
Bumi Makin Tua, Komplikasi Penyakit Ekonomi Berujung Resesi

Amerika Serikat (AS) merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia, negara paling kaya, tetapi tidak lepas dari penyakit ekonomi. Defisit neraca perdagangan yang jumbo menjadi penyakit ekonomi AS yang ingin diobati.
Kembali lagi ke masalah scarcity, semakin tua bumi ini, tentunya sumber daya yang dimiliki berkurang jumlahnya, lahan produktif bisa menjadi lahan kritis. Kebutuhan satu negara tidak bisa dipenuhi sendiri, negara lain bisa memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga arus perdagangan antar negara terus berjalan.
Sebagai raksasa ekonomi dunia, AS tentunya membutuhkan banyak sumber daya untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Tidak semua sumber daya yang dibutuhkan mampu dihasilkan sendiri oleh Paman Sam, sehingga impor menjadi jalan guna memenuhi kebutuhan tersebut. Masalahnya, impor AS selalu lebih besar dari ekspor, sehingga selalu menimbulkan defisit.
Hal inilah yang coba disembuhkan oleh Presiden AS Donald Trump dengan mengenakan tarif impor terhadap produk-produk dari mitra dagang utamanya. Kebijakan Trump untuk mengobati penyakit defisit tersebut pada akhirnya berujung perang dagang dengan China, mitra dagang utamanya.
Data dari Trading Economics menunjukkan pada bulan Juni, defisit neraca dagang AS sebesar US$ 55,2 miliar, turun dari bulan sebelumnya US$ 55,3 miliar. Defisit dengan China tercatat sebesar US$ 30 miliar. Hal ini yang membuat Trump gencar menaikkan tarif impor produk Made in China.
China juga membalas perlakukan AS dengan menaikkan tarif impor produk Made in USA, pada akhirnya perang dagang yang terus membara sejak tahun lalu, memberikan dampak pada pelambatan ekonomi di berbagai belahan bumi ini.
Untuk diketahui, pada 2018 International Monetary Fund (IMF) mencatat ekonomi AS tumbuh 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015. Namun pada 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.
Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.
Sebagai dua raksasa ekonomi di muka bumi ini, distribusi sumber daya, barang, dan jasa dari berbagai negara tentunya banyak keluar masuk di AS dan China, dan akibat perang dagang semua menjadi tersendat, roda perekonomian dunia melambat, ancaman resesi meningkat.
Tidak hanya itu, upaya AS mengobati penyakit defisitnya juga bisa memicu currency war atau perang mata uang. Hal tersebut terlihat setelah bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) mendevaluasi nilai tukar yuan melawan dolar AS hingga ke level terlemah lebih dari satu dekade.
Pelemahan yuan tentunya memberikan keunggulan kompetitif, produk dari China menjadi lebih murah, sehingga permintaan masih tetap terjaga meski tarif impor dari AS tinggi. Pemerintah Washington bahkan melabeli China sebagai manipulator mata uang akibat kebijakan tersebut.
Currency war bisa jadi meluas jika mata uang euro dan yen nantinya juga melemah seandaianya bank sentral negara masing-masing menggelontorkan stimulus moneter untuk mendongkrak perekonomian.
Pelemahan euro sudah berulang kali menjadi sorotan Presiden Trump, bahkan di awal pekan mata uang 19 negara ini berada di level terlemah sejak Mei 2017. Penurunan tersebut dikatakan "gila" oleh Presiden Trump.
Perang dagang dan currency war dikatakan melebarkan jalan menuju resesi bahkan bisa terjadi Depresi Besar (Great Depression) seperti di AS tahun 1930an.
Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression di tahun 1930an.
"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle sebagaimana dikutip Washington Post.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
(pap/dru)