Achtung! Benarkah Jerman Rawan Resesi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 September 2019 10:27
<i>Achtung</i>! Benarkah Jerman Rawan Resesi?
Kanselir Jerman Angela Merkel (REUTERS/Fabrizio Bensch)
Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi menghangat akhir-akhir ini. Tidak hanya negara berkembang, negara maju juga ikut berisiko terserang bencana ekonomi tersebut.

Turki adalah negara anggota G20 pertama yang mengalami resesi. Pada kuartal II-2019, ekonomi Negeri Kebab terkontraksi alias minus 1,5% year-on-year (YoY). Kuartal sebelumnya, ekonomi Turki terkontraksi 2,4% YoY.

Resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY dalam tahun yang sama. Turki sudah memenuhi definisi tersebut.

Baca: Sah, Turki Sudah Resesi!

Kini, ancaman resesi melanda negara yang lebih besar yaitu Jerman. Bukan main-main, Jerman adalah kekuatan ekonomi nomor satu di Eropa dan nomor empat dunia.

 


Mengutip riset Macroeconomic Policy Institute (IMK), peluang Jerman mengalami resesi adalah 59,4%. Ini adalah angka tertinggi sejak 2013.

Apakah ekonomi Negeri Panser memang seburuk itu? Apakah data-data ekonomi di sana memang begitu gloomy sehingga probabilitas resesi meningkat?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mari kita lihat beberapa data ekonomi utama di Jerman. Pertama tentunya pertumbuhan ekonomi, yang menjadi indikator utama resesi.

Pada kuartal II-2019, ekonomi Jerman masih tumbuh 0,4% YoY. Namun melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,7% YoY.



Ekonomi Jerman terus melambat sejak akhir 2017. Apabila tren ini terus terjadi, maka resesi bukan sesuatu yang mustahil.

Pasalnya prospek ekonomi Jerman juga kurang menggembirakan. Permintaan domestik masih lesu, terlihat dari indikator kedua yaitu inflasi.

Jerman adalah negara maju yang sebenarnya mendambakan inflasi. Sebab inflasi di negara maju menandakan permintaan meningkat sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada Agustus, inflasi Jerman tercatat 1,4% YoY. Ini adalah laju paling lemah sejak Mei. Sepanjang 2019, baru sekali inflasi Jerman menyentuh angka 2%.



Dari data inflasi, terlihat bahwa konsumsi di Jerman masih lemah. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 50% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Jadi kalau konsumsi loyo, maka prospek pertumbuhan ekonomi Jerman bakal sulit diharapkan. Risiko kontraksi ekonomi yang berujung ke resesi menjadi semakin besar.




(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Data ketiga semakin menegaskan bahwa permintaan di Jerman masih lemah. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) di Jerman pada Agustus berada di 92, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 95.

IKK menggunakan angka 100 sebagai ambang batas. Kalau di atas 100 berarti konsumen optimistis memandang perekonomian dan siap meningkatkan konsumsi. Namun jika di bawah 100, artinya konsumen pesimistis sehingga mengurangi belanja.



IKK di Jerman sudah berada di bawah 100 sejak Mei dan semakin memburuk sampai Agustus. Ini menandakan rumah tangga semakin pesimistis, semakin ragu menghadapi tantangan ekonomi ke depan.

Namun di sisi lain, Jerman masih punya harapan untuk menghindari resesi. Indikator keempat, yaitu Purchasing Managers' Index (PMI) menunjukkan dunia usaha Jerman masih melakukan ekspansi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Angka di atas 50 berarti dunia usaha masih optimistis dan ekspansif, sementara kalau di bawah 50 ya sebaliknya.

Pada Agustus, PMI jerman tercatat 51,7, membaik dibandingkan Juli yaitu 50,9. Angka Juli adalah yang terlemah setidaknya sejak 2016, tetapi itu pun masih di atas 50.



Artinya, dunia usaha di Jerman masih lumayan pede menghadapi masa depan. Ekspansi masih terus terjadi sehingga diharapkan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif.

Kesimpulannya, perlambatan ekonomi Jerman memang terjadi bahkan sejak tahun lalu. Konsumen di sana juga tidak percaya diri menghadapi tantangan ekonomi yang begitu berat.

Akan tetapi, pengusaha di Jerman sepertinya masih menyimpan optimisme. Semoga energi mereka cukup besar untuk menopang ekonomi Jerman agak tidak jatuh ke jurang resesi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular