RI Bisa Balas Kekalahan 0-3 Lawan Thailand! Lewat Ekonomi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 September 2019 13:26
RI Bisa Balas Kekalahan 0-3 Lawan Thailand! Lewat Ekonomi
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn (REUTERS/Soe Zeya Tun)
Jakarta, CNBC Indonesia - Malam tadi, lagi-lagi cerita tidak enak datang dari persepakbolaan nasional. Setelah pekan lalu kalah dari Malaysia, tim nasional sepakbola Indonesia kembali harus mengakui keunggulan Thailand di Stadion Gelora Bung Karno. Bahkan dengan skor lebih telak, 0-3.

Dua kekalahan beruntun (di kandang sendiri pula) membuat Indonesia terdampar di dasar klasemen Grup G Pra-kualifikasi Piala Dunia 2022. Huft...

Tim Garuda memang masih punya enam pertandingan tersisa. Namun lawan-lawan yang dihadapi tidak ringan. Selain Malaysia dan Thailand, calon lawan Andritany Ardhiyasa dan kolega adalah Vietnam dan Uni Emirat Arab (UEA).



Kembali ke pertandingan versus Thailand, well, mau dimulai dari mana ini? Indonesia kalah segalanya. Teknik, taktik, fisik, kecepatan, Thailand lebih unggul.

Dari sisi penguasaan bola, Thailand unggul tipis 51% berbanding 49%. Sementara soal peluang, Indonesia dan Thailand memang sama-sama punya lima. Namun dari lima peluang itu, Thailand mengantongi tiga tembakan ke arah gawang yang seluruhnya menjadi gol. Sedangkan Indonesia tidak punya shot on goal, tidak ada tembakan yang mengancam gawang Siwarak Tedsungnoen.

Kemenangan atas Indonesia malam tadi bagai tugas rutin saja buat Thailand. Sebab dalam 10 pertemuan terakhir, Tim Gajah Putih berhasil menang delapan kali.

Kedigdayaan Thailand atas Indonesia di sepakbola bukan saja terlihat tadi malam, tetapi sudah terpampang nyata di peringkat Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Per Juli, Thailand berada di peringkat 115.

Indonesia? 160. Jauh amat ya...

Di sepakbola Indonesia boleh kalah, bahkan tertinggal jauh. Namun bagaimana di bidang ekonomi? Apakah Indonesia bisa membalas kekalahan di bal-balan?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Untuk mengukur kondisi ekonomi suatu negara, ada dua kelompok besar indikator yang sering digunakan yaitu lagging indicators dan leading indicators. Lagging indicators mencerminkan angka ekonomi yang sudah terjadi, sudah terwujud. Sedangkan leading indicators adalah parameter untuk mengeker arah perekonomian ke depan, sehingga sering digunakan sebagai alat proyeksi.

Di sisi lagging indicators, setidaknya ada tiga yang sering dipakai yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan neraca perdagangan barang dan jasa. Oke, mari kita mulai.

Pertama adalah pertumbuhan ekonomi. Di sini Indonesia boleh mengklaim sebagai negara yang lebih baik.

Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Tanah Air adalah 5,03% year-on-year (YoY). Thailand cuma sekitar 3%. Indonesia 1, Thailand 0.



Baca: Ekonomi Vietnam Terbaik di ASEAN 6, RI Nomor Berapa?

Kedua adalah inflasi. Kita sepakati dulu bahwa Indonesia dan Thailand adalah negara berkembang, emerging markets, yang tidak mendambakan inflasi seperti negara-negara maju.

Takdir negara berkembang adalah inflasi tinggi, karena ekonomi masih tumbuh sementara kapasitas domestik terbatas sehingga menyebabkan tekanan harga (demand pulled inflation). Jadi pemenang di kategori ini adalah yang paling bisa menekan inflasi serendah-rendahnya.



Dalam lima tahun terakhir, rata-rata inflasi Indonesia adalah 4,18% YoY. Thailand jauh lebih rendah yaitu 0,43%.

Thailand menyamakan kedudukan. Indonesia 1, Thailand 1.

Lagging indicator ketiga adalah neraca perdagangan barang dan jasa. Untuk urusan ini, akal sehat tanpa data saja mungkin sudah bisa menebak bahwa Thailand adalah juaranya.


Selama lima tahun terakhir, neraca perdagangan barang dan jasa alias transaksi berjalan (current account) Indonesia rata-rata defisit 2,35% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Thailand unggul jauh bak bumi dengan langit, karena membukukan surplus rata-rata 7,36% PDB.  RI

Thailand berbalik unggul. Indonesia 1, Thailand 2.




(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sekarang mari masuk ke sisi leading indicators. Ada banyak komponen di dalamnya, tetapi kita fokus ke dua parameter yang paling sering digunakan yaitu Purchasing Managers' Index (PMI) dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Dua data ini memang cukup akurat untuk menggambarkan mood dunia usaha dan konsumen. 'Suasana kebatinan' mereka akan sangat menentukan arah perekonomian ke depan.

Pertama PMI dulu. PMI menggunakan 50 sebagai batas, kalau di atas 50 artinya dunia usaha sedang optimistis dan siap melakukan ekspansi. Jika di bawah 50 ya berarti kebalikannya.

Untuk Indonesia, rata-rata PMI dalam tiga tahun terakhir adalah 50,35 per bulan. Unggul tipis dibanding Thailand yaitu 50,02. Pengusaha di kedua negara sama-sama optimistis menatap prospek ekonomi, tetapi di Indonesia sepertinya sedikit lebih pede.




Sip, Indonesia berhasil mencetak 'gol' dan menyamakan angka. Indonesia 2, Thailand 2.

Kebetulan skor sama kuat, jadi indikator terakhir akan jadi penentuan. IKK adalah pertaruhan, siapa yang lebih baik di bidang ekonomi.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Angka di atas 100 berarti konsumen sedang optimistis, sedangkan di bawah 100 berarti sedang menahan diri.

Selama lima tahun terakhir, rata-rata IKK Indonesia adalah 118,41. Indonesia boleh menepuk dada karena unggul jauh atas Thailand yang hanya 76,94. Ternyata konsumen Indonesia lebih yakin dalam menatap masa depan, sementara rakyat Thailand malah murung.



Peluit panjang sudah berbunyi, pertandingan selesai. Skor akhir adalah Indonesia 3, Thailand 2. Kemenangan yang dramatis, dua 'tim' saling kejar hingga kemenangan ditentukan di indikator terakhir.

Jadi jangan sedih meratapi kekalahan pasukan gaffer Simon McMenemy tadi malam. Sebab di bidang lain, Indonesia masih bisa menang lawan Thailand.


TIM RISET CNBC INDONESIA





(aji/wed) Next Article LPEI Fasilitasi Ekspor Garbarata ke Thailand Senilai Rp 105 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular