Ini Lho Bahayanya, Pengangguran Turun Tapi Driver Ojol Ramai

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 October 2019 16:07
Ini Lho Bahayanya, Pengangguran Turun Tapi Driver Ojol Ramai
Foto: cover topik/cover topik traif ojol thumbnail/Aristya Rahadian Krisabella

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode satu pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan segera berakhir dan periode dua dari pemerintahan mantan Walikota Solo tersebut akan segera dimulai.

Kini, berbagai target yang dicanangkan oleh Jokowi di periode satunya bisa mulai dikaji guna mengukur tingkat pencapaiannya. Berbagai target yang dicanangkan oleh Jokowi dalam periode pertamanya bisa didapati di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Salah satu target dari Jokowi yang sukses tercapai adalah terkait dengan tingkat pengangguran. Hingga akhir 2019, Jokowi menargetkan tingkat pengangguran turun ke level 4-5%. Faktanya, target ini tercapai.

Melansir data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran per Februari 2019 tercatat di level 5,01% atau jika dibulatkan menjadi 5%. Turunnya tingkat pengangguran seringkali dibanggakan, baik oleh Jokowi maupun oleh para pembantunya di Kabinet Kerja.

Namun begitu, turunnya tingkat pengangguran di era Jokowi patut dikritisi. Pasalnya, walaupun tingkat pengangguran turun, nyatanya sektor informal masih merajai pasar tenaga kerja Indonesia.

Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%.

Untuk diketahui, yang membedakan lapangan kerja formal dan informal adalah terkait dengan pembayaran pajak ke pemerintah. Tenaga kerja formal merupakan tenaga kerja yang membayarkan pajak kepada pemerintah. Biasanya, tenaga kerja formal merupakan seorang profesional seperti guru, dosen, dokter, wartawan, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sementara itu, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan pajak penghasilan (PPh). Tenaga kerja informal biasanya diasosiasikan dengan tenaga kerja yang banyak mengandalkan kekuatan fisik (blue collar) seperti Pedagang Kaki Lima (PKL), kuli bangunan, dan tukang ojek.

Struktur pasar tenaga kerja Indonesia yang didominasi oleh tenaga kerja informal jelas berbahaya. Pasalnya, penerimaan negara akan menjadi seret lantaran kebanyakan tenaga kerja tidak membayar PPh. Padahal, PPh merupakan tulang punggung pemerintah untuk membiayai pembangunan.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Ojol Merajarela, yang Pendidikannya Tinggi Malah Susah Dapat Kerja

Kalau ditelusuri lebih jauh, ternyata masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi (SMA ke atas) kian susah mendapatkan pekerjaan. Justru, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah (SD ke bawah hingga SMP) yang relatif mudah mencari pekerjaan.

Hal ini diamini oleh Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014.

"Perlu dicermati lebih jauh. Tingkat pengangguran turun tapi kok angka pengangguran dengan jenjang SMA ke atas atau hingga S1 itu naik? Jadi siapa yang bekerja? Nah tingkatan SD sampai SMP," kata Chatib saat berbincang dengan CNBC Indonesia pekan lalu.

Menurutnya, pemerintah tidak banyak menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan klasifikasi dan kualitas lulusan dengan pendidikan tinggi. Sementara itu, klasifikasi pekerjaan yang ada dari tingkat SD hingga SMP biasanya lebih kepada non-educated, sambung Chatib.

"Misalnya pekerjaan informal. Driver Ojol (ojek online). Nah tamatan SD sampai SMP ini biasanya pekerjaan apa saja diambil. Bagaimana tamatan Universitas? Mana mau jadi tukang sapu kan?" terangnya.

Per Februari 2019, masyarakat dengan tingkat pendidikan tertinggi SMK menjadi yang paling sulit mendapatkan pekerjaan, diikuti oleh lulusan Diploma, SMA, dan Universitas. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pengangguran dari kelompok ini yang relatif tinggi, jauh di atas tingkat pengangguran dari masyarakat dengan tingkat pendidikan tertinggi SD ke bawah dan SMP. 


Maraknya penggunaan aplikasi ride hailing seperti Gojek dan Grab guna memfasilitasi mobilisasi masyarakat memang patut dicurigai sebagai faktor yang membuat masyarakat dengan tingkat pendidikan relatif rendah mudah mendapatkan pekerjaan.

Berdasarkan materi presentasi Gojek yang diperoleh oleh CNBC Indonesia, disebutkan bahwa saat ini perusahaan memiliki lebih dari dua juta mitra driver yang tersebar di empat negara, yakni Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Singapura. Namun, mengingat Indonesia memang merupakan pasar terbesar bagi Gojek, bisa dikatakan bahwa mayoritas dari dua juta mitra driver tersebut berada di Indonesia. 

Sekilas, memang tak ada yang salah dengan menjadi driver Ojol. Toh, driver Ojol merupakan sebuah profesi yang halal.

Namun, pemerintah harus betul-betul mewaspadai fenomena ini. Pasalnya, alih-alih masuk ke lapangan kerja yang formal, masyarakat Indonesia malah mengandalkan lapangan kerja informal guna menghidupi dirinya dan keluarganya.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, tenaga kerja informal merupakan tenaga kerja yang tidak membayarkan pajak kepada pemerintah, walaupun sejatinya penghasilannya masuk ke dalam kategori yang dikenakan PPh. Ujung-ujungnya ya itu, amunisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan menjadi terbatas.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2018, dari total penerimaan negara yang senilai Rp 1.944 triliun, sebanyak Rp 731,8 triliun atau setara dengan 37,6% disumbang oleh PPh.

Pada tahun 2018, total penerimaan perpajakan hanya mencapai Rp 1.519 triliun atau 93,86% dari target. Kalau saja tenaga kerja informal tak mendominasi pasar tenaga kerja kita, pastilah realisasi penerimaan perpajakan bisa lebih baik lagi dan amunisi pemerintah untuk mendorong pembangunan akan bertambah banyak.

Belum lagi jika berbicara mengenai model bisnis dari perusahaan-perusahaan ride hailing itu sendiri. Seperti yang sama-sama diketahui, perusahaan-perusahaan ride hailing mengandalkan promo besar-besaran guna menarik minat masyarakat menggunakan layanannya.

Kehadiran pemodal kelas kakap macam SoftBank membuat perusahaan-perusahaan ride hailing seakan tak pernah kehabisan dana untuk menggeber promonya.

Namun pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika pemodal-pemodal kelas kakap sudah tak tertarik lagi menyuntikkan dananya ke bisnis ride hailing?

Ditakutkan, kenaikan tarif menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan permintaan dari masyarakat akan dibuat turun karenanya. Apalagi, di saat yang bersamaan pemerintah diketahui tengah gencar membangun moda transportasi masal seperti LRT dan MRT.

Ketika permintaan dari masyarakat turun, bisa terjadi shock yang besar di kalangan driver Ojol. Bisa terjadi kepanikan untuk mencari lapangan kerja baru lantaran penghasilan dari menjadi driver Ojol turun dengan drastis.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Perhatikan Betul Sektor Riil!



Guna mengantisipasi dampak negatif dari merajarelanya driver Ojol ini, pemerintah harus fokus mengembangkan sektor riil alias sektor tradable. Selain karena banyak menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang rendah, sektor ini termasuk ke sektor formal yang akan memberikan dana segar ke pemerintah guna menggenjot pembangunan (melalui pembayaran PPh dari para pekerjanya).

Perlu diketahui bahwa perekonomian terdiri dari dua sektor, yaitu sektor tradable dan sektor non-tradable. Sektor tradable berisikan industri-industri yang output-nya diperdagangkan secara internasional serta melibatkan proses produksi yang konvensional. Agrikultur, pertambangan, dan manufaktur termasuk ke dalam sektor ini. Pada umumnya, sektor tradable memerlukan banyak tenaga kerja berpendidikan rendah, buruh pabrik misalnya.

Sementara itu, sektor non-tradable pada umumnya terdiri dari sektor-sektor jasa seperti jasa telekomunikasi, transportasi, dan keuangan. Sektor ini memerlukan lebih sedikit tenaga kerja, namun dengan kualifikasi tingkat pendidikan yang lebih tinggi, biasanya dimulai dari jenjang S1 ke atas atau setidaknya diploma.

Terhitung sejak Jokowi mengambil alih posisi RI-1 dari tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 silam, perekonomian Indonesia sudah dikuasai oleh sektor non-tradable. Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, sektor non-tradable menguasai sebesar 54,8% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 45,2%.

Namun, tahun demi tahun terlewati, sektor non-tradable kian menguasai perekonomian tanah air. Pada tahun 2018, sektor non-tradable menguasai sebesar 57% dari perekonomian Indonesia, sementara porsi dari sektor tradable adalah sebesar 43%. Per akhir semester I-2019, porsi dari sektor non-tradable terhadap perekonomian Indonesia kembali naik menjadi 57,2%, sementara porsi dari sektor tradable menciut menjadi 42,8%.

Kenaikan porsi sektor non-tradable tidak lain didorong oleh pesatnya pertumbuhan di sektor tersebut, mengalahkan sektor tradable.

Lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat penciptaan lapangan kerja di sektor ini menjadi lambat. Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, sektor tradable menciptakan sebanyak 2,13 juta lapangan kerja, sementara sektor non-tradable menciptakan jauh lebih banyak lapangan kerja, yakni 6,58 juta. Penciptaan lapangan kerja oleh sektor non-tradable mencapai tiga kali lipat lebih dari penciptaan lapangan kerja sektor tradable.

Padahal, lapangan kerja di sektor tradable adalah yang relatif mudah diakses oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah.

Kalau diamati lebih jauh, kondisi penciptaan lapangan kerja oleh sektor tradable benar-benar mengenaskan. Dalam periode Maret 2016 hingga Februari 2019, total lapangan kerja yang disediakan oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (yang merupakan bagian dari sektor tradable) justru berkurang hingga 180.000. Sementara itu, tambahan lapangan kerja dari sektor pertambangan hanya mencapai 50.000. Untuk sektor manufaktur, tambahan lapangan kerjanya adalah 2,26 juta.

Untuk diketahui, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang paling diandalkan Indonesia untuk urusan penyediaan lapangan kerja. Per Februari 2019, sektor ini berkontribusi sebesar 29,46% dari total penyediaan lapangan kerja di tanah air. Di posisi tiga, ada sektor manufaktur dengan sumbangsih 14,09%.

TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular