
Masalah Batam: Pabrik Relokasi ke Myanmar, 700 Proyek Mandek
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
20 September 2019 08:28

Kepala BP Batam Edy Putra Irawady menuturkan Batam memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dibanding wilayah lain di Indonesia. Namun ada persoalan soal lahan, banyak lahan di Batam hingga 7 ribu hektar menganggur dari 700 proyek yang mangkrak.
Menurut Edy, Batam menjadi perlintasan perniagaan Atlantik dan Pasifik, lalu berjarak 20 km, sudah masuk dalam akses perdagangan internasional bersama Malaysia dan Singapura.
"Kedua, Batam mempunyai SDM middle skill labour, kemampuan kapasitas, makanya banyak industri 4.0, kemampuan komunikasinya, Batam mempunyai infrastruktur baik, agregat listrik, agregat air kita surplus," kata Edy dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 18/9/2019).
Namun, persoalan perizinan, tata niaga, hingga ada kewenangan yang disebutnya invisible (tidak terlihat) namun mengganggu dan silang sengkarut masih menghiasi masalah di Batam.
"Saya mempunyai entry barrier, salah satunya DNI masih diberlakukan di wilayah saya," kata Edy.
Ia juga memaparkan, beberapa wilayah di Batam menjadi berkurang yang membuat dirinya tidak dapat memberikan penyediaan lahan kepada para investor.
"Contohnya ada pulau, sekarang dikeluarkan dari BP Batam, dikembalikan, pengurangan jumlah pulau [...] sehingga investor tidak dapat fasilitas."
Persoalan lainnya adalah soal lahan-lahan konsesi yang sudah diberikan ke perusahaan oleh BP Batam terdahulu, tak digunakan alias menganggur. Investor terdahulu fokus menguasai lahan tapi minim realisasi, sedangkan saat pemerintah untuk menarik lagi konsesinya tak mudah karena harus proses hukum.
"Yang kedua retardasi, kebanyakan investor itu ngijon 10%, saya nggak bisa ambil harus lewat pengadilan, kemudian 7.790 hektare saya punya di Batam mangkrak, dikasih ke investor tapi dia nggak bangun-bangun," kata Edy.
Edy bilang ada sekitar 700 proyek mangkrak dari 7.790 hektare lahan yang menganggur. Masalah lain di Batam adalah permasalahan kewenangan hingga permasalahan tata niaga. Sebagai wilayah FTZ, untuk memasukkan komponen bahan baku impor, Batam terlebih dahulu perlu melewati perizinan di Kementerian terkait.
"Saya ada pembatasan kuota, paling sering bahan baku B2 (Bahan Berbahaya), atau bahan baku untuk garam industri, saya harus dapat perizinan kementerian pusat, padahal sebagai wilayah FTZ bukan pabeanan, [...] tapi ini saya bilang terlalu banyak 'invisible authority', kewenangan yang tidak terlihat tapi mengganggu kegiatan produksi maupun distribusi." (hoi/hoi)
Menurut Edy, Batam menjadi perlintasan perniagaan Atlantik dan Pasifik, lalu berjarak 20 km, sudah masuk dalam akses perdagangan internasional bersama Malaysia dan Singapura.
"Kedua, Batam mempunyai SDM middle skill labour, kemampuan kapasitas, makanya banyak industri 4.0, kemampuan komunikasinya, Batam mempunyai infrastruktur baik, agregat listrik, agregat air kita surplus," kata Edy dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 18/9/2019).
"Saya mempunyai entry barrier, salah satunya DNI masih diberlakukan di wilayah saya," kata Edy.
Ia juga memaparkan, beberapa wilayah di Batam menjadi berkurang yang membuat dirinya tidak dapat memberikan penyediaan lahan kepada para investor.
"Contohnya ada pulau, sekarang dikeluarkan dari BP Batam, dikembalikan, pengurangan jumlah pulau [...] sehingga investor tidak dapat fasilitas."
Persoalan lainnya adalah soal lahan-lahan konsesi yang sudah diberikan ke perusahaan oleh BP Batam terdahulu, tak digunakan alias menganggur. Investor terdahulu fokus menguasai lahan tapi minim realisasi, sedangkan saat pemerintah untuk menarik lagi konsesinya tak mudah karena harus proses hukum.
"Yang kedua retardasi, kebanyakan investor itu ngijon 10%, saya nggak bisa ambil harus lewat pengadilan, kemudian 7.790 hektare saya punya di Batam mangkrak, dikasih ke investor tapi dia nggak bangun-bangun," kata Edy.
Edy bilang ada sekitar 700 proyek mangkrak dari 7.790 hektare lahan yang menganggur. Masalah lain di Batam adalah permasalahan kewenangan hingga permasalahan tata niaga. Sebagai wilayah FTZ, untuk memasukkan komponen bahan baku impor, Batam terlebih dahulu perlu melewati perizinan di Kementerian terkait.
"Saya ada pembatasan kuota, paling sering bahan baku B2 (Bahan Berbahaya), atau bahan baku untuk garam industri, saya harus dapat perizinan kementerian pusat, padahal sebagai wilayah FTZ bukan pabeanan, [...] tapi ini saya bilang terlalu banyak 'invisible authority', kewenangan yang tidak terlihat tapi mengganggu kegiatan produksi maupun distribusi." (hoi/hoi)
Pages
Most Popular