
Apakah Aroma Resesi Sudah Tercium di Asia?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
08 October 2019 14:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi menjadi isu besar, terutama di negara-negara maju. Banyak pihak yang memperkirakan Amerika Serikat (AS) dan Eropa bakal menjadi korban resesi, kemungkinan tahun depan.
Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif secara tahunan (year-on-year/YoY) alias kontraksi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Untuk 2019, mungkin resesi belum terjadi karena meski ada perlambatan tetapi belum sampai minus.
Akan tetapi, resesi bukan hanya membayangi negara-negara maju. Bukan tidak mungkin Asia, benua yang selama ini dianggap kuat, bisa jatuh ke jurang resesi.
Pasalnya, data-data ekonomi di berbagai negara Asia terus memburuk. Contohnya di Singapura.
Melansir data Refinitiv, perekonomian Negeri Singa terkontraksi sebesar 3,3% pada kuartal II-2019 (QoQ annualized). Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Singapura akan resmi mengalami resesi, meski tarafnya masih resesi teknikal karena kontraksi terjadi secara kuartalan.
Tak hanya Singapura, Hong Kong juga berada di ujung jurang resesi. Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong terkontraksi sebesar 0,4% QoQ, sangat kontras dengan kuartal I-2019 kala perekonomian Negeri Jackie Chan mampu tumbuh sebesar 1,3%. Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Hong Kong akan resmi jatuh mengalami resesi teknikal.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sementara itu, surplus untuk pos layanan tidak berubah berada di JPY 0,02 triliun. Surplus pos pendapatan primer menyempit menjadi JPY 2,27 triliun dari 2,28 triliun. Artinya pendapatan yang dihasilkan dari penyediaan tenaga kerja dan modal finansial Jepang tertekan. Di sisi lain, defisit akun pendapatan sekunder menyempit menjadi JPY 0,18 triliun dari JPY 2,27 triliun.
Lalu Korea Selatan juga merilis data transaksi berjalan. Hasilnya, transaksi berjalan Agustus masih surplus tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Surplus transaksi berjalan Korea Selatan menyempit menjadi US$ 5,27 miliar pada Agustus 2019 dari US$ 8,55 miliar pada bulan yang sama tahun sebelumnya. Penyempitan surplus terjadi karena surplus barang turun drastis menjadi US$ 4,77 miliar dari US$ 10,92 miliar.
Sementara itu, defisit layanan turun menjadi US$ 1,8 miliar dari US$ 2,04 miliar tahun lalu. Surplus pendapatan primer Korea Selatan juga menyempit menjadi US$ 2,56 miliar dari US$ 3,2 miliar.
Selain itu, kesenjangan pendapatan sekunder menyempit menjadi US$ 0,26 miliar dari US$ 0,65 miliar. Dalam delapan bulan pertama tahun ini, surplus transaksi berjalan Korea Selatan menyempit menjadi US$ 33,99 miliar dari US$ 46 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Di China, angka Purchasing Managers' Index (PMI) komposit Caixin naik menjadi 51,9 pada September, tertinggi dalam lima bulan terakhir. Produksi manufaktur meningkat tertinggi sejak Februari 2018 (September 51,4 vs 50,4 pada Agustus). Sementara pertumbuhan jasa secara tak terduga berada di level terendah dalam tujuh bulan terakhir (51,3 vs 52,1).
Hingga Juli, sektor jasa memberikan kontribusi 60,3% dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau 23,2 poin persentase lebih tinggi dari kontribusi industri sekunder. Itu artinya kalau sektor jasa China melambat ekonomi juga terancam melambat.
Melansir laporan dari Trading Economics, total pesanan baru meningkat pada laju paling curam sejak Februari 2018. Pada saat yang sama, inventaris/stok tidak mengalami kenaikan yang berarti dalam hampir 1-1,5 tahun ini. Hal itu menandakan adanya tekanan pada kapasitas operasi.
Di sisi lain, penjualan luar negeri juga sedikit menyusut. Dari sisi harga, beban biaya meningkat drastis sejak November 2018, sementara upaya untuk tetap kompetitif terus membebani dengan biaya output yang hanya naik tipis.
Data-data tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya performa ekonomi Asia tidak jelek-jelek amat. Masih ada harapan, masih ada ruang untuk tumbuh.
Namun bukan berarti Asia bisa berleha-leha. Pasalnya, jika arus perdagangan dan investasi global terhambat karena perang dagang AS-China, maka Asia akan merasakan dampaknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/aji) Next Article Karena Corona di China, Negara-negara Ini Terancam Resesi
Resesi adalah pertumbuhan ekonomi negatif secara tahunan (year-on-year/YoY) alias kontraksi dalam dua kuartal beruntun pada tahun yang sama. Untuk 2019, mungkin resesi belum terjadi karena meski ada perlambatan tetapi belum sampai minus.
Baca:Jerman Sudah Resesi? |
Akan tetapi, resesi bukan hanya membayangi negara-negara maju. Bukan tidak mungkin Asia, benua yang selama ini dianggap kuat, bisa jatuh ke jurang resesi.
Melansir data Refinitiv, perekonomian Negeri Singa terkontraksi sebesar 3,3% pada kuartal II-2019 (QoQ annualized). Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Singapura akan resmi mengalami resesi, meski tarafnya masih resesi teknikal karena kontraksi terjadi secara kuartalan.
Tak hanya Singapura, Hong Kong juga berada di ujung jurang resesi. Pada kuartal II-2019, perekonomian Hong Kong terkontraksi sebesar 0,4% QoQ, sangat kontras dengan kuartal I-2019 kala perekonomian Negeri Jackie Chan mampu tumbuh sebesar 1,3%. Jika perekonomian di kuartal III-2019 masih terkontraksi, Hong Kong akan resmi jatuh mengalami resesi teknikal.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Hari ini negara di kawasan Asia merilis beberapa data ekonomi penting. Pagi tadi, Jepang merilis data konsumsi rumah tangga dan juga transaksi berjalan periode Agustus 2019. Data transaksi berjalan Korea Selatan periode Agustus juga dirilis pagi tadi.
Pengeluaran rumah tangga Jepang meningkat 1% YoY pada Agustus 2019. Lebih baik dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yaitu 0,8% YoY.
Melansir laporan Trading Economics, kenaikan terjadi karena pengeluaran untuk furnitur dan peralatan rumah tangga naik tajam 9,7% setelah jatuh 7,5% pada bulan sebelumnya. Sementara pakaian dan sepatu juga pulih dari penurunan moderat (4,7% vs -3,4%).
Sementara itu, surplus untuk pos layanan tidak berubah berada di JPY 0,02 triliun. Surplus pos pendapatan primer menyempit menjadi JPY 2,27 triliun dari 2,28 triliun. Artinya pendapatan yang dihasilkan dari penyediaan tenaga kerja dan modal finansial Jepang tertekan. Di sisi lain, defisit akun pendapatan sekunder menyempit menjadi JPY 0,18 triliun dari JPY 2,27 triliun.
Lalu Korea Selatan juga merilis data transaksi berjalan. Hasilnya, transaksi berjalan Agustus masih surplus tetapi masih lebih kecil dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Surplus transaksi berjalan Korea Selatan menyempit menjadi US$ 5,27 miliar pada Agustus 2019 dari US$ 8,55 miliar pada bulan yang sama tahun sebelumnya. Penyempitan surplus terjadi karena surplus barang turun drastis menjadi US$ 4,77 miliar dari US$ 10,92 miliar.
Sementara itu, defisit layanan turun menjadi US$ 1,8 miliar dari US$ 2,04 miliar tahun lalu. Surplus pendapatan primer Korea Selatan juga menyempit menjadi US$ 2,56 miliar dari US$ 3,2 miliar.
Selain itu, kesenjangan pendapatan sekunder menyempit menjadi US$ 0,26 miliar dari US$ 0,65 miliar. Dalam delapan bulan pertama tahun ini, surplus transaksi berjalan Korea Selatan menyempit menjadi US$ 33,99 miliar dari US$ 46 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Di China, angka Purchasing Managers' Index (PMI) komposit Caixin naik menjadi 51,9 pada September, tertinggi dalam lima bulan terakhir. Produksi manufaktur meningkat tertinggi sejak Februari 2018 (September 51,4 vs 50,4 pada Agustus). Sementara pertumbuhan jasa secara tak terduga berada di level terendah dalam tujuh bulan terakhir (51,3 vs 52,1).
Hingga Juli, sektor jasa memberikan kontribusi 60,3% dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau 23,2 poin persentase lebih tinggi dari kontribusi industri sekunder. Itu artinya kalau sektor jasa China melambat ekonomi juga terancam melambat.
Melansir laporan dari Trading Economics, total pesanan baru meningkat pada laju paling curam sejak Februari 2018. Pada saat yang sama, inventaris/stok tidak mengalami kenaikan yang berarti dalam hampir 1-1,5 tahun ini. Hal itu menandakan adanya tekanan pada kapasitas operasi.
Di sisi lain, penjualan luar negeri juga sedikit menyusut. Dari sisi harga, beban biaya meningkat drastis sejak November 2018, sementara upaya untuk tetap kompetitif terus membebani dengan biaya output yang hanya naik tipis.
Data-data tersebut menggambarkan bahwa sebenarnya performa ekonomi Asia tidak jelek-jelek amat. Masih ada harapan, masih ada ruang untuk tumbuh.
Namun bukan berarti Asia bisa berleha-leha. Pasalnya, jika arus perdagangan dan investasi global terhambat karena perang dagang AS-China, maka Asia akan merasakan dampaknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/aji) Next Article Karena Corona di China, Negara-negara Ini Terancam Resesi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular