
Haruskah Jokowi Otoriter Supaya Ekonomi RI Tumbuh Tinggi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2019 10:49

Mengutip riset berjudul Authoritarian Regimes and Economic Development: an Empirical Reflection karya Karim Khan, Saima Batool, dan Anwar Shah yang diterbitkan Pakistan Institute of Development Economics, hasil kajian terhadap 92 negara menunjukkan gaya pemerintahan yang cenderung diktator malah merusak pembangunan ekonomi. Sebab, seorang pemimpin diktator akan cenderung membuat rakyat menjadi 'bodoh' sehingga mengurangi pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, selain laju pertumbuhan ekonomi yang terhambat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human Development Index/HDI di tataran internasional) negara-negara otoritarian juga rendah. Kalau anggaran pendidikan dan kesehatan sedikit, bagaimana IPM mau tinggi?
"Kesimpulan kami adalah transisi dari pemerintahan yang diktator menuju demokrasi akan menaikkan IPM. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi juga akan lebih baik dan berkualitas," sebut riset itu.
George Magnus, Peneliti di Oxford University, berpandangan bahwa rezim otoritarian memang bisa saja mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun itu hanya terjadi pada tahap-tahap awal pembangunan.
"Negara-negara macan Asia memang seakan 'mengunci' proses demokrasi dan transparansi sebelum menjadi negara berpendapatan tinggi dan berorientasi inovasi. Namun seiring perjalanan, pembangunan ekonomi bukan hanya soal arahan dari sang pemimpin tetapi terkait dengan hal-hal bersifat demokratis seperti aturan hukum, kesetaraan, stabilitas harga, hak individual, institusi yang kompeten, jaminan sosial, lingkungan, dan sebagainya," papar Magnus dalam tulisannya di majalah Prospect.
Selain itu, Magnus menegaskan bahwa rezim otoritarian akan melanggengkan praktik tidak sehat yang disebut kroniisme. Kesejahteraan tidak akan terdistribusi kepada rakyat. Tidak ada trickle down effect, karena 'air' kekayaan disumbat dan dinikmati oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, semoga Indonesia tidak terjebak dalam rezim otoritarian (lagi). Jalan demokrasi di Indonesia sudah dirintis selama lebih dari dua dekade, bukan waktu yang sebentar.
Apakah jalan panjang dan pengorbanan kita demi tegaknya demokrasi boleh bubar begitu saja demi pertumbuhan ekonomi yang belum pasti? Sekali lagi, pertaruhannya terlalu besar...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Oleh karena itu, selain laju pertumbuhan ekonomi yang terhambat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM atau Human Development Index/HDI di tataran internasional) negara-negara otoritarian juga rendah. Kalau anggaran pendidikan dan kesehatan sedikit, bagaimana IPM mau tinggi?
"Kesimpulan kami adalah transisi dari pemerintahan yang diktator menuju demokrasi akan menaikkan IPM. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi juga akan lebih baik dan berkualitas," sebut riset itu.
"Negara-negara macan Asia memang seakan 'mengunci' proses demokrasi dan transparansi sebelum menjadi negara berpendapatan tinggi dan berorientasi inovasi. Namun seiring perjalanan, pembangunan ekonomi bukan hanya soal arahan dari sang pemimpin tetapi terkait dengan hal-hal bersifat demokratis seperti aturan hukum, kesetaraan, stabilitas harga, hak individual, institusi yang kompeten, jaminan sosial, lingkungan, dan sebagainya," papar Magnus dalam tulisannya di majalah Prospect.
Selain itu, Magnus menegaskan bahwa rezim otoritarian akan melanggengkan praktik tidak sehat yang disebut kroniisme. Kesejahteraan tidak akan terdistribusi kepada rakyat. Tidak ada trickle down effect, karena 'air' kekayaan disumbat dan dinikmati oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.
Oleh karena itu, semoga Indonesia tidak terjebak dalam rezim otoritarian (lagi). Jalan demokrasi di Indonesia sudah dirintis selama lebih dari dua dekade, bukan waktu yang sebentar.
Apakah jalan panjang dan pengorbanan kita demi tegaknya demokrasi boleh bubar begitu saja demi pertumbuhan ekonomi yang belum pasti? Sekali lagi, pertaruhannya terlalu besar...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular