Pak Jokowi, Minta Tolong Sri Mulyani Jangan Diganti ya!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 October 2019 09:14
Tak Ada yang Tak Defisit
Foto: Jokowi (CNBC Indonesia/Chandra)

Sebelum membahas lebih dalam mengenai apresiasi Tim Riset CNBC Indonesia terhadap tambahan utang di era Sri Mulyani, ada baiknya kita memahami bagaimana dunia ini beroperasi. Saat ini, bahkan sudah sedari dulu, dunia ini berjalan dengan yang namanya defisit fiskal.

Defisit fiskal merupakan kondisi di mana penerimaan negara lebih kecil ketimbang pengeluarannya, sehingga negara harus meminjam ke pihak lain guna mencukupi kebutuhan belanja, baik itu dalam bentuk pinjaman ataupun penerbitan obligasi. 

Sejauh ini, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia. Mengutip halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah AS saat ini berada di level US$ 22,8 triliun. Jika dikonversi ke rupiah menggunakan kurs di pasar spot saat berita ini ditulis yakni Rp 14.160/dolar AS, nilainya adalah Rp 322.848 triliun.

Di urutan kedua dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada China yang kini sedang terlibat perang dagang dengan AS. Melansir halaman US Debt Clock.org, total utang pemerintah China adalah senilai US$ 9,7 triliun atau setara dengan Rp 137.352 triliun.

Di posisi tiga dari negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ada Negeri Sakura alias Jepang. Di posisi empat hingga 10 secara beruntun, ada Jerman, Inggris, India, Prancis, Italia, Brasil, dan Kanada.

Apakah ada yang bebas utang? Tidak. Semuanya punya utang.

Kalau dibandingkan dengan posisi utang pemerintah Indonesia per Agustus 2019 yang senilai Rp 4.680 triliun, utang Indonesia menjadi sangat-sangat kecil.

Namun, memang membandingkan posisi utang sebuah negara tak bisa hanya melalui nominalnya semata. Pasalnya, nilai perekonomian setiap negara berbeda-beda, sehingga kapasitasnya dalam melunasi utangnya juga berbeda-beda.

Di dunia ekonomi, biasanya rasio utang terhadap Produk Domestik Pruto (PDB) atau debt to GDP ratio merupakan indikator yang dipakai untuk menentukan sehat-tidaknya tingkat utang sebuah negara. Semakin tinggi rasio utang terhadap PDB, maka tingkat utang sebuah negara bisa dibilang semakin tidak sehat.

Melansir data dari Trading Economics, per tahun 2018 rasio utang terhadap PDB dari AS adalah 106%. Untuk China dan Jepang, rasio utang terhadap PDB-nya adalah masing-masing sebesar 50,5% dan 238%.

Bagaimana dengan Indonesia?

Ternyata, walau secara sepintas total utang pemerintah pusat yang senilai Rp 4.604 triliun terlihat besar, jika dilihat dari kacamata yang benar akan menjadi rendah.

Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang terhadap PDB Indonesia yang sebesar 29,8% merupakan yang terendah.

Dalam kondisi saat ini, tambahan utang memang diperlukan lantaran perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan stimulus guna membuatnya bergairah seperti dulu.

Pada periode satu pemerintahan SBY, secara rata-rata perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,94%, sementara dalam empat tahun pertama pemerintahan Jokowi, secara rata-rata perekonomian Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,01%.

Ada faktor eksternal di sini.


Semasa periode satu SBY, perekonomian global tumbuh lebih pesat, yakni 3,78% secara rata-rata. Sementara di era Jokowi (2015-2018), perekonomian global tumbuh melambat seiring dengan ketidakpastian yang membayangi perekonomian negara-negara dengan nilai raksasa. Jika dirata-rata, pertumbuhan ekonomi global dalam periode 2015-2018 adalah sebesar 3,55%.

Di AS dan China, kedua negara sudah lebih dari satu setengah tahun terlibat dalam perang dagang yang begitu panas. Di Inggris, kini potensi No-Deal Brexit alias perceraian antara Inggris dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan terbuka dengan sangat lebar.

Dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang lesu, masuk akal jika penerimaan negara menjadi kurang maksimal. Untuk diketahui, mayoritas penerimaan negara Indonesia datang dari penerimaan perpajakan, disusul oleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lalu kemudian penerimaan hibah.

Di era Jokowi, pertumbuhan ekonomi global yang relatif lesu (yang pada akhirnya membuat perekonomian Indonesia juga lesu) telah mengakibatkan penerimaan perpajakan menjadi relatif lemah, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara secara keseluruhan ikut menjadi rendah juga.

Jika dirata-rata, realisasi penerimaan perpajakan di periode satu SBY adalah sebesar 99,6% dari target. Untuk penerimaan negara secara keseluruhan, nilainya adalah 99,5%. Beralih ke era Jokowi, secara rata-rata dalam periode 2015-2018, realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 88%, sementara realisasi penerimaan negara secara keseluruhan hanya 92,8%.

Implikasinya, ya mau tak mau pemerintah harus berutang kalau tak mau belanjanya dipangkas. Untuk diketahui, realisasi belanja di era Jokowi tak kalah jauh dari realisasi di periode satu SBY.

Secara rata-rata, realisasi belanja negara di periode satu SBY tercatat sebesar 95,9% dari target. Di era Jokowi, angkanya hanya turun tipis menjadi 93,6%. Padahal kalau melihat realisasi penerimaan, Jokowi tertinggal jauh dari SBY.

Kalau Sri Mulyani tak mengambil keputusan yang berani untuk mengambil utang dalam jumlah yang besar, dipastikan perekonomian Indonesia akan lebih tertekan lagi. Bagi Indonesia yang masih masuk ke kategori negara berkembang, pertumbuhan ekonomi memang harus dijaga di level yang relatif tinggi.

Alasannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.

Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Kokohkan Pondasi

(ank/tas)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular