kepada industri TPT. Dalam peta jalan making Indonesia 4.0, industri TPT termasuk dari 5 industri prioritas berbasis 4.0.
"Itu keliru. Dia [TPT] salah satu penyumbang negara [PDB manufaktur] terbesar untuk satu sektor. Ekspor dalam pakaian jadi sendiri, tekstil sendiri, kulit dan alas kaki itu besar," kata Khayam.
Masalahnya, istilah ini terus disuarakan sehingga menjadi penghambat bagi pelaku usaha dalam pendanaan. Padahal, industri ini didorong untuk merevitalisasi mesin yang berbiaya cukup tinggi.
"Betul [sunset industry] terus bergaung dan larinya ke aspek finance (pembiayaan), tetapi BI sudah mengubah mindset mereka sendiri. Kita nggak bisa sendiri, kita sekarang dengan BI dan juga OJK yang kita pengaruhi," ucap Khayam.
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil RI: Kalah dari Vietnam hingga Gelombang PHK
Most Popular