Duo Raksasa Migas AS Digosipkan Mau Cabut, RI Tak Seksi Lagi?

Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
16 October 2019 19:33
Duo Raksasa Migas AS Digosipkan Mau Cabut, RI Tak Seksi Lagi?
Foto: REUTERS/Jim Young
Jakarta, CNBC Indonesia - Santer terdengar kabar bahwa raksasa minyak asal AS (Exxon Mobil dan Chevron) akan hengkang dari Indonesia. Benarkah hal itu akan terjadi? Kalau iya memangnya kenapa mau pergi?

Terendus kabar bahwa raksasa migas AS, Exxon Mobil, bakal mendivestasikan sebagian saham mereka untuk aset yang ada di Asia. Disebut-sebut salah satunya adalah aset yang berada di Indonesia yaitu blok Cepu.

Mengutip informasi dari situs resmi Exxon Mobil Indonesia, pihaknya memegang 45% saham blok Cepu dan terikat dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) hingga 2035 nanti. Exxon Mobil berperan sebagai operator dari KKS Cepu mewakili para kontraktor.

Isu ini hadir berdasarkan laporan Wood Mackenzie, setidaknya ada 5 aset yang berada di kawasan Asia Pasifik yang akan didivestasikan oleh oleh Exxonmobil diantaranya : Bass Straits JV dan Kipper di Australia, Gas PSC & EPMI Malaysia, Sinphuhorm dan Nam Phong Thailand, Cai Voi Xanh Vietnam dan Blok Cepu Indonesia.

Kabar tersebut memang dibantah oleh pihak Exxon Mobil. "ExxonMobil hadir di Indonesia lebih dari 120 tahun. Kami tetap berkomitmen kepada Indonesia dan terus mencari peluang lain, baik di Blok Cepu maupun di seluruh Indonesia, sebagai bagian dari komitmen jangka panjang kami pada Indonesia," ujar Vice President and Government Affair Exxonmobil Indonesia Azi Alam. 

Jika melihat dokumen investor relation milik perusahaan asal Amerika Serikat tersebut memang mereka memiliki agenda untuk mendivestasikan asetnya hingga US$ 15 miliar sampai 2021.

Exxon Mobil memang memiliki strategi korporasi yang disiplin dalam meninjau portofolio investasinya. Aset-aset yang tidak produktif serta memberikan imbal hasil dan margin yang kecil akan ditinjau ulang. Tentu hal ini ditinjau dari aspek keekonomisannya.

Berdasarkan dokumen investor relation, Exxon Mobil juga berencana untuk menembus pasar retail di Indonesia dengan menargetkan hingga 500 stasiun bahan bakar di Indonesia.

Strategi ini ditempuh mengingat Indonesia merupakan pasar yang menarik untuk bahan bakar karena adanya trend middle income class yang terus tumbuh dan tren pembelian kendaraan bermotor yang cenderung naik tiap tahunnya.

Masih dari raksasa migas AS juga kini beralih ke Chevron. Dikabarkan Chevron akan juga akan hengkang dari proyek Indonesia Deepwater Development.

Megaproyek senilai US$ 5 miliar atau Rp 70 triliun (kurs Rp 14.000/dolar AS) tersebut dikabarkan akan berganti operator. Raksasa migas AS, Chevron, yang semula bakal mengembangkan proyek ini, disebut-sebut akan diganti. 



Kabar terakhir menyebutkan bahwa proyek IDD ini akan molor hingga tahun depan. Mengutip dari Dunia Energi, Fatar Yani Abdurrahman, selaku Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan pembicaraan intensif antara Chevron dengan mitra ditargetkan baru akan selesai pada tahun depan.

Masalahnya adalah Plan of Development (PoD) pemerintah sudah rampung. Namun PoD milik Chevron tak kunjung diserahkan. Padahal biaya diklaim telah diturunkan.

Perubahan lokasi serta desain platform signifikan menekan biaya pengembangan proyek IDD menjadi US$6 miliar. "Investasi US$6 miliar, sudah turun. Kami ganti desainnya. Kalau dulu ada dua (desain), sekarang ditaruh di flow water. Jadi sumurnya kami tarik ke shallow water platform," kata Fatar Yani.

Fatar Yani juga belum dapat memastikan apakah akan ada pergantian operator. "Saya tidak tahu mereka (Chevron) cari partner atau lagi cari mekanisme lain. Pokoknya bagaimana caranya itu biar jalan, entah itu pakai cara apa," tukasnya.


BERLANJUT KE HALAMAN 2 >>
Kalau dilihat sebenarnya salah satu masalah yang jadi pertimbangkan adalah nilai ekonomi. Kalau ditinjau dari segi biaya produksi minyak per barel di Indonesia sebenarnya masih bisa dibilang kompetitif.

Untuk memproduksi 1 barel minyak mentah ongkos produksinya di Indonesia mencapai US$ 19,71 masih lebih murah dibandingkan dengan beberapa negara lain seperti Venezuela, Nigeria dan Brazil.

Exxon Mobil & Chevron Mau Hengkang dari RI, Ada Apa?Sumber : Wall Street Journal
Namun ada hal-hal lain yang juga mempengaruhi nilai keekonomisan investasi di sektor minyak dan gas secara tidak langsung di suatu negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah infrastruktur, kebijakan fiskal, ketersediaan tenaga kerja dan keterampilan yang dimiliki, akuisis lahan hingga masalah kebijakan lingkungan.

Pada 2018, Fraser Institut melakukan survei kepada berbagai top level executives di sektor migas untuk menanyakan faktor apa saja yang signifikan membuat mereka tidak mau berinvestasi di sektor migas di suatu negara. Fraser menggunakan 16 indikator utama dalam studi tersebut.

Hasilnya ternyata daya saing sektor migas Indonesia pun kurang jika dibanding tetangga sebut saja Malaysia, Thailand, Vietnam dan Australia. Ada beberapa hal yang membuat investor jadi malas atau bahkan tidak betah berinvestasi di Indonesia seperti permasalahan terkait perpajakan (lisensi, royalti, pajak penjualan, dll), birokrasi dan perizinan yang berbelit-belit dan tidak efisien, trade barrier (repatriasi keuntungan), faktor tenaga kerja, kualitas infrastruktur dan juga kualitas database geologi.

Exxon Mobil & Chevron Mau Hengkang dari RI, Ada Apa?Sumber : Fraser Institute, CNBC Indonesia Analysis
Warna biru tua mengindikasikan faktor yang paling signifikan menghambat investasi
Tentu semua faktor tadi di atas mempengaruhi nilai ekonomi dari suatu investasi. Jadi ya wajar-wajar saja kalau raksasa migas AS kembali mempertimbangkan portofolio investasi mereka di negeri ini.

Bukan cuma Fraser, pendiri Medco Grup Arifin Panigoro mengatakan iklim investasi migas saat ini memiliki tantangan tersendiri. Menurutnya para pejabat yang berwenang di sektor ini kurang bisa memberikan kepastian dan insentif yang menarik.

Ia menyebut bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani pelit soal memberikan insentif fiskal bagi pengusaha minyak dan gas. Sementara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dinilai kurang tegas kebijakannya.

Perlu diingat, RI masih butuh investor asing yang punya kekuatan modal. Mengingat masih ada puluhan cekungan migas dengan potensi cadangan disebut-sebut mencapai 7,5 miliar barel yang belum tersentuh. 



(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular