Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat bicara mengenai kisruh rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).
Rencana parlemen mengesahkan payung hukum tersebut menuai protes keras dari sebagian kalangan. Pasalnya, ada beberapa pasal perubahan yang dianggap justru mengembalikan Indonesia seperti zaman orde baru.
Saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jokowi mengaku terus mencermati perkembangan pembahasan RUU tersebut secara saksama, baik itu di parlemen maupun masyarakat.
"Dan setelah mencermati masukan-masukan dari berbagai kalangan yan berkeberatan dengan sejumlah substansi RUU KUHP, saya berkesimpulan masih ada beberapa materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," kata Jokowi.
"Saya sudah perintahkan menkumham untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini," lanjutnya.
Dalam catatan Jokowi, setidaknya ada 14 perubahan pasal yang perlu ditinjau ulang. Pengesahan perubahan aturan tersebut diharapkan tidak dilakukan, minimal hingga masa jabatan DPR periode ini berakhir pada Oktober 2019.
"Tadi saya melihat materi-materi yang ada, substansi yang ada, ada kurang lebih 14 pasal, jadi ini yang akan kami koordinasikan baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan materi-materi yang ada,"
Adapun pasal makar menjadi salah satu pasal yang masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Kesimpulan itu disampaikan Aliansi Nasional Reformasi KUHP hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagaimana dilaporkan CNN Indonesia, Rabu (18/9/2019).
Definisi makar dalam draf RKUHP tertanggal 28 Agustus 2019 dianggap belum merujuk pada makna istilahnya. Menurut catatan aliansi, definisi makar berdasar dari asal kata "aanslag" yang berarti serangan.
Sedangkan bunyi pasal 167 dalam draf RKUHP, "Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut."
Definisi itu dinilai bisa menjadi pasal karet. Sehingga keberadaan pasal makar dianggap masih problematik juga membuka celah pemberangusan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Draf RKUHP itu juga mengatur tindak pidana makar dalam tiga pasal antara lain Pasal 191 tentang makar terhadap presiden dan wakil presiden, pasal 192 tentang makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pasal 193-196 tentang makar terhadap pemerintahan yang sah.
Hukumannya tak main-main, orang yang dijerat pasal makar terhadap presiden, wakil presiden atau NKRI misalnya, bakal menghadapi ancaman pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Pasal 191 menyatakan, "Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden atau menjadikan presiden atau wakil presiden tidak mampu menjalankan pemerintahan dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun."
Sedangkan pada Pasal 192 ditulis, "Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun."
Sementara makar terhadap pemerintahan yang sah dihukum sesuai dengan peran yang dijalankan dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun.
"Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun," bunyi pasal 193 ayat (1) dalam draf RKUHP.
"Pemimpin atau pengatur makar sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun," lanjut pasal 193 pada ayat ke-2.
Kajian Komnas HAM menemukan, pasal 193 RKUHP yang mensyaratkan upaya penggulingan dan atau pengambilalihan sebagai unsur pidana itu berpotensi disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan.
"Ini berpotensi terhadap penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delik makar seharusnya hanya terkait dengan tindakan yang bersifat menyerang."
Komnas HAM berpendapat, tanpa perbuatan menyerang, maka sebuah tindakan tidak memenuhi unsur pidana makar. Oleh karena itu, catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP pun merekomendasikan perubahan definisi makar dalam pasal 167.
"Dikatakan makar apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dalam percobaan melakukan tindak pidana," salah satu poin usulan perubahan dalam catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Dalam rekomendasi bagian penjelasan diterangkan, bahwa permulaan makar harus ditandai dengan serangan terhadap keamanan nyawa dan fisik atau, tindakan yang dilakukan dengan menggalang kekuatan bersenjata.
[Gambas:Video CNBC]
Rencana pengesahan RUU KUHP hanyalah satu dari sekian payung hukum yang menuai kecaman dari publik. Salah satunya, adalah Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Bagaimana nasibnya?
"Saya saat ini masih fokus pada RKUHP, yang lain menyusul karena ini yang dikejar DPR ini ada empat kalau saya gak keliru," kata Jokowi.
Salah satu poin strategis yang sudah disepakati DPR RI dan pemerintah dalam revisi UU Pemasyarakatan itu adalah kemudahan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Ranik mengatakan revisi UU Pemasyarakatan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Konsekuensinya, DPR dan pemerintah menyepakati penerapan kembali PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang pemberian pembebasan bersyarat
"Kami berlakukan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang berkorelasi dengan KUHP (Kitab Undang-undang dan Hukum Pidana)," kata Erma.
PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat. Salah satu syaratnya adalah mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk ikut membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.
Tak hanya itu, dalam Pasal 43B ayat (3) PP 9/2012 itu mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam memberikan remisi.
Sedangkan, PP Nomor 32 Tahun 1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan ini tak mencantumkan persyaratan tersebut. PP 32/1999 itu hanya menyatakan remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.
Sebelumnya, DPR telah mengesahkan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam rapat paripurna yang digelar di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah, pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly berkesempatan memberikan pendapat akhir atas perubahan kedua atas UU KPK tersebut.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat, hadirin sidang yang berbahagi. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-nya kita masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk melanjutkan ibadah, karya, dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara yang berbahagia ini kita dapat hadir dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia penyampaian pendapat akhir presiden terhadap Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa rancangan undang-undang tersebut telah diselesaikan pembahasannya dalam pembicaraan tingkat pertama pada tanggal 16 September 2019 dengan keputusan menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya, yaitu pembicaraan tingkat 2 dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk pengambilan keputusan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat, hadirin sidang yang berbahagia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada umumnya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan dengan berdasarkan ketentuan pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1990 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ada badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan penyidikan dan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga pemerintah pusat yang mempunyai tugas dan wewenang dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hadirin yang saya hormati. Untuk itu perlu dilakukan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kegiatan pencegahan bukan berarti kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi diabaikan.
Adanya penguatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya semakin baik dan komprehensif. Pembaruan hukum juga dilakukan dengan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penguatan tindakan pencegahan sehingga timbul kesadaran kepada penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.
Kemudian penataan kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/-15/2017 bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah. Agar kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari pelaksanaan kekuasaan pemerintahan.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormatm hadirin yang saya muliakan. Materi yang diatur dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain. Pertama, kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Penegasan status lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi dalam undang-undang ini memberikan kepastian hukum dan sejalan dengan visi misi dibentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada dewan pengawas paling lambat 1 minggu terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.
Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi akan dilaksanakan setelah mendapatkan izin dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dewan pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan diajukan. Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari dewan pengawas penyadapan dilakukan paling lama 6 bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama dan hanya untuk kepentingan peradilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi pengaturan mengenai fungsi penyadapan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk lebih menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia sehingga penyerapan betul-betul dilaksanakan.
Dalam penegakan hukum yang akuntabel, perubahan ketentuan dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai pemberian status kepegawaian yang jelas bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan peraturan perundangan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan Warga Negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps profesi pegawai Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Undang-undang ini juga memberikan masa transisi dalam proses pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi pengaturan tersebut dengan memberikan jangka waktu yang cukup dalam menyelesaikan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum menjadi pegawai aparatur sipil negara.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Berdasarkan hal tersebut di atas dan setelah mempertimbangkan secara sungguh-sungguh persetujuan fraksi-fraksi, izinkanlah kami mewakili presiden dalam rapat paripurna yang terhormat ini ucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Presiden menyatakan setuju Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk disahkan menjadi undang-undang.
Perkenankan kami mewakili presiden menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan dan anggota badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan terhormat dan para bapak ibu anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat atas dedikasi dan kerja keras sehingga dapat menyelesaikan pembahasan rencana undang-undang ini.