
Freddy Numberi: Papua Anak Sulung RI, Bintang Kejora Budaya
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
02 September 2019 11:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Tokoh Papua Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi buka-bukaan perihal kondisi terkini Papua-Papua Barat dalam program Blak-blakan detik.com hari ini, Senin (2/9/2019). Dalam kesempatan itu, Freddy membeberkan secara singkat sejarah Papua hingga bendera Bintang Kejora yang kerap dianggap sebagai bendera negara Papua.
Menurut dia, Papua resmi diakui sebagai wilayah Hindia Belanda lewat proklamasi khusus oleh Raja Willem I Frederik sekitar 117 tahun sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Sementara daerah-daerah lain yang dikuasai Belanda baru masuk beberapa waktu belakangan.
"Jadi, koloni (Hindia Belanda) yang berhak menyebut dirinya sebagai anak sulung adalah Papua. Kenapa? Kamilah yang punya proklamasi dari Raja Belanda Willem I Frederik yang menyatakan wilayah ini di bawah kekuasan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia," kata Freddy kepada Tim Blak-blakan detik.com seperti dilansir CNBC Indonesia.
Ia mengaku pernah menghabiskan waktu selama dua tahun melakukan riset, termasuk bolak-balik ke sejumlah perpustakaan dan museum di Belanda. Dari sejumlah dokumen yang ditemukan, Freddy juga menegaskan bendera Bintang Kejora yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai simbol kemerdekaan adalah keliru.
Sebab, merujuk pada Peraturan Nomor 68 Tahun 1961 yang menyebutkan Bintang Kejora adalah sebagai Land Flag bukan National Flag. Selain bendera budaya, Belanda juga membolehkan Papua memiliki hymne daerah.
"Itu berlaku bagi seluruh wilayah yang menjadi domain Belanda di seberang lautan, seperti Suriname, Aruba, Curacao, Sint Maarten, Bonaire, Sint Eustatius, dan Saba," kata pria kelahiran Serui 15 Oktober 1947 itu.
Jika menilik rekam jejak Belanda dalam sejumlah perjanjian, Freddy menyebut tak pernah ada maksud untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua. Belanda selalu menerapkan politik pecah belah agar tetap bercokol dan menguasai wilayah-wilayah jajahannya.
Terkait aksi-aksi anarkis di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat sebagai respons atas sikap rasisme di Surabaya, Freddy amat menyarangkannya. Ia menilai hal itu tidak murni lagi karena rasisme terhadap orang Papua sudah lama terjadi.
Freddy menyarankan kepada pemerintahan Jokowi untuk memberikan pendampingan dan pengawasan yang lebih baik terhadap jalannya otonomi khusus. Hal lain tentu dalam penggunaan dana otonomi khusus agar benar-benar tepat sasaran demi kesejahteraan masyarakat Papua.
Di pihak lain, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua juga harus ikut membantu pemerintah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi generasi muda di sana.
"Kalau pekerjaan kasar saja masih diserahkan kepada para pendatang dan warga Papua hanya menjadi penonton, wajar mereka marah. Mereka merasa percuma menjadi bagian Indonesia karena tidak memberikan kesejahteraan," papar Freddy.
Sebelumnya selepas menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (30/8/2019), Freddy memberi pernyataan bahwa bendera Bintang Kejora bukan bendera negara Papua.
Pernyataan eks menteri perhubungan itu merespons pengibaran bendera Bintang Kejora dalam aksi unjuk rasa pemuda Papua di depan Istana Merdeka, beberapa waktu lalu.
"Bukan bendera negara itu. Itu adalah bendera, Belanda sebutkan itu land flag. Land flag itu bendera budaya, bendera tanah," ujar Freddy seperti dilansir CNN Indonesia.
SDM Papua
Masih terkait Papua dan Papua Barat, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise pada pagi ini menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/8/2019). Pertemuan itu membahas tentang perempuan dan anak, terutama SDM Papua dan Papua Barat, ke depan.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah jumlah korban perempuan dan anak dari serangkaian peristiwa di sejumlah kabupaten/kota di Bumi Cenderawasih beberapa waktu belakangan. Sudahkah ada laporan terkait hal tersebut?
"Kami sedang menyuruh staf khusus kami menyelidiki, mengumpulkan data-data kira-kira berapa banyak perempuan dan anak yang menjadi korban. Yang jelas mungkin masalah trauma ya. Trauma saja dalam keadaan ketakutan. Saya sudah terima itu," kata Yohana.
Lebih lanjut, dia mengaku akan mengundang kepala suku hingga tokoh adat terkait permasalahan yang membelit perempuan dan anak di Papua dan Papua Barat. Yohana menekankan dialog itu penting dan telah dibangun sejak 2016 lalu.
"Jadi dengan cara menggandeng mereka termasuk akademisi tokoh perempuan, kemudian tokoh-tokoh mahasiswa kita bisa lihat kira-kira bagaimana cararanya untuk menurunkan atau menghilangkan trauma perempuan dan anak," ujar Yohana.
"Kita sudah selama ini sudah buat, prinsip saya kita selamatkan perempuan dan anak di Papua (dan Papua Barat). Maka Papua itu akan selamat karena itu kan pasti luas sekali dan perempuan ini akan melahirkan generasi-generasi untuk mengisi tanah ini," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Polisi Tangkap Aktor Intelektual Kerusuhan Papua, Siapa Dia?
Menurut dia, Papua resmi diakui sebagai wilayah Hindia Belanda lewat proklamasi khusus oleh Raja Willem I Frederik sekitar 117 tahun sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Sementara daerah-daerah lain yang dikuasai Belanda baru masuk beberapa waktu belakangan.
"Jadi, koloni (Hindia Belanda) yang berhak menyebut dirinya sebagai anak sulung adalah Papua. Kenapa? Kamilah yang punya proklamasi dari Raja Belanda Willem I Frederik yang menyatakan wilayah ini di bawah kekuasan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia," kata Freddy kepada Tim Blak-blakan detik.com seperti dilansir CNBC Indonesia.
Sebab, merujuk pada Peraturan Nomor 68 Tahun 1961 yang menyebutkan Bintang Kejora adalah sebagai Land Flag bukan National Flag. Selain bendera budaya, Belanda juga membolehkan Papua memiliki hymne daerah.
"Itu berlaku bagi seluruh wilayah yang menjadi domain Belanda di seberang lautan, seperti Suriname, Aruba, Curacao, Sint Maarten, Bonaire, Sint Eustatius, dan Saba," kata pria kelahiran Serui 15 Oktober 1947 itu.
![]() |
Jika menilik rekam jejak Belanda dalam sejumlah perjanjian, Freddy menyebut tak pernah ada maksud untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua. Belanda selalu menerapkan politik pecah belah agar tetap bercokol dan menguasai wilayah-wilayah jajahannya.
Terkait aksi-aksi anarkis di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat sebagai respons atas sikap rasisme di Surabaya, Freddy amat menyarangkannya. Ia menilai hal itu tidak murni lagi karena rasisme terhadap orang Papua sudah lama terjadi.
Freddy menyarankan kepada pemerintahan Jokowi untuk memberikan pendampingan dan pengawasan yang lebih baik terhadap jalannya otonomi khusus. Hal lain tentu dalam penggunaan dana otonomi khusus agar benar-benar tepat sasaran demi kesejahteraan masyarakat Papua.
Di pihak lain, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua juga harus ikut membantu pemerintah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi generasi muda di sana.
"Kalau pekerjaan kasar saja masih diserahkan kepada para pendatang dan warga Papua hanya menjadi penonton, wajar mereka marah. Mereka merasa percuma menjadi bagian Indonesia karena tidak memberikan kesejahteraan," papar Freddy.
Sebelumnya selepas menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (30/8/2019), Freddy memberi pernyataan bahwa bendera Bintang Kejora bukan bendera negara Papua.
Pernyataan eks menteri perhubungan itu merespons pengibaran bendera Bintang Kejora dalam aksi unjuk rasa pemuda Papua di depan Istana Merdeka, beberapa waktu lalu.
"Bukan bendera negara itu. Itu adalah bendera, Belanda sebutkan itu land flag. Land flag itu bendera budaya, bendera tanah," ujar Freddy seperti dilansir CNN Indonesia.
SDM Papua
Masih terkait Papua dan Papua Barat, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise pada pagi ini menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (2/8/2019). Pertemuan itu membahas tentang perempuan dan anak, terutama SDM Papua dan Papua Barat, ke depan.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah jumlah korban perempuan dan anak dari serangkaian peristiwa di sejumlah kabupaten/kota di Bumi Cenderawasih beberapa waktu belakangan. Sudahkah ada laporan terkait hal tersebut?
"Kami sedang menyuruh staf khusus kami menyelidiki, mengumpulkan data-data kira-kira berapa banyak perempuan dan anak yang menjadi korban. Yang jelas mungkin masalah trauma ya. Trauma saja dalam keadaan ketakutan. Saya sudah terima itu," kata Yohana.
Lebih lanjut, dia mengaku akan mengundang kepala suku hingga tokoh adat terkait permasalahan yang membelit perempuan dan anak di Papua dan Papua Barat. Yohana menekankan dialog itu penting dan telah dibangun sejak 2016 lalu.
"Jadi dengan cara menggandeng mereka termasuk akademisi tokoh perempuan, kemudian tokoh-tokoh mahasiswa kita bisa lihat kira-kira bagaimana cararanya untuk menurunkan atau menghilangkan trauma perempuan dan anak," ujar Yohana.
"Kita sudah selama ini sudah buat, prinsip saya kita selamatkan perempuan dan anak di Papua (dan Papua Barat). Maka Papua itu akan selamat karena itu kan pasti luas sekali dan perempuan ini akan melahirkan generasi-generasi untuk mengisi tanah ini," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Polisi Tangkap Aktor Intelektual Kerusuhan Papua, Siapa Dia?
Most Popular