Terungkap, Cadangan Nikel RI Sisa 7-8 Tahun Lagi!
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
02 September 2019 14:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, cadangan terbukti untuk komoditas nikel nasional sebesar 698 juta ton, dan hanya dapat menjamin pasokan bijih nikel bagi fasilitas pemurnian selama 7-8 tahun.
Dirjen MIneral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menuturkan, dengan umur cadangan tersebut, belum dapat memenuhi umur keekonomian fasilitas pemurnian atau smelter.
"Sehingga pemerintah perlu mengambil langkah berupa kebijakan baru, yakni penghentian rekomendasi ekspor bijih nikel kadar rendah, yang berlaku mulai awal tahun depan," ujar Bambang, di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, memang terdapat cadangan terkira komoditas nikel nasional sebesar 2,87 miliar ton. Namun, masih memerlukan peningkatan faktor pengubah seperti kemudahan akses perizinan, dan keekonomian (harga) untuk membuat cadangan terkira menjadi cadangan terbukti, sehingga nantinya dapat memenuhi kebutuhan smelter selama 42 tahun.
"Maka, atas dasar tersebut, segala sesuatu yang berhubungan dengan ekspor raw material nikel, akan berakhir pada 31 Desember 2019. Untuk yang sudah dapat izin bangun smelter, kalau tidak berhubungan dengan insentif raw material ya silakan jalan saja," tutur Bambang.
"Kami beri kesempatan, untuk yang sudah dapat izin, tetap berlakukan (izinnya) sampai 1 Januari 2020, itu batasnya," tambahnya.
Adapun, sampai saat ini, Kementerian ESDM mencatat, mulai 2017-Juli 2019 sudah dikeluarkan rekomendasi ekspor bijih nikel sebesar 76,26 juta ton, namun realisasinya baru 38,29 juta ton.
Sebelumnya, Bambang juga mengatakan alasan pemerintah melakukan percepatan larangan tersebut berdasar beberapa pertimbangan.
Pertama adalah nikel dengan kadar rendah sudah bisa diolah di dalam negeri, karena perkembangan teknologi yang sudah maju. Apalagi menurutnya nikel dapat digunakan untuk bahan baku komponen mobil listrik.
Pertimbangan lainnya adalah pembangunan smelter nikel yang pesat beberapa tahun belakangan ini membutuhkan pasokan nikel cukup tinggi dari dalam negeri. "Jadi kita ingin lakukan proses pengolahan nikel kadar rendah, antara lain cobalt dan lithium," ujarnya di Gedung ESDM, Senin (2/9/2019).
Soal smelter, Bambang mengatakan ada 25 smelter yang sedang dalam proses pembangunan sehingga bila ini terbangun RI punya 36 smelter nikel. "Karena smelter nikel sudah banyak, maka pemerintah ingin mempercepat dan bergerak mengambil inisiatif menghentikan ekspor nikel untuk segala kadar kualitas."
Saat ini, Peraturan Menteri ESDM yang akan mengatur larangan ini tengah diproses di Kemenkum HAM.
(gus/gus) Next Article Pilih Ekspor, Penambang Nikel 'Gerah' dengan Smelter China?
Dirjen MIneral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menuturkan, dengan umur cadangan tersebut, belum dapat memenuhi umur keekonomian fasilitas pemurnian atau smelter.
"Sehingga pemerintah perlu mengambil langkah berupa kebijakan baru, yakni penghentian rekomendasi ekspor bijih nikel kadar rendah, yang berlaku mulai awal tahun depan," ujar Bambang, di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Lebih lanjut, ia mengatakan, memang terdapat cadangan terkira komoditas nikel nasional sebesar 2,87 miliar ton. Namun, masih memerlukan peningkatan faktor pengubah seperti kemudahan akses perizinan, dan keekonomian (harga) untuk membuat cadangan terkira menjadi cadangan terbukti, sehingga nantinya dapat memenuhi kebutuhan smelter selama 42 tahun.
"Maka, atas dasar tersebut, segala sesuatu yang berhubungan dengan ekspor raw material nikel, akan berakhir pada 31 Desember 2019. Untuk yang sudah dapat izin bangun smelter, kalau tidak berhubungan dengan insentif raw material ya silakan jalan saja," tutur Bambang.
"Kami beri kesempatan, untuk yang sudah dapat izin, tetap berlakukan (izinnya) sampai 1 Januari 2020, itu batasnya," tambahnya.
Adapun, sampai saat ini, Kementerian ESDM mencatat, mulai 2017-Juli 2019 sudah dikeluarkan rekomendasi ekspor bijih nikel sebesar 76,26 juta ton, namun realisasinya baru 38,29 juta ton.
Sebelumnya, Bambang juga mengatakan alasan pemerintah melakukan percepatan larangan tersebut berdasar beberapa pertimbangan.
Pertama adalah nikel dengan kadar rendah sudah bisa diolah di dalam negeri, karena perkembangan teknologi yang sudah maju. Apalagi menurutnya nikel dapat digunakan untuk bahan baku komponen mobil listrik.
Pertimbangan lainnya adalah pembangunan smelter nikel yang pesat beberapa tahun belakangan ini membutuhkan pasokan nikel cukup tinggi dari dalam negeri. "Jadi kita ingin lakukan proses pengolahan nikel kadar rendah, antara lain cobalt dan lithium," ujarnya di Gedung ESDM, Senin (2/9/2019).
Soal smelter, Bambang mengatakan ada 25 smelter yang sedang dalam proses pembangunan sehingga bila ini terbangun RI punya 36 smelter nikel. "Karena smelter nikel sudah banyak, maka pemerintah ingin mempercepat dan bergerak mengambil inisiatif menghentikan ekspor nikel untuk segala kadar kualitas."
Saat ini, Peraturan Menteri ESDM yang akan mengatur larangan ini tengah diproses di Kemenkum HAM.
![]() |
(gus/gus) Next Article Pilih Ekspor, Penambang Nikel 'Gerah' dengan Smelter China?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular