
Nah Loh! ESDM Belum Mau Komentar Larangan Ekspor Nikel BKPM
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
29 October 2019 12:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) belum mau menanggapi panjang lebar soal percepatan larangan ekspor bijih nikel yang heboh sejak semalam.
Kemarin, BKPM mengklaim sudah ada kesepakatan dengan pengusaha smelter bahwa realisasi larangan ekspor nikel bisa dipercepat. Bahkan disebut-sebut bisa mulai hari ini berlakunya.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan sampai saat ini Direktorat Jenderal Minerba saat ini tengah melakukan evaluasi dan kunjungan lapangan terkait progres pembangunan smelter.
"Ini untuk menentukan kebijakan ke depan seperti apa terkait dengan ekspor nikel," ungkapnya singkat di Kementerian ESDM, Selasa, (29/10/2019).
Sebelumnya BKPM mengklaim pengusaha smelter dan penambang nikel sudah sama-sama sepakat merealisasikan kebijakan tersebut lebih cepat. Semestinya larangan ekspor yang disepakati berlaku 1 Januari 2020, bisa diberlakukan lebih cepat karena kesepakatan ini.
"Ini kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah," ungkap Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, di Kantor BKPM, Senin (28/10/2019).
Nikel merupakan salah satu komoditas sangat strategis yang dimiliki Indonesia. Termasuk 3 besar komoditas yang penguasaannya cukup signifikan dikuasai Indonesia di pasar global. Tiga komoditas tersebut adalah batu bara thermal, nikel, dan timah. Untuk nikel, Indonesia menguasai 27% dari pasokan dunia.
Produksi ini termasuk bentuk produk hulu bijih nikel 50 juta ton per tahun, maupun produk hilir seperti FeNi, NPI, Matte sebanyak 907 ribu ton. Industri nikel Indonesia juga terus meningkat nilai ekonomisnya karena hilirisasi.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan keputusan tersebut dihasilkan oleh pengusaha smelter yang tergabung dalam AP3I (Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian) dan BKPM.
Ia menegaskan, dari sisi penambang masih terdapat beberapa catatan sebelum kebijakan tersebut berlaku. Paling utama adalah masalah harga, surveyor, dan tata niaga.
Terutama soal harga, ia menekankan jangan sampai smelter membeli nikel RI lebih murah ketimbang harga internasional atau harga patokan mineral (HPM) yang ditentukan pemerintah. "Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap Smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM yang dikeluarkan oleh pemerintah," ujarnya, Selasa (29/10/2019).
(gus/gus) Next Article Pilih Ekspor, Penambang Nikel 'Gerah' dengan Smelter China?
Kemarin, BKPM mengklaim sudah ada kesepakatan dengan pengusaha smelter bahwa realisasi larangan ekspor nikel bisa dipercepat. Bahkan disebut-sebut bisa mulai hari ini berlakunya.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan sampai saat ini Direktorat Jenderal Minerba saat ini tengah melakukan evaluasi dan kunjungan lapangan terkait progres pembangunan smelter.
Sebelumnya BKPM mengklaim pengusaha smelter dan penambang nikel sudah sama-sama sepakat merealisasikan kebijakan tersebut lebih cepat. Semestinya larangan ekspor yang disepakati berlaku 1 Januari 2020, bisa diberlakukan lebih cepat karena kesepakatan ini.
"Ini kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah," ungkap Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, di Kantor BKPM, Senin (28/10/2019).
Nikel merupakan salah satu komoditas sangat strategis yang dimiliki Indonesia. Termasuk 3 besar komoditas yang penguasaannya cukup signifikan dikuasai Indonesia di pasar global. Tiga komoditas tersebut adalah batu bara thermal, nikel, dan timah. Untuk nikel, Indonesia menguasai 27% dari pasokan dunia.
Produksi ini termasuk bentuk produk hulu bijih nikel 50 juta ton per tahun, maupun produk hilir seperti FeNi, NPI, Matte sebanyak 907 ribu ton. Industri nikel Indonesia juga terus meningkat nilai ekonomisnya karena hilirisasi.
Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan keputusan tersebut dihasilkan oleh pengusaha smelter yang tergabung dalam AP3I (Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian) dan BKPM.
Ia menegaskan, dari sisi penambang masih terdapat beberapa catatan sebelum kebijakan tersebut berlaku. Paling utama adalah masalah harga, surveyor, dan tata niaga.
Terutama soal harga, ia menekankan jangan sampai smelter membeli nikel RI lebih murah ketimbang harga internasional atau harga patokan mineral (HPM) yang ditentukan pemerintah. "Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap Smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM yang dikeluarkan oleh pemerintah," ujarnya, Selasa (29/10/2019).
(gus/gus) Next Article Pilih Ekspor, Penambang Nikel 'Gerah' dengan Smelter China?
Most Popular