Sabar Ibu Sri Mulyani, Karena Memang Anda Menteri Segalanya!

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
29 August 2019 07:30
Sabar Ibu Sri Mulyani, Karena Memang Anda Menteri Segalanya!
"Dan untukmu, salah satu wanita kebanggaan bangsa, kami berdoa. Semoga selalu yang terbaik menyertai tiap langkahmu, Ibu. Terimakasih untuk semua daya dan semangat dalam tiap karya terbaikmu. Teladanmu telah menguatkan kami untuk tak pernah lelah mencintai negeri ini."

Potongan kalimat tersebut di atas merupakan bagian dari ucapan 'Selamat Ulang Tahun' dari jajaran Kementerian Keuangan untuk Menterinya, Sri Mulyani Indrawati.

Sri Mulyani Indrawati, yang pada 26 Agustus kemarin merayakan hari kelahirannya tengah menjadi sorotan utama. Di tengah tugas beratnya sebagai Bendahara Negara yang harus menjaga ketahanan fiskal, Sri Mulyani kini diserang banyak pihak terkait defisit BPJS Kesehatan.

Seolah-olah otak di balik naiknya iuran BPJS Kesehatan adalah seorang Menteri yang kejam yakni Sri Mulyani.

Sabar Ibu Sri Mulyani, Karena Memang Anda Menteri Segalanya!Foto: Surprise Sri Mulyani di holding room mezzanine kemenkeu


Sedikit mundur ke belakang atau tepatnya pada 21 Agustus 2019, Sri Mulyani di Komisi XI DPR jadi bulan-bulanan para anggota dewan. Saat itu Komisi XI tengah membahas defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan.

Intonasi bicara yang meninggi nampak dari seorang Sri Mulyani ketika terus dihujani pertanyaan oleh para anggota Komisi XI DPR.

Dalam rapat itu, Sri Mulyani menumpahkan kekesalannya terkait persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan lantaran berbagai pihak seolah terus bertanya kepadanya bagaimana penyelesaian masalah defisit itu. Padahal, menurutnya, persoalan defisit ini bukan sepenuhnya tanggung jawab utamanya sebagai Menteri Keuangan.

"Kami ini kan Menteri Keuangan, bukan Menteri Keuangan Kesehatan atau Menteri Kesehatan Keuangan," ujar Sri Mulyani dengan nada tinggi.



Seorang Menteri Keuangan, sambungnya, hanya berurusan dengan masalah ini ketika ada anggaran yang harus dialokasikan untuk program JKN KIS. Anggaran perlu dirumuskan karena negara memang bertanggung jawab untuk memberikan jaminan kesehatan dalam bentuk subsidi pembayaran iuran, misalnya untuk kelas kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Ya, karena Sri Mulyani adalah Menteri Segalanya.

Selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) Sri Mulyani juga menjadi seorang Menteri BUMN. Di DPR, karena Rini Soemarno diboikot, maka yang kerap menggantikan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat adalah Sri Mulyani.

Secara teknis, Menteri Kesehatan juga punya banyak peranan. Melalui Permenkes atau Peraturan Menteri Kesehatan, maka dapat diatur lebih jauh mengenai Pelayanan Kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional. Sementara, sang Dirut sendiri lah yang harus bertanggung jawab penuh kepada Presiden.

Relasi antara BPJS Kesehatan dan Presiden ini sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pada Pasal 7 Ayat 2, disebutkan, "BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden."

Jokowi pernah menegur langsung Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris terkait defisit tersebut.

Sabar Ibu Sri Mulyani, Karena Memang Anda Menteri Segalanya!Foto: Presiden Joko Widodo pada, Jumat malam, 23 Agustus 2019, menyempatkan diri menyapa sejumlah talenta muda dari berbagai daerah. (Biro Setpres RI)


Jokowi, di hadapan para pimpinan rumah sakit saat membuka Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), menunjuk hidung sang dirut.

Jokowi heran suntikan dana Rp 4,9 triliun yang diberikan pemerintah lewat APBN masih kurang untuk menutup defisit BPJS.

"Harus kita putus tambah Rp 4,9 triliun (untuk defisit BPJS). Ini masih kurang lagi. 'Pak masih kurang. Kebutuhan bukan Rp 4,9 triliun'. Lah kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta," kata Jokowi.

Jokowi meminta Fahmi untuk segera memperbaiki manajemen, sistem hingga masalah-masalah yang ada di BPJS. Tak lupa, Jokowi juga turut menegur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. Ini semata-mata karena Jokowi merasa harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan yang harusnya cukup di tingkat Kementerian.

"Masa setiap tahun harus dicarikan solusi. Mestinya sudah rampunglah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang rumah sakit sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya. Kalau tahun depan masih diulang, kebangetan," kata Jokowi.

Nah yang terjadi saat ini semua mata tertuju pada Sri Mulyani saat memberikan masukan soal iuran. Seolah lupa ada seorang Menteri Kesehatan, Dirut BPJS, bahkan Seorang Presiden Jokowi sendiri yang nantinya akan memutuskan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>> KENAPA IURAN HARUS NAIK (NEXT)

Perlu dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki keberlanjutan program JKN tersebut dengan tiga poin utama selain suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dinilai tidak akuntabel. Pertama, dengan perbaikan sistem dan manajemen JKN; Kedua, memperkuat peranan Pemda; dan Ketiga, menyesuaikan iuran peserta JKN.

Besaran iuran baru diusulkan oleh Dewan Jaminan Sosial (DJSN) yang mendapat masukan hitungan dari aktuaria dan tim teknis terkait yaitu Rp42.000 untuk kelas III, Rp75.000 kelas II, dan Rp120.000 untuk kelas I.

"Ini yang kita gunakan untuk mengusulkan kepada pemerintah tapi memang Rp42 (ribu) (kelas III), Rp75(ribu) (kelas II), dan Rp120(ribu) (kelas I) asumsinya masih menyisakan defisit carry over dari tahun-tahun sebelumnya," kata Tubagus Achmad Choesni, Ketua merangkap anggota DJSN.

Choesni mengatakan PPU (Pekerja Penerima Upah) kelas I pada saat dihitung, angkanya sudah mencapai Rp109.000 hampir Rp110.000, kelas II Rp66.000. Ia juga menyajikan fakta menarik bahwa PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) kelas I bahkan sudah ada yang mencapai Rp262.000 karena ada adverse selection untuk perawatan atau penyembuhan penyakit-penyakit yang agak mahal. Demikian pula PBPU yang kelas I Rp262 (ribu), Rp253 (ribu) sampai Rp287 (ribu). Jika diaggregatkan, ini akan bertambah terus sehingga memicu defisit.

Oleh karena itu, Sri Mulyani Indrawati pada Rapat Kerja bersama Komisi IX dan Komisi XI di Ruang Rapat Komisi IX DPR pada Selasa (27/08) mengusulkan penyesuaian iuran BPJS untuk dikenakan lebih tinggi untuk kelas II dan kelas I sebesar Rp110.000 dan Rp160.000 mengingat pemerintah menyediakan universal health coverage pada dasarnya adalah standar kelas III.

"Menurut kami untuk kelas II dan kelas I jumlah iurannya perlu dinaikkan untuk memberikan signal bahwa sebetulnya, yang ingin diberikan oleh pemerintah kepada seluruh universal health coverage adalah standar kelas III, sehingga kalau mau naik kelas, memang ada konsekuensinya. Kami mengusulkan Rp110 (ribu) untuk kelas II dan Rp160 (ribu) untuk kelas I, dan ini kita akan mulainya 1 Januari 2020. Dari evaluasi kami, Rp42.000 untuk kelas III dan PBI (Penerima Bantuan Iuran) itu bisa diadopsi. Namun untuk yang PBI bisa dimulai kenaikannya bulan Agustus ini. Sedangkan untuk masyarakat di luar yang ditanggung pemerintah kita mulainya Januari untuk sosialisasi dan lain-lain," katanya.

Beberapa tantangan, BPJS mengalami defisit. Tantangan tersebut adalah struktur iuran masih underpriced atau di bawah angka hitungan yang sesungguhnya diperlukan untuk mengcover biaya kesehatan.

Kedua, banyak peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yaitu orang yang membayar mandiri atau dari sektor informal yang baru mendaftar pada saat sakit (kondisi adverse selection) lalu setelah mendapat layanan kesehatan berhenti membayar iuran.

Ketiga, rendahnya tingkat keaktifan peserta PBPU yaitu hanya sekitar 54%, sementara tingkat utilisasi (penggunaan asuransi) sangat tinggi.

Keempat ialah beban pembiayaan katastropik yang sangat besar yaitu lebih dari 20% dari total biaya manfaat.

Menarik untuk menunggu bagaimana Peraturan Pemerintah ini ditandatangani Presiden Jokowi. Apakah Jokowi siap bertanggungjawab dengan menaikkan iuran?









(sef) Next Article Momen Sri Mulyani Pimpin Serah Terima Jenazah JB Sumarlin

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular