Ingin Kuasai Blok Migas demi Nasionalisme? Tengok Venezuela!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 October 2019 06:39
Ingin Kuasai Blok Migas demi Nasionalisme? Tengok Venezuela!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah lagi getol "merebut" blok migas besar yang sebelumnya dikelola kontraktor asing, seperti misalnya blok Mahakam dan blok Rokan. Langkah ini, pada titik tertentu, mengingatkan kita pada nasionalisasi BUMN minyak PSDVA di Venezuela.

Meski tidak berujung pada aksi serobot aset seperti di Venezuela, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghentikan perpanjangan kontrak PT Chevron Pacific Indonesia di blok Rokan yang selesai pada 2021 dan mengalihkannya ke Pertamina.

 

Demikian juga dengan blok Mahakam yang dialihkan ke Pertamina. Sebelumnya blok migas terbesar nasional itu dikelola perusahaan migas asal Prancis Total Exploration and Production Indonesie (TEPI) dan Inpex Corporation asal Jepang.

Retorika yang dikemukakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di masa kampanye terkait dengan hal ini adalah 'menguasai' blok Rokan, mengimplikasikan kebijakan yang cenderung pro-pemodal nasional dibandingkan dengan pemodal asing.

Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai investor khawatir melihat peningkatan retorika nasionalisme sejak pemilihan presiden lalu. Meski semua itu hanya retorika sebagaimana ditegaskan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan, Faby khawatir investor asing tetap menangkap itu sebagai tambahan premi risiko.

"Yang paling buruk adalah nasionalisasi seperti yang terjadi di Venezuela. Kecenderungan-kecenderungan ini diwaspadai. Bagi investor, ini dilihat sebagai risiko yang harus diwaspadai," ujarnya sebagaimana dikutip CNBC Indonesia pada Senin (8/10/2018).

 

Venezuela memang bisa dibilang sebagai contoh kutukan sumber daya alam (minyak). Negeri Bolivar itu kini larut dalam pergolakan politik dan ekonomi mereka terkontraksi (mengkeret) sejak 2014. Terakhir pada kuartal III-2018, mengutip data Trading Economics, ekonomi Venezuela anjlok hingga -22,5%.

Pertumbuhan Ekonomi Venezuela

Ingin Kuasai Blok Migas demi Nasionalisme? Tengok Venezuela!Sumber: Refinitiv

Negara kaya minyak ini sempat menghiasi pemberitaan setelah pada 2001 Presiden saat itu yakni Hugo Chavez menasionalisasi BUMN migasnya, Petróleos de Venezuela, S.A. (PDVSA). Tujuannya tidak lain untuk mengusir dominasi asing atas pengelolaan aset negara.

Untuk menghargai keputusan Chavez, President Venezuela Nicolas Maduro baru-baru ini mengubah nama ladang minyak terbesar miliknya, yang juga merupakan terbesar dunia dengan nama Hugo Chavez. Semula, nama ladang di cekungan berbentuk sabuk lonjong ini adalah Orinoco Belt.

Lalu bagaimana ceritanya Venezuela bisa menjadi negara kaya minyak yang miskin meski setelah menasionalisasi aset migasnya yang mengelola blok minyak bercadangan terbukti terbesar dunia? Begini...

NEXT

Menurut BP Statistics, Venezuela memiliki cadangan minyak terbukti 303 miliar barel, terbesar di dunia. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya memiliki cadangan serupa hanya sebanyak 3,2 miliar barel. Padahal, luas wilayah Venezuela kurang 2% dari luas wilayah Nusantara.

Namun produksi migas mereka anjlok. BP Statistics melaporkan bahwa produksi minyak Venezuela mencapai 1,5 juta barel per hari (bph). Angka ini jauh di bawah rekor produksi tahunannya yang dicetak pada 1998 (3,5 juta bph).


Kok bisa? Nasionalisasi dan kealpaan berinvestasi di bidang riset dan teknologi penyebabnya. Pada 1998, Hugo Chavez naik ke tampuk kekuasaan dengan menyabet 63% suara yang masuk. Mayoritas pemilihnya adalah kaum menengah ke bawah, atau kaum Bolivar, yang tergiur dengan program reformasi sosial dan ekonomi yang dijanjikannya.

Setelah terpilih, negara harus menarik sumber pendapatan lebih banyak untuk membiayai program sosialis Chavez. Minyak pun dilirik. Maklum, emas hitam ini menyumbang 95% pendapatan devisa negara tersebut per tahun, dan hampir separuh dari penerimaan Venezuela.

Dus, dia “menasionalisasi” BUMN migas PDVSA dengan menendang mitra asing. Padahal, pada awalnya pemerintah Venezuela melalui BUMN migas tersebut menggandeng mitra luar negeri  mulai dari ExxonMobil, BP, CHevron, Total, hingga ConocoPhillips untuk berinvestasi.

Merekalah yang berjasa untuk membuat cadangan minyak Venezuela yang belum terbukti di sabuk Orinoco (sebelum diubah menjadi Sabuk Chavez) itu menjadi cadngan terbukti (dalam arti bisa disedot secara ekonomis).

Keberadaan investor asing ini diperlukan karena kandungan minyak di cekungan Orinoco Belt adalah minyak ekstra berat (heavy crude oil). Minyak jenis ini lebih mahal diekstraksi karena produksi, transportasi, dan pengolahannya lebih sulit, perlu teknologi tinggi.

Namun ketika harga minyak kian meningkat, pemerintah Venezuela meminta bagian lebih besar. Lewat negosiasi, Total, Chevron, Statoil, dan BP sepakat mengurangi kepemilikan mereka menjadi minoritas di proyek-proyek Venezuela. Namun, Exxonmobil dan ConocoPhillips menolak sehingga aset mereka diserobot.

Pada 2003, ribuan karyawan PDVSA yang mogok menolak kebijakan pemerintah dipecat secara massal dengan dalih ‘melanggar kontrak kerja’. Chavez menggantinya dengan para nasionalis, mantan tentara yang tidak memiliki pengetahuan memadai soal perminyakan.

Secara politis, langkah-langkah populis dan nasionalistis itu melanggengkan kekuasaan Chavez sehingga dia memerintah selama 14 tahun di Venezuela. Namun, kebijakan tersebut secara bersamaan meninggalkan bom waktu karena kenaikan belanja sosial—yang terkadang diwarnai praktik korupsi—tak dibarengi dengan investasi migas.

Jokowi, please, don’t try this at home!

Dalam dunia global, perlu pelibatan investor asing dalam titik tertentu terutama terkait dengan pengembangan teknologi, karena pengembangan migas memerlukan expertise dan biaya mahal. Jangan hanya asal 'kuasai', dengan sentimen nasionalisme sempit.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular