Surveyor & Tata Niaga Kacau, Ini Curhat Penambang Nikel RI

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
22 August 2019 16:58
Penambang Nikel bukan keberatan hilirisasi, tetapi mereka meminta pemerintah membereskan tata niaga sebelum melarang ekspor buru-buru.
Foto: (dok. Kemenko Maritim)
Jakarta, CNBC Indonesia - Para pelaku tambang nikel bukannya keberatan soal kebijakan hilirisasi dan pembangunan smelter. Namun, mereka menilai perlu adanya pembenahan tata niaga komoditas ini terlebih dulu sebelum buru-buru dilarang ekspor oleh pemerintah.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengeluhkan pelaksanaan tata niaga perdagangan bijih nikel yang berantakan. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey membeberkan beberapa fakta yang selama ini dialami oleh pengusaha nikel nasional terkait dengan tata niaga perdagangan tersebut.



Jika dirunut, bisa dimulai dari pembeli domestik yang mayoritasnya meminta bijih nikel dengan kadar di atas 1,8%. Sementara, untuk ekspor, maksimal kadar yang diizinkan hanya mencapai 1,7%.

Tentunya, besaran kadar berpengaruh pada harga. Sebab, semakin tinggi kadar, tentu output yang dihasilkan juga tinggi, kemudian penjualan tinggi karena harganya juga tinggi. Pendapatan besar.

Sejatinya, pemerintah sudah menentukan Harga Patokan Mineral (HPM) yang digunakan sebagai acuan dasar royalti pemerintah, dan telah menunjuk lima surveyor, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya untuk menentukan HPM, besaran royalti, dan PPh tersebut.



Nah, permasalahan dimulai di sini.

"Tapi, ketika bijih nikel dijual ke pembeli smelter domestik, mereka tidak pakai lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, pakainya Intertek. Pembeli tentukan wajib gunakan Intertek di CIF/pelabuhan bongkar," kata Meidy.

Dampaknya, ini berpengaruh pada harga jual bijih nikel yang didapatkan oleh pengusaha nasional, yang ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan perolehan harga ekspor. Padahal bijih nikel yang dijual adalah yang berkadar tinggi.

"Harga lokal 1,8% yang diterima itu cuma kira-kira Rp 300.000, atau US$ 24-25. Sedangkan kalau ekspor 1,7% itu US$ 34 dolar per ton. Ini kadar rendah. Jadi, kadar tinggi dijual dengan harganya serendah-rendahnya, yang satu diekspor harga tinggi," imbuh Meidy.

Di sisi lain, pihaknya juga menyoroti ketidakadilan yang dialami pengusaha nikel nasional. Hal ini terkait dengan pemberian royalti dan PPh ore.

Meidy menjelaskan, ada dua jenis izin yang dikeluarkan untuk pertambangan nikel, yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI).

Selama ini, pemerintah hanya mengenakan royalti dan PPh kepada perusahaan yang memiliki IUP saja, sedangkan tidak ada aturan yang mewajibkan IUI membayar dua hal tersebut. Padahal, jika IUI membayar royalti dan PPh, pemasukan negara akan lebih besar.

"IUI bebas royalti, tidak ada aturan wajib bayar royalti. Ini tidak adil dong? Ini kan sama-sama memproduksi barang yang sama, tapi kok perlakuan beda, bahkan ini kami pengusaha nasional lho, anak kandung negeri sendiri," pungkas Meidy.

Sebagai informasi, selama ini ada empat perusahaan smelter besar pemilik IUI di Indonesia, yakni PT Sulawesi Mining Investment, PT Virtue Dragon Industry, PT Huadi Nickel Aloy, dan PT Harita Nickel.

Surveyor & Tata Niaga Kacau, Ini Curhat Penambang Nikel RIFoto: Produksi Bijih Nikel (ist)



(gus) Next Article Nikel Dilarang Ekspor, Pengusaha Kirim Surat ke Jokowi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular