
Bos BI Pilih Stabilitas Sekaligus Pertumbuhan, Mungkinkah?
Efrem Limsan Siregar, CNBC Indonesia
26 August 2019 14:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memiliki peran menjaga stabilitas dalam kebijakan moneternya. Namun, di sisi lain ada pertumbuhan ekonomi yang juga harus dijaga.
Dua kondisi itu menjadi bahan diskusi antara Ketua Umun Kadin Rosan Roeslani dan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Kadin Talks di kantor Kadin, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Sebagai pengusaha, Rosan mengakui peran BI dalam menetapkan kebijakan moneter. Pertanyaannya, apakah BI dapat melaksanakan kestabilan sekaligus juga pertumbuhan ekonomi secara beriringan?
Menurut Perry, dua hal tersebut bisa dilakukan BI sepanjang ada sinergi antar pihak terkait. Ia juga memperkenalkan rumusan lima jamu yang diterapkan BI.
"Kalau bank sentral yang lama, stabil karena instrumen hanya satu suku bunga kalau suku bunga mengendalikan inflasi, nilau tukar, itu ilmu lama. Dalam buku saya di negara negara emerging market tidak bisa karena asumsi yang kita ajar menganggap mekanisme pasar berjalan semuanya, sehingga suku bunga dinaikkan nanti nilai tukar bisa stabil? Belum tentu," katanya.
Ia mengatakan ilmu mengenai suku bunga tidak cukup untuk diterapkan di negara berkembang sehingga perlu diciptakan rumusan lain. Penanganannya berbeda dibanding negara-negara maju.
"Kalau bank sentral di negara maju, ya sudah asal harga-harga terkendali, inflasi rendah, nilai tukar stabil, seperti itu kan. Kalau di negara maju begitu dinaikan suku bunga semua selesai nih. Di negara berkembang tidak bisa, inflasi gara-gara cabai masa diobati dengan suku bunga, ora matuk toh. Nilai tukar karena neraca perdaganaanya defisit, masa kita intervensi terus, ya, ngga kuat cadangan devisinya," katanya.
Untuk menjaga stabilitas sekaligus memperhatikan pertumbuhan, Perry pun menjelaskan rumusan lima jamu. Jamu pertama adalah suku bunga, jamu kedua stabilitas nilai tukar.
"Artinya kalau bisa banjir arus modal asing ya kita kumpulkan cadangan devisa. Sewaktu paceklik kita gunakan. [...] Saat musim lumbung, jangan semua dibelanjakan, lumbungnya dipenuhi untuk menghadapi musim paceklik," jelasnya.
Hal itu berlaku semisalnya untuk sektor properti. Perry menjelaskan, sewaktu sektor properti 'boom', maka uang muka akan diketatkan karena setelah itu akan diikuti musim paceklik.
"Itu ilmu yang disebut dengan jamu ketiga. Jadi pertama suku bunga, kedua nilai tukar, dan ketiga kebijakan makroprudensial," ujarnya.
Lalu jamu keempat adalah upaya mendorong pembiayaan. BI akan bekerja sama dengan OJK jika pembiayaan tidak dapat dari perbankan, maka dapat dialihakan dari pasar modal. Dan jamu kelima berhubungan dengan digital economy.
"Jadi di BI itu tidak mempertentangkan stabilitas dan growth, tinggal di mana jamu yang mau diarahkan," katanya.
(dru/dru) Next Article Saat Bos BI Diving di Bali Sampai Lombok Promosi Pariwisata
Dua kondisi itu menjadi bahan diskusi antara Ketua Umun Kadin Rosan Roeslani dan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Kadin Talks di kantor Kadin, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Sebagai pengusaha, Rosan mengakui peran BI dalam menetapkan kebijakan moneter. Pertanyaannya, apakah BI dapat melaksanakan kestabilan sekaligus juga pertumbuhan ekonomi secara beriringan?
![]() |
"Kalau bank sentral yang lama, stabil karena instrumen hanya satu suku bunga kalau suku bunga mengendalikan inflasi, nilau tukar, itu ilmu lama. Dalam buku saya di negara negara emerging market tidak bisa karena asumsi yang kita ajar menganggap mekanisme pasar berjalan semuanya, sehingga suku bunga dinaikkan nanti nilai tukar bisa stabil? Belum tentu," katanya.
Ia mengatakan ilmu mengenai suku bunga tidak cukup untuk diterapkan di negara berkembang sehingga perlu diciptakan rumusan lain. Penanganannya berbeda dibanding negara-negara maju.
"Kalau bank sentral di negara maju, ya sudah asal harga-harga terkendali, inflasi rendah, nilai tukar stabil, seperti itu kan. Kalau di negara maju begitu dinaikan suku bunga semua selesai nih. Di negara berkembang tidak bisa, inflasi gara-gara cabai masa diobati dengan suku bunga, ora matuk toh. Nilai tukar karena neraca perdaganaanya defisit, masa kita intervensi terus, ya, ngga kuat cadangan devisinya," katanya.
Untuk menjaga stabilitas sekaligus memperhatikan pertumbuhan, Perry pun menjelaskan rumusan lima jamu. Jamu pertama adalah suku bunga, jamu kedua stabilitas nilai tukar.
"Artinya kalau bisa banjir arus modal asing ya kita kumpulkan cadangan devisa. Sewaktu paceklik kita gunakan. [...] Saat musim lumbung, jangan semua dibelanjakan, lumbungnya dipenuhi untuk menghadapi musim paceklik," jelasnya.
Hal itu berlaku semisalnya untuk sektor properti. Perry menjelaskan, sewaktu sektor properti 'boom', maka uang muka akan diketatkan karena setelah itu akan diikuti musim paceklik.
"Itu ilmu yang disebut dengan jamu ketiga. Jadi pertama suku bunga, kedua nilai tukar, dan ketiga kebijakan makroprudensial," ujarnya.
Lalu jamu keempat adalah upaya mendorong pembiayaan. BI akan bekerja sama dengan OJK jika pembiayaan tidak dapat dari perbankan, maka dapat dialihakan dari pasar modal. Dan jamu kelima berhubungan dengan digital economy.
"Jadi di BI itu tidak mempertentangkan stabilitas dan growth, tinggal di mana jamu yang mau diarahkan," katanya.
(dru/dru) Next Article Saat Bos BI Diving di Bali Sampai Lombok Promosi Pariwisata
Most Popular