74 Tahun RI Belum Merdeka dari Pengangguran & Kemiskinan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 August 2019 12:36
Hari ini (17/8/2019) merupakan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-74
Foto: Penduduk bantaran kali Ciliwung (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini (17/8/2019) merupakan peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-74. Namun sayangnya Indonesia masih belum bisa merdeka dari yang namanya pengangguran dan kemiskinan.

Memang benar, kalau melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia suda tinggal 5,01% (per Februari 2019). TPT sendiri merupakan perbandingan antara jumlah pengangguran dengan jumlah total angkatan kerja.

Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri pun sampai membanggakan capaian tersebut di hari yang sakral ini.

"Tingkat pengangguran di Indonesia saat ini berada di angka 5,01 persen, atau merupakan angka pengangguran terendah dalam sejarah Indonesia, " ujar Hanif saat memberi sambutan dalam peringatan HUT Proklamasi ke-74 di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Sabtu (17/8/2019).

Dirinya juga mengungkapkan bahwa pemerintah, di bawah Kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah mampu menciptakan 11,19 juta lapangan pekerjaan dalam kurun waktu 4,5 tahun. Capaian tersebut melebihi target yang telah ditetapkan, yakni penciptaan 10 juta lapangan kerja selama 5 tahun.

Yah, bolehlah sedikit berbangga di tengah euforia kemerdekaan ini.

Namun jangan dilupakan bahwa dengan angka TPT sebesar 5,01% tersebut, Indonesia masih berada di urutan kedua terbanyak di antara negara-negara ASEAN. Jika tidak ada Filipina yang memiliki tingkat pengangguran sebesar 5,1% (per Juni 2019), maka Indonesia menjadi yang terbanyak.



Tingkat pengangguran Indonesia masih kalah jauh dengan Negeri Jiran, Malaysia yang hanya 3,3% (per Juni 2019) dan Vietnam yang sebesar 2,16% (per Juni 2019).

Mungkin ada beberapa pihak yang beranggapan bahwa tingkat pengangguran Indonesia yang begitu tinggi disebabkan oleh jumlah penduduk yang sangat banyak.

Bank Dunia (World Bank/WB) menyebut total populasi Indonesia pada tahun 2018 mencapai 267,6 juta jiwa dan merupakan peringkat empat dunia. Sementara Vietnam dan Malaysia masing-masing hanya 95,5 juta dan 31,5 juta jiwa.

Namun faktanya, China sebagai negara dengan jumlah populasi terbanyak di dunia, yaitu mencapai 1,39 miliar jiwa di tahun 2018, mampu menekan angka pengangguran ke level 3,61% (per Juni 2019). Bayangkan saja hampir seperlima populasi dunia tinggal di China dan hanya 3,61% saja yang menganggur.

Jadi, jumlah penduduk bukan jadi alasan yang solid.

Rendahnya serapan tenaga kerja Indonesia erat kaitannya dengan beberapa sektor perekonomian yang semakin mengkhawatirkan.

Salah satu yang perlu mendapat perhatian khusus adalah pertanian.

Pertanian Loyo

Berdasarkan data dari BPS, pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak, yaitu sebesar 29,46% dari total penduduk bekerja per Februari 2019. Artinya, kala sektor ini tumbuh dengan sehat, penciptaan lapangan kerja akan sangat banyak.

Sumber: Badan Pusat Statistik


Namun sayangnya, semasa Kementerian Pertanian dipegang oleh Amran Sulaiman, pertumbuhan PDB di sektor pertanian kerap kali berada di bawah total pertumbuhan ekonomi.

Teranyar pada semester I-2019, pertumbuhan PDB pertanian hanya sebesar 3,66% secara tahunan (year-on-year/YoY), melambat dibanding semester sebelumnya yang sebesar 3,75% YoY. Bahkan juga merupakan yang terendah sejak semester II-2017. Sementara itu pada semester I-2019, total pertumbuhan ekonomi mencapai 5,06% YoY. 



Kala sang penyerap tenaga kerja terbanyak tidak tumbuh lebih sehat, maka tentu saja pertumbuhan lapangan kerja yang tercipta juga tidak maksimal.

Terbukti pada Februari 2019, total tenaga kerja pada sektor pertanian hanya 38,11 juta jiwa, yang mana turun 590 ribu jiwa dibanding tahun sebelumnya (Februari 2018).

Andaikan saja pertumbuhan sektor pertanian bisa lebih digenjot dengan kebijakan pemerintah yang mumpuni, tentu penciptaan lapangan kerja bisa naik lebih signifikan.

Belum Juga Merdeka Dari Kemiskinan

Berbicara mengenai pengangguran, agaknya tidak bisa terlepas dengan tingkat tingkat kemiskinan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2019 tercatat sebesar 9,41%

Capaian tersebut seringkali dibangga-banggakan oleh beberapa pihak. Maklum, tahun sebelumnya (Maret 2018), tingkat kemiskinan berhasil ditekan ke level 9,82% yang merupakan angka di bawah 10% pertama sepanjang sejarah Indonesia.



Namun ada yang janggal dengan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS.

Data terbaru (Maret 2019), BPS mengumumkan garis kemiskinan total sebesar Rp 423.250/bulan. Artinya, orang-orang yang memiliki penghasilan di bawah itu masuk dalam golongan miskin.

Dari garis tersebut, masih dibagi dua, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).

GKM sendiri merupakan penghasilan minimal untuk memenuhi kebutuhan makanan satu orang sebanyak 1 hari. BPS mengacu kepada pemenuhan kalori sebesar 2.100 kcal untuk satu orang per hari.

Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi 1 bulan = 30 hari).

Mari kita hitung dengan beras. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia dengan nilai kalori yang besar. Dalam 100 gram beras terdapat 125 kcal, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian AS. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal, setiap orang perlu makan 1.680 gram beras (1,6 kg).

Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768.

Artinya, untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, setiap orang perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa orang dengan kategori miskin berdasarkan BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya dalam satu hari, bahkan hanya dengan beras. Itu belum menghitung kebutuhan protein dan mineral lainnya.

Selayaknya, jawaban atas masalah kemiskinan di Indonesia adalah industri manufaktur. Wakil Presiden, Jusuf Kalla juga pernah mengungkapkan betapa pentingnya industri manufaktur bagi perekonomian Indonesia.

"Yang bisa majukan republik ini hanya manufacturing," papar JK dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019.

Dirinya berpendapat, serajin-rajinnya petani, pendapatannya akan kalah dari buruh yang bekerja di idustri manufaktur.

Nah, celakanya kinerja sektor industri manufaktur di Indonesia makin lama semakin memprihatinkan.

Manufaktur Makin Tertinggal

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi pada sektor industri manufaktur terus melambat. Pada kuartal II-2019, angka pertumbuhannya hanya sebesar 3,54% secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka pertumbuhan tersebut merupakan yang paling kecil sejak kuartal II-2017 (dua tahun lalu) dan sudah melambat tiga kuartal berturut-turut.

Alhasil, porsi industri manufaktur RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal II-2019 tinggal 19,52% yang artinya masih melanjutkan tren pelemahan.



Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, kinerja manufaktur Indonesia juga merupakan yang paling buruk. Dalam hal ini, Tim Riset CNBC Indonesia membandingkan dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Sepanjang periode 2014-2018, porsi industri manufaktur RI telah berkurang sebesar 1,21 persen poin dari 21,07% menjadi 19,86%. Di Malaysia dan Thailand, porsi manufaktur dalam PDB juga turun dalam periode yang sama, namun dengan laju yang lebih lambat, yaitu masing-masing sebesar 0,92 dan 0,82 persen poin.



Data-data tersebut menunjukkan bahwa tugas pemerintah untuk memerangi pengangguran dan kemiskinan masih jauh dari kata tuntas.
(taa/dru) Next Article Sedih, Orang Miskin di RI Lebih Banyak dari Warga Australia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular