
Kinerja Semester I-2019
Meroketnya Laba Pertamina dan Target Ambisius di Sisa 2019
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
27 August 2019 09:29

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) membukukan laba sebesar US$ 660 juta atau sebesar Rp 9,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.200/US$) pada paruh pertama tahun ini.
Perolehan laba ini melesat 112% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 310 juta atau sebesar Rp 4,4 triliun.
"Terutama karena kinerja semester-1 2018 lalu tidak begitu baik. Sehingga dengan laba Rp 9,4 triliun atau US$ 660 juta, mencatatkan peningkatan 112% dibanding 2018," kata Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Dia menjelaskan, komposisi terbesar dari biaya operasi perusahaan adalah minyak mentah, mengingat Pertamina memproduksi minyak mentah dan menjual bahan bakar minyak (BBM).
Oleh karena itu, dengan adanya penurunan harga acuan minyak mentahcatau ICP (Indonesia Crude Price) dari US$ 66 per barel pada semester-1 2018 lalu menjadi US$ 63 per barel pada semester pertama tahun ini, otomatis biaya beban produksi (COGS) perseroan turun.
Memang, berdasarkan catatan Pertamina, untuk harga jual minyak mentah Indonesia (ICP), pada periode semester I 2019 tercatat sebesar US$ 63,14 per barel, atau turun 5% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 66,55 per barel.
"Dengan turunnya ICP bisa dikatakan pendapatan sedikit turun, tetapi penurunan ini lebih kecil dibanding penurunan biaya pokok penjualan. Kalau di-summary, beban pokok turun 6%, sementara pendapatan hanya turun 3%," jelas Pahala.
Adapun, dari sisi pendapatan, pada semester I 2019 perusahaan mencatatkan adanya penurunan sebesar 3% secara year on year (yoy) menjadi US$ 25,55 miliar, dari yang sebelumnya US$ 26,43 miliar.
Dari sisi investasi, sampai dengan semester I 2019, perusahaan mencatatkan realisasi investasi sebesar 40% dari besaran yang dianggarkan tahun ini yang sebesar US$ 4,2 miliar, atau nilainya mencapai US$ 1,68 miliar, setara dengan Rp 23,8 triliun.
Pahala menuturkan, sampai akhir tahun, perusahaan mengestimasikan serapan investasi bisa mencapai US$ 4,3 miliar.
Lebih lanjut, Pahala mengatakan, ke depan, investasi perusahaan akan terus meningkat. Oleh karena itu, perusahaan telah menerbitkan surat utang global (global bond) sebesar US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21 triliun di awal bulan ini.
Menurut Pahala, global bond tersebut diterbitkan untuk mengantisipasi kebutuhan peningkatan belanja modal atau capex (capital expenditure) yang tahun ini bisa mencapai US$ 4,5 miliar, bahkan di tahun depan mendekati US$ 9 miliar.
Itu sebabnya, perusahaan telah merencanakan peningkatan Kilang Balikpapan akan memasuki tahap konstruksi pada semester pertama 2020, dan mulai melakukan persiapan sejak tahun ini.
Dengan demikian, global bond yang telah diterbitkan, baru akan digunakan pada akhir tahun ini hingga tahun depan. Sejauh ini, pihaknya telah menunjuk kontraktor paket rekayasa, pengadaan, dan konstruksi (engineering, procurement, and construction/EPC) Proyek Kilang Balikpapan. Perusahaan juga telah membangun sejumlah prasarana yang dibutuhkan.
"Jadi kami optimistis RDMP [Refinery Development Master Plan] Balikpapan sesuai jadwal bisa diselesaikan di pertengahan 2023," ujar Pahala.
Adapun, untuk proyek kilang lain, yakni Kilang Tuban yang dikerjakan bersama Rosneft Oil Company, disebutnya juga cukup bagus perkembangannya. Proyek ini sudah masuk tahap persetujuan untuk lakukan tahap berikutnya, yakni pengembangan basic engineering design dan general engineering design.
"Ke depan, kami akan lihat apakah akan menerbitkan obligasi lagi atau tidak. Sebab, sampai saat ini, paling tidak sampai kuartal I 2020 kami punya cashflow yang baik, jadi untuk proyek kilang diupayakan pakai project financing," jelasnya.
Adapun, perusahaan migas pelat merah ini optimistis dapat membukukan laba mencapai US$ 2 miliar di tahun ini atau sekitar Rp 28 triliun.
"Mudah-mudahan dengan harga ICP yang saat ini di kisaran US$ 63 per barel, angka US$ 2 miliar bisa kami capai. Kami akan berupaya dan memacu terus untuk bisa di atas US$ 2 miliar," pungkas mantan Dirut Garuda Indonesia ini.
Rapor BUMN di musim pertama Jokowi.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Vending Machine UMKM Bermunculan di Stasiun KA, Begini Penampakannya
Perolehan laba ini melesat 112% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 310 juta atau sebesar Rp 4,4 triliun.
"Terutama karena kinerja semester-1 2018 lalu tidak begitu baik. Sehingga dengan laba Rp 9,4 triliun atau US$ 660 juta, mencatatkan peningkatan 112% dibanding 2018," kata Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Dia menjelaskan, komposisi terbesar dari biaya operasi perusahaan adalah minyak mentah, mengingat Pertamina memproduksi minyak mentah dan menjual bahan bakar minyak (BBM).
Oleh karena itu, dengan adanya penurunan harga acuan minyak mentahcatau ICP (Indonesia Crude Price) dari US$ 66 per barel pada semester-1 2018 lalu menjadi US$ 63 per barel pada semester pertama tahun ini, otomatis biaya beban produksi (COGS) perseroan turun.
Memang, berdasarkan catatan Pertamina, untuk harga jual minyak mentah Indonesia (ICP), pada periode semester I 2019 tercatat sebesar US$ 63,14 per barel, atau turun 5% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 66,55 per barel.
"Dengan turunnya ICP bisa dikatakan pendapatan sedikit turun, tetapi penurunan ini lebih kecil dibanding penurunan biaya pokok penjualan. Kalau di-summary, beban pokok turun 6%, sementara pendapatan hanya turun 3%," jelas Pahala.
Adapun, dari sisi pendapatan, pada semester I 2019 perusahaan mencatatkan adanya penurunan sebesar 3% secara year on year (yoy) menjadi US$ 25,55 miliar, dari yang sebelumnya US$ 26,43 miliar.
Dari sisi investasi, sampai dengan semester I 2019, perusahaan mencatatkan realisasi investasi sebesar 40% dari besaran yang dianggarkan tahun ini yang sebesar US$ 4,2 miliar, atau nilainya mencapai US$ 1,68 miliar, setara dengan Rp 23,8 triliun.
Pahala menuturkan, sampai akhir tahun, perusahaan mengestimasikan serapan investasi bisa mencapai US$ 4,3 miliar.
Lebih lanjut, Pahala mengatakan, ke depan, investasi perusahaan akan terus meningkat. Oleh karena itu, perusahaan telah menerbitkan surat utang global (global bond) sebesar US$ 1,5 miliar atau setara dengan Rp 21 triliun di awal bulan ini.
Menurut Pahala, global bond tersebut diterbitkan untuk mengantisipasi kebutuhan peningkatan belanja modal atau capex (capital expenditure) yang tahun ini bisa mencapai US$ 4,5 miliar, bahkan di tahun depan mendekati US$ 9 miliar.
Itu sebabnya, perusahaan telah merencanakan peningkatan Kilang Balikpapan akan memasuki tahap konstruksi pada semester pertama 2020, dan mulai melakukan persiapan sejak tahun ini.
"Jadi kami optimistis RDMP [Refinery Development Master Plan] Balikpapan sesuai jadwal bisa diselesaikan di pertengahan 2023," ujar Pahala.
Adapun, untuk proyek kilang lain, yakni Kilang Tuban yang dikerjakan bersama Rosneft Oil Company, disebutnya juga cukup bagus perkembangannya. Proyek ini sudah masuk tahap persetujuan untuk lakukan tahap berikutnya, yakni pengembangan basic engineering design dan general engineering design.
"Ke depan, kami akan lihat apakah akan menerbitkan obligasi lagi atau tidak. Sebab, sampai saat ini, paling tidak sampai kuartal I 2020 kami punya cashflow yang baik, jadi untuk proyek kilang diupayakan pakai project financing," jelasnya.
Adapun, perusahaan migas pelat merah ini optimistis dapat membukukan laba mencapai US$ 2 miliar di tahun ini atau sekitar Rp 28 triliun.
"Mudah-mudahan dengan harga ICP yang saat ini di kisaran US$ 63 per barel, angka US$ 2 miliar bisa kami capai. Kami akan berupaya dan memacu terus untuk bisa di atas US$ 2 miliar," pungkas mantan Dirut Garuda Indonesia ini.
Rapor BUMN di musim pertama Jokowi.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Vending Machine UMKM Bermunculan di Stasiun KA, Begini Penampakannya
Most Popular