
Larangan Dicabut, Pertamina: Penjualan Solar Tak Dibatasi
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
01 October 2019 17:05

Jakarta, CNBC Indonesia- Volume minyak solar subsidi yang makin terbatas membuat pemerintah sempat mengedarkan larangan bagi jenis kendaraan tertentu untuk mengkonsumsi BBM tersebut.
Larangan yang diterbitkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) ini kemudian berujung polemik, karena menumpuknya antrian di SPBU dan protes oleh dari asosiasi truk.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan pihaknya hanya menjalani permintaan dari pemerintah. "Ini kan tadinya dari BPH ada pembatasan, tapi sudah dicabut Jumat malam, jadi kita jual lagi seperti biasa," ujar Nicke saat dijumpai di sela-sela uji coba LinkAja di Stasiun Jakarta Kota, Selasa (1/10/2019).
Jika dalam pelaksanaannya akan timbul kelebihan kuota, Nicke mengatakan akan disampaikan ke pemerintah. Kebijakannya dikembalikan apakah dibawa ke periode berikut atau bagaimana. "Intinya dari Pertamina tak ada Pembatasan."
Pembatasan konsumsi tersebut semula diterapkan karena adanya larangan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pembatasan dilakukan terkait dengan makin minimnya kuota solar subsidi, yang jika tak dikendalikan bisa jebol di tahun ini.
Wakil Ketua Umum II Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) bidang angkutan distribusi dan logistik Kyatmaja Lookman menjelaskan, kondisi di lapangan sejak ada pembatasan membuat antrian menumpuk di SPBU.
"Setelah Pertamina menurunkan poster-poster itu, akhirnya kita boleh ngisi, tapi nanti tergantung sama sidang komite soalnya permasalahannya nilai subsidi tahun ini lebih rendah. Otomatis pengaturan lebih ketat," katanya.
Sesuai dengan APBN 2019, untuk BBM subsidi (JBT) ditetapkan sebanyak 15,11 juta KL dengan rincian untuk solar 14,5 juta KL kerosene atau minyak tanah 0,61 juta KL. Jumlah ini turun dibanding 2018, di mana jatah bensin solar subsidi mencapai 15,62 juta.
Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat konsumsi solar sampai Juli lalu telah mencapai 62% atau 9,0 juta KL. "Diproyeksikan sampai akhir 2019 bisa 15,31 juta KL sampai 15,94 juta KL. Ada potensi over kuota sampai 1,4 juta KL atau 9,6%," kata Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa.
(gus/gus) Next Article Pembatasan Dicabut, BPH Migas: Kuota Solar Jebol 1,5 Juta KL
Larangan yang diterbitkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) ini kemudian berujung polemik, karena menumpuknya antrian di SPBU dan protes oleh dari asosiasi truk.
Jika dalam pelaksanaannya akan timbul kelebihan kuota, Nicke mengatakan akan disampaikan ke pemerintah. Kebijakannya dikembalikan apakah dibawa ke periode berikut atau bagaimana. "Intinya dari Pertamina tak ada Pembatasan."
Pembatasan konsumsi tersebut semula diterapkan karena adanya larangan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pembatasan dilakukan terkait dengan makin minimnya kuota solar subsidi, yang jika tak dikendalikan bisa jebol di tahun ini.
Wakil Ketua Umum II Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) bidang angkutan distribusi dan logistik Kyatmaja Lookman menjelaskan, kondisi di lapangan sejak ada pembatasan membuat antrian menumpuk di SPBU.
"Setelah Pertamina menurunkan poster-poster itu, akhirnya kita boleh ngisi, tapi nanti tergantung sama sidang komite soalnya permasalahannya nilai subsidi tahun ini lebih rendah. Otomatis pengaturan lebih ketat," katanya.
Sesuai dengan APBN 2019, untuk BBM subsidi (JBT) ditetapkan sebanyak 15,11 juta KL dengan rincian untuk solar 14,5 juta KL kerosene atau minyak tanah 0,61 juta KL. Jumlah ini turun dibanding 2018, di mana jatah bensin solar subsidi mencapai 15,62 juta.
Data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat konsumsi solar sampai Juli lalu telah mencapai 62% atau 9,0 juta KL. "Diproyeksikan sampai akhir 2019 bisa 15,31 juta KL sampai 15,94 juta KL. Ada potensi over kuota sampai 1,4 juta KL atau 9,6%," kata Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa.
(gus/gus) Next Article Pembatasan Dicabut, BPH Migas: Kuota Solar Jebol 1,5 Juta KL
Most Popular