Luhut Kritik Harga Listrik Energi Baru, Bakal Direvisi?

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
26 August 2019 15:00
Luhut kritik soal pengembangan energi baru di RI, ia menilai harganya kurang menarik minat investor.
Foto: Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Joko Widodo jilid 2, akan fokus menggarap nilai tambah dan pembangunan untuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).

"Kami juga ingin EBT itu dikembangin, misalnya panas bumi. Kita itu punya cadangan terbesar di dunia ya, potensi sampai 30 ribu MW tapi sekarang baru terpakai berapa ribu, itu masih banyak potensinya," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, pekan lalu.



Lebih lanjut, Luhut mengakui, saat ini, memang masih ada regulasi Indonesia masih belum jelas terkait pengembangan panas bumi, namun hal tersebut diklaim sudah mulai diperbaiki.

"World Bank juga sudah bicara dengan saya, akan memberi dana untuk pengeboranya, supaya risikonya bisa diperkecil. Jadi kalau sudah ditemukan potensinya, langsung itu di-tender," jelas Luhut.

Adapun, sebelumnya, pemerintah berpeluang memikul tambahan subsidi di APBN dengan kisaran nilai minimum Rp 21 triliun per tahunnya, untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) ke depannya.

Sebagaimana diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan, yang ditargetkan bakal diteken tahun ini. Inisiatif pembahasan RUU ini berasal dari pihak legislatif.

Salah satu poin yang akan diatur dalam RUU tersebut adalah alokasi subsidi dari pemerintah yang bakal dikucurkan untuk pengembangan EBT, di luar rencana pengalokasikan APBN untuk Dana EBT (renewable energy fund).

Mengutip Naskah Akademik RUU EBT yang baru saja dirilis oleh Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian (PUU BPK) DPR, disebutkan bahwa Indonesia akan menerapkan sistem baru pengembangan EBT yang melibatkan kebijakan fiskal dan berkonsekuensi pada subsidi.

"Dampak yang ditimbulkan dapat berupa beban biaya subsidi atau pemberian insentif kepada investor yang akan mengembangkan energi baru dan terbarukan," demikian termaktub dalam draf RUU yang diperoleh Tim Riset CNBC Indonesia.

Apabila pemerintah menyetujui opsi pertama, maka subsidi harga diberikan terhadap selisih antara biaya produksi listrik dengan harga listrik yang dibeli PLN. Dari situ, beban keuangan negara berkisar Rp 1,3 triliun per tahun. 

Namun, apabila pemerintah mengadopsi skema pendanaan ala Malaysia melalui "Malaysia‟s Green technology Financing Scheme", maka terdapat dua kebijakan yang mungkin diambil, yaitu pemberian pinjaman lunak atau pemberian jaminan. 

Pinjaman lunak menawarkan bunga rendah bagi investasi pembangkit listrik berbasis EBT. Apabila tingkat suku bunga yang diterapkan pemerintah sebesar 2 persen, maka perkiraan anggaran yang diperlukan adalah Rp 640 miliar, jika mengacu pada investasi EBT tahun lalu senilai Rp 32 triliun. Sementara itu, penjaminan yang diperlukan mencapai Rp 19,2 triliun.

Di sisi lain, Luhut mengatakan, ada hal yang perlu dievaluasi juga terkait harga pembelian listriknya. Ia menyebutkan, saat ini sebenarnya harga jual beli listrik untuk pembangkit panas bumi sudah bagus, namun ada beberapa investor yang masih dikenakan harga lama yang juga ingin disesuaikan.

"Ya nanti itu kan perlu dievaluasi, sesuaikan nanti. Ya kita lihat lah itu nanti ya," pungkas Luhut.


[Gambas:Video CNBC]
(gus) Next Article Luhut Geram Sebut Singapura Brengsek, Ini Akar Masalahnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular