
Pabrik Tekstil Kena Turbulensi: Penjualan Seret, Gudang Penuh
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
09 September 2019 14:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri hulu Tekstil dan Produk Tesktil (TPT) tengah menghadapi rserbuan bahan baku impor. Serapan bahan baku dari domestik terganggu, sehingga penjualan pun lesu hingga berdampak pada arus kas banyak industri.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengakuinya dampak penjualan merembet pada keuangan perusahaan. Industri hilir seperti garmen banyak mendapatkan pasokan kain dari impor, sedangkan produsen kain lokal termasuk benang kena dampaknya.
"Tentu ada penjualan mulai seret, gudang penuh, cashflow pasti kena di beberapa industri," kata Ade saat diskusi Penyelamatan Industri TPT Nasional di kantor Kadin, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Selain serapan minim, keadaan tersebut berhubungan juga dengan strategi manajemen perusahaan. Pengusaha sebisa mungkin mengimbangi pemasaran antara ekspor dan domestik seimbang.
"Kalau perusahaan baik dan sehat, mindset-nya adalah, sebagian (produk) ekspor dan sebagian lagi domestik sehingga selalu terjadi balance. Karena setiap pasar ekspor dan domestik selaku terjadi up and down, turbulensi, jadi ketika ada turbulensi di domestik, kita bergeser ke ekspor, ada turbulensi di ekspor, kita bergeser ke domestik," kata Ade.
Ade memandang optimistis industri TPT akan makin membaik setelah sebelumnya Bank Indonesia, OJK, Pemerintah pusat dan daerah melakukan rapat koordinasi, Rabu (4/9/2019).
Hasil rapat menyepakati strategi pengembangan industri manufaktur yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkelanjutan yang didukung keterlibatan aktif pelaku industri.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil membenarkan soal kondisi industri TPT yang makin tertekan.
"Kondisi tekstil kita sedang masa sulit, impor banyak, produksi turun, tak bisa jual barang, keuangan sulit, dampaknya karyawan dirumahkan, bahkan ada yang PHK. Kalau tak ada penanganan, semua hanya menunggu waktu, " katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (29/8/2019).
Rizal mengungkapkan dari 200 perusahaan TPT di Jawa Barat, mayoritas kondisinya mengalami persoalan dengan arus kas keuangan. Namun, Rizal memang tak merinci soal siapa saja perusahaan yang sedang bermasalah dengan arus kas.
"Anggota API Jawa Barat sebagian besar 80% dari 200 perusahaan kondisinya sedang Senin Kamis (susah) kecuali garmen, ekspor bagus, tapi kalau yang di sektor hulu-menengah dan itu sudah Senin Kamis," katanya.
Ia mengatakan dari 200 anggota API di Jabar, sebanyak 20% garmen atau sektor hilir, sisanya adalah di sektor hulu dan produk antara, antara lain tenun, celup, rajut, benang, dan kain yang justru sektor yang paling kena imbas turbulensi bisnis.
"Kondisi sekarang sudah sulit nih, industri makin hari makin menurun, cashflow terganggu, pasti mengganggu soal pembayaran soal upah," katanya.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, saat ini industri hulu yang memproduksi serat dan benang tengah digempur impor kain akibat kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu, khususnya di sektor pembuatan kain kalah bersaing dengan kain impor karena tak banyak diserap oleh industri garmen di hilir. Redma menyebut saat ini utilisasi produksi di sektor pertenunan, perajutan dan pencelupan kain hanya berada di kisaran 40%.
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil RI: Kalah dari Vietnam hingga Gelombang PHK
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengakuinya dampak penjualan merembet pada keuangan perusahaan. Industri hilir seperti garmen banyak mendapatkan pasokan kain dari impor, sedangkan produsen kain lokal termasuk benang kena dampaknya.
"Tentu ada penjualan mulai seret, gudang penuh, cashflow pasti kena di beberapa industri," kata Ade saat diskusi Penyelamatan Industri TPT Nasional di kantor Kadin, Jakarta, Senin (9/9/2019).
Selain serapan minim, keadaan tersebut berhubungan juga dengan strategi manajemen perusahaan. Pengusaha sebisa mungkin mengimbangi pemasaran antara ekspor dan domestik seimbang.
"Kalau perusahaan baik dan sehat, mindset-nya adalah, sebagian (produk) ekspor dan sebagian lagi domestik sehingga selalu terjadi balance. Karena setiap pasar ekspor dan domestik selaku terjadi up and down, turbulensi, jadi ketika ada turbulensi di domestik, kita bergeser ke ekspor, ada turbulensi di ekspor, kita bergeser ke domestik," kata Ade.
Ade memandang optimistis industri TPT akan makin membaik setelah sebelumnya Bank Indonesia, OJK, Pemerintah pusat dan daerah melakukan rapat koordinasi, Rabu (4/9/2019).
Hasil rapat menyepakati strategi pengembangan industri manufaktur yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkelanjutan yang didukung keterlibatan aktif pelaku industri.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Rizal Tanzil membenarkan soal kondisi industri TPT yang makin tertekan.
"Kondisi tekstil kita sedang masa sulit, impor banyak, produksi turun, tak bisa jual barang, keuangan sulit, dampaknya karyawan dirumahkan, bahkan ada yang PHK. Kalau tak ada penanganan, semua hanya menunggu waktu, " katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (29/8/2019).
Rizal mengungkapkan dari 200 perusahaan TPT di Jawa Barat, mayoritas kondisinya mengalami persoalan dengan arus kas keuangan. Namun, Rizal memang tak merinci soal siapa saja perusahaan yang sedang bermasalah dengan arus kas.
"Anggota API Jawa Barat sebagian besar 80% dari 200 perusahaan kondisinya sedang Senin Kamis (susah) kecuali garmen, ekspor bagus, tapi kalau yang di sektor hulu-menengah dan itu sudah Senin Kamis," katanya.
Ia mengatakan dari 200 anggota API di Jabar, sebanyak 20% garmen atau sektor hilir, sisanya adalah di sektor hulu dan produk antara, antara lain tenun, celup, rajut, benang, dan kain yang justru sektor yang paling kena imbas turbulensi bisnis.
"Kondisi sekarang sudah sulit nih, industri makin hari makin menurun, cashflow terganggu, pasti mengganggu soal pembayaran soal upah," katanya.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, saat ini industri hulu yang memproduksi serat dan benang tengah digempur impor kain akibat kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil.
Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu, khususnya di sektor pembuatan kain kalah bersaing dengan kain impor karena tak banyak diserap oleh industri garmen di hilir. Redma menyebut saat ini utilisasi produksi di sektor pertenunan, perajutan dan pencelupan kain hanya berada di kisaran 40%.
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil RI: Kalah dari Vietnam hingga Gelombang PHK
Most Popular