
Orang Kaya Makin Kaya, atau Sobat Misqueen RI Kian Banyak?
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
07 October 2019 09:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio saat ini membaik menjadi di bawah 0,4. Kendati demikian, kekayaan di Indonesia dinilai hanya dikuasai oleh kroni-kroni tertentu.
Hal itu diungkapkan oleh pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dia mengatakan meski Gini Ratio di bawah 0,4 dan masuk dalam kategori ketimpangan baik. Tapi harus diingat, BPS mengukur ketimpangan berdasarkan konsumsi, bukan pendapatan, dan bukan kekayaan.
Data BPS per Maret 2019 menunjukkan Gini Ratio sempat berada di angka 0,382. Sebagai informasi, rasio gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna.
Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional.
"Meningkat dari 45,4% pada tahun 2017. Posisi Indonesia tahun 2018. Terburuk kelima di dunia setelah Thailand, Rusia, Turki, dan India," kata Faisal seperti dikutip dalam tulisan bertajuk 'Oligarki, Ketimpangan, dan Korupsi' di situs resminya, Senin (7/10/2019).
Sementara lanjut dia, 10,% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional. Terburuk keenam di dunia setelah Thailand, Turki, Amerika Serikat, Rusia, dan India.
Bahkan, dalam 9 tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.
"Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors)," tutur dia.
Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2017 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.
Menurut Faisal, praktik bisnis kroni menguat karena akses pengusaha terhadap kekuasaan semakin mudah. Bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi.
"Batas antara penguasa dan pengusaha kian tipis. Lembaga legislatif semakin dijejali oleh pebisnis. Empat dari lima anggota BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] berasal dari partai politik," jelas dia.
Oleh karena itu, menurut dia jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lemah, pengendalian terhadap mereka pun melemah. Sendi-sendi demokrasi kian rapuh. Oligarki kian kuat. Pasalnya penguasaan sumber daya di tangan segelintir orang atau kelompok. Ketimpangan semakin buruk.
Menurut dia, yang hadir adalah demokrasi prosedural yang diatur kaum oligarki itu. Sementara undang-undang mengabdi kepada kekuasaan, kerap diubah sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.
"Seperti tercermin pada komposisi pimpinan MPR yang dibagi rata ke semua partai yang lolos ambang batas parlemen," lanjut Faisal.
Oligarki yang semakin kokoh dan percaya diri pada gilirannya akan menghadirkan rezim yang lebih represif. Penanganan terhadap demonstrasi, termasuk demonstrasi mahasiswa, akan lebih keras.
Kritik di media sosial dan ruang publik lainnya akan diperkarakan atau dikriminalisasi. Pendek kata, kebebasan akan cenderung ditekan.
"Sekarang, tiada pilihan kecuali Presiden keluarkan Perppu [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang] agar tak terjadi pelemahan terhadap KPK yang merupakan garda terakhir meredam gerak maju mereka, pesta pora mereka. Tanpa Perppu, oligarki kian berjaya, demokrasi ibarat tinggal ampas. Dan kebebasan sipil terancam," tegas Faisal.
Hal itu diungkapkan oleh pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dia mengatakan meski Gini Ratio di bawah 0,4 dan masuk dalam kategori ketimpangan baik. Tapi harus diingat, BPS mengukur ketimpangan berdasarkan konsumsi, bukan pendapatan, dan bukan kekayaan.
Data BPS per Maret 2019 menunjukkan Gini Ratio sempat berada di angka 0,382. Sebagai informasi, rasio gini adalah salah satu alat untuk mengukur derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk. Nilai rasio gini berkisar antara 0 dan 1. Koefisien gini bernilai 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna.
Berdasarkan data dari Global Wealth Report 2018 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse, ketimpangan berdasarkan kekayaan, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6,% kekayaan nasional.
Sementara lanjut dia, 10,% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional. Terburuk keenam di dunia setelah Thailand, Turki, Amerika Serikat, Rusia, dan India.
Bahkan, dalam 9 tahun terakhir pemusatan kekayaan cenderung semakin memburuk.
"Sekitar dua pertiga kekayaan dari orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor kroni (crony sectors)," tutur dia.
Berdasarkan Indeks Crony Capitalism, Indonesia berada dalam urutan ke-7 terburuk di dunia. Peringkat Indonesia terus memburuk, dari urutan ke-18 pada 2017 menjadi ke-8 pada 2014 dan ke-7 pada 2016.
Menurut Faisal, praktik bisnis kroni menguat karena akses pengusaha terhadap kekuasaan semakin mudah. Bahkan pengusaha makin banyak yang merangkap menjadi politisi.
"Batas antara penguasa dan pengusaha kian tipis. Lembaga legislatif semakin dijejali oleh pebisnis. Empat dari lima anggota BPK [Badan Pemeriksa Keuangan] berasal dari partai politik," jelas dia.
Oleh karena itu, menurut dia jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lemah, pengendalian terhadap mereka pun melemah. Sendi-sendi demokrasi kian rapuh. Oligarki kian kuat. Pasalnya penguasaan sumber daya di tangan segelintir orang atau kelompok. Ketimpangan semakin buruk.
Menurut dia, yang hadir adalah demokrasi prosedural yang diatur kaum oligarki itu. Sementara undang-undang mengabdi kepada kekuasaan, kerap diubah sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.
"Seperti tercermin pada komposisi pimpinan MPR yang dibagi rata ke semua partai yang lolos ambang batas parlemen," lanjut Faisal.
Oligarki yang semakin kokoh dan percaya diri pada gilirannya akan menghadirkan rezim yang lebih represif. Penanganan terhadap demonstrasi, termasuk demonstrasi mahasiswa, akan lebih keras.
Kritik di media sosial dan ruang publik lainnya akan diperkarakan atau dikriminalisasi. Pendek kata, kebebasan akan cenderung ditekan.
"Sekarang, tiada pilihan kecuali Presiden keluarkan Perppu [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang] agar tak terjadi pelemahan terhadap KPK yang merupakan garda terakhir meredam gerak maju mereka, pesta pora mereka. Tanpa Perppu, oligarki kian berjaya, demokrasi ibarat tinggal ampas. Dan kebebasan sipil terancam," tegas Faisal.
(tas) Next Article Faisal Basri Sebut 6 Menteri dengan 'Dosa' Terbanyak
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular