Merinding! Ini Kronologi Lengkap Demo Berdarah di Hong Kong

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 August 2019 06:50
Merinding! Ini Kronologi Lengkap Demo Berdarah di Hong Kong
Foto: Infografis/Kronologi Demo Besar Hong Kong yang Lumpuhkan Ekonomi/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Hong Kong menjadi bahasan panas dalam beberapa waktu terakhir, baik oleh masyarakat umum, maupun juga pelaku pasar keuangan dunia. Dalam beberapa waktu terakhir, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di sana, melibatkan jutaan orang dan begitu banyak tetesan darah.

Demonstrasi nan-besar yang terjadi di Hong Kong jelas terefleksikan dari pergerakan indeks Hang Seng yang merupakan indeks saham utama di sana.


Sebelum membahas demonstrasi di Hong Kong lebih lanjut, ada baiknya mengenal lebih dahulu sejarah Hong Kong. Pasalnya, apa yang terjadi saat ini berkaitan erat dengan sejarah dari Hong Kong itu sendiri.

Hong Kong bukanlah sebuah negara, melainkan sebuah wilayah administratif khusus yang merupakan bagian dari China. China sendiri merupakan bekas jajahan atau koloni Inggris selama lebih dari 150 tahun. Pasca perang pada tahun 1842, China menyerahkan Hong Kong ke Inggris. Kemudian, China menyewakan sisa wilayah Hong Kong ke Inggris selama 99 tahun.

Pada tahun 1950an, perekonomian Hong Kong melejit seiring dengan posisinya sebagai pusat manufaktur. Banyak warga China yang melarikan diri ke Hong Kong guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Kemudian pada awal 1980an, mendekati tenggat waktu periode sewa wilayah Hong Kong oleh Inggris, China dan Inggris melakukan perundingan mengenai masa depan Hong Kong. Kedua pihak kemudian mencapai kesepakatan pada tahun 1984 yang akan membuat Hong Kong kembali ke pangkuan China pada tahun 1997, di bawah asas "satu negara, dua sistem". Inilah kenapa Hong Kong bukan merupakan sebuah negara melainkan sebuah wilayah administratif khusus.

Tetap menjadi bagian dari China, Hong Kong memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur wilayahnya sendiri. Hong Kong memiliki sistem hukum dan perbatasannya sendiri. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) dijamin di Hong Kong.

Sebagai contoh, Hong Kong merupakan satu dari sebagian kecil wilayah di China di mana orang-orang bisa secara bebas memperingati tragedi 1989 di Tiananmen Square. Kala itu, anggota militer China menembaki para demonstran yang sejatinya datang tanpa membawa senjata apapun.

Namun, kini masyarakat Hong Kong merasa bahwa kebebasan mereka sudah mulai dibatasi. Beberapa pihak sayap kanan menuduh China kini mulai ikut campur terkait urusan rumah tangga di Hong Kong. Hal ini terlihat dari menghilangnya beberapa warga Hong Kong, termasuk seorang taipan, yang kemudian diketahui ditahan oleh pihak China. Kemudian, seorang jurnalis dari Financial Times dilarang untuk memasuki wilayah Hong Kong pasca dirinya menyelenggarakan sebuah acara yang menampilkan seorang aktivis yang pro-kemerdekaan.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Bom Waktu Itupun Meledak
Akhirnya, bom waktu itu meledak juga. Pemicunya, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lim memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) terkait ekstradisi. Pada intinya, jika disahkan, RUU ini akan memberi kuasa kepada Hong Kong untuk menahan orang yang sedang berada di sana (baik itu warga negara maupun bukan) untuk kemudian dikirim dan diadili di China.

RUU ini tentu dipandang sebagai masalah besar oleh masyarakat Hong Kong, beserta juga kalangan internasional. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang selama ini menjadi salah satu pembeda utama antara China dan Hong Kong bisa musnah karenanya. Simpelnya, bisa saja orang di Hong Kong (sekali lagi, baik itu warga negara maupun bukan) ditangkap dan kemudian dikirim ke China untuk diadili hanya karena postingan di sosial media yang dianggap merendahkan pemerintah China.

Pada tanggal 9 Juni 2019, tak kurang dari satu juta orang turun ke jalan untuk menolak pengesahan RUU ini. Namun, Lam tak bergeming dan tetap mendorong dilaksanakannya pemungutan suara.

Merinding! Ini Kronologi Lengkap Demo Berdarah di Hong KongFoto: Aksi Protres RUU Ekstradisi di Hong Kong (REUTERS/Tyrone Siu)

Pada tanggal 12 Juni 2019, tak kurang dari 10 ribu orang berkumpul di pusat pemerintahan Hong Kong untuk kembali menggelar aksi demonstrasi. Sejatinya, aksi ini berawal dengan damai. Namun pada akhirnya, bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian pun tak terelakkan. Pemukulan dengan pentungan, penembakan gas air mata, hingga pencekikan pun terjadi.

Berdasarkan hasil investigasi dari The New York Times, aparat kepolisian Hong Kong terbukti menggunakan kekerasan untuk memukul mundur demonstran. Bahkan, demonstran yang tak membawa senjata apapun dan tak melakukan tindakan yang membahayakan aparat, harus rela tubuhnya dihantam oleh amunisi aparat kepolisian. 

“Saya sedang terbaring di lantai setelah mereka membanting saya dengan keras. Saya mulai berteriak kesakitan dan saya mendorong polisi menjauh. Lalu, beberapa polisi mulai menendangi saya,” demikian pengakuan dari Ng Ying-Mo yang menjadi korban kebrutalan kepolisian Hong Kong, dilansir dari The New York Times.

Kepolisian Hong Kong kemudianmelabeli demonstrasi pada hari itu sebagai sebuah “kerusuhan”.
Merinding! Ini Kronologi Lengkap Demo Berdarah di Hong KongFoto: Demo Hong Kong (AP Photo/Kin Cheung)
 
Aksi pada tanggal 12 Juni tersebut membuat pengambilan suara terkait dengan RUU ekstradisi menjadi ditunda.

Namun, aksi demonstrasi tak berhenti sampai di situ. Tercatat pada tanggal 21 Juni, 1 Juli, dan 7 Juli, aksi demonstrasi kembali digelar. Pada tanggal 8 Juli, Lam mengatakan bahwa RUU ekstradisi yang kontroversial tersebut telah “mati”, tak ada lagi rencana untuk membawanya ke parlemen.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Tuntutan Baru & Darah Baru yang Menetes Karenanya
Walau Lam menegaskan bahwa RUU ekstradisi telah “mati”, aksi demonstrasi di Hong Kong ternyata tak juga surut. Pada tanggal 21 Juli, banyak dari para demonstran kembali ke Yuen Long melalui moda transaportasi kereta pasca melakukan aksi demonstrasi. Yuen long merupakan kota yang dekat dengan perbatasan China-Hong Kong.

Desa-desa di Yuen Long terkenal memiliki sejarah yang panjang dengan Triad, gembong kelompok kriminal kelas kakap di Hong Kong. Melansir The New York Times, para pakar mengatakan bahwa Triad merupakan kelompok yang bisa disewa untuk melakukan tindak kejahatan. Di masa lalu, anggota Triad dituduh terlibat dalam tindak kekerasan terhadap para demonstran anti pemerintah.

Di stasiun kereta tersebut, para pria berkaos putih merangsek masuk dan kemudian memukuli para demonstran secara membabi buta, membuat para demonstran kembali meneteskan darah. Bahkan, seorang pejabat pemerintah yang ikut mendukung beberapa aksi demonstrasi di Hong Kong pun ikut terkena serangan tersebut hingga lengannya retak.
Merinding! Ini Kronologi Lengkap Demo Berdarah di Hong KongFoto: Demo Hong Kong Lumpuhkan Stasiun MRT (AP Photo/Vincent Yu)

Pada akhirnya, polisi mengidentifikasi beberapa perusuh tersebut sebagai anggota Triad dan menangkap beberapa perusuh dengan koneksi ke Triad tersebut.

Menariknya, investigasi yang dilakukan oleh The New York Times mengungkap sebuah hal aneh yang terjadi kala para perusuh dengan sadisnya memukuli para demonstran: polisi Hong Kong cuek dan sama sekali tak berusaha mendinginkan keadaan.

Dalam beberapa video yang dijadikan bahan investigasi oleh The New York Times, terlihat dua anggota polisi justru meninggalkan stasiun kereta kala kerusuhan akan berlangsung. Kepolisian Hong Kong kemudian berdalih bahwa dua polisi tersebut meninggalkan lokasi untuk memanggil bala bantuan.

Beberapa pihak kemudian mencoba memanggil bantuan dengan mendatangi Kantor Kepolisian Yuen Long. Namun, polisi malah menutup rapat pintu di sana. Dalih pihak kepolisian Hong Kong di kemudian waktu: alasan keamanan.

Investigasi dari The New York Times menunjukkan bahwa kerusuhan di stasiun kereta berlangsung selama sekitar 20 menit dan dalam periode tersebut, tak ada satupun anggota polisi yang hadir untuk mendinginkan suasana. Di luar stasiun kereta, kerusuhan serupa juga terjadi dan lagi-lagi, tak ada satupun anggota polisi yang hadir untuk mendinginkan suasana.

Gilanya, video yang dipublikasikan The New York Times di halaman Youtube memperlihatkan bahwa para perusuh berkaos putih (yang beberapa di antaranya kemudian diidentifikasi sebagai anggota Triad) justru berjalan dengan santai kala berpas-pasan dengan aparat kepolisian. Yang lebih gila lagi, dalam video tersebut terlihat dua pria perusuh berkaos putih justru berbincang dengan aparat kepolisian dengan menenteng senjata.

Tak heran jika kini muncul kecurigaan bahwa pemerintah Hong Kong sendiri merupakan tokoh utama di balik aksi barbar tersebut.

Pasca kerusuhan di stasiun kereta, aksi demonstrasi secara besar-besaran berlanjut, menuntut investigasi secara independen terkait dengan kebrutalan aparat kepolisian, beserta juga respons mereka dalam insiden di stasiun kereta.

Para demonstran juga menuntut pemerintah Hong Kong untuk mencabut penggunaan kata “kerusuhan” dalam menggambarkan aksi demonstrasi. Para demonstran bahkan menuntun Lam untuk mundur dari posisinya sebagai pemimpin tertinggi di Hong Kong.

Pada hari Senin (12/8/2019), para demonstran menggelar aksinya di Bandara Internasional Hong Kong yang merupakan salah satu bandara tersibuk di dunia. Pihak bandara pada akhirnya dipaksa untuk membatalkan seluruh penerbangan mulai dari sore hari lantaran banyaknya massa yang menyemut untuk melakukan aksi demonstrasi di sana. Hal tersebut menandai gangguan terbesar bagi perekonomian Hong Kong pasca demonstrasi dimulai pada awal bulan Juni.

“Operasional bandara di Bandara Internasional Hong Kong telah terganggu secara serius sebagai hasil dari demonstrasi pada hari ini,” tulis otoritas bandara Hong Kong dalam pernyataan resminya.

“Selain penerbangan keberangkatan yang sudah menyelesaikan proses check-in dan penerbangan kedatangan yang sudah bertolak menuju Hong Kong, semua penerbangan di sisa hari ini telah dibatalkan.”

Kemudian kemarin sore (13/8/2019), Bandara Internasional Hong Kong menghentikan proses check-in untuk penerbangan keberangkatan yang tersisa di hari itu.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> China Segera Intervensi? Kini, kekhawatiran terbesar adalah China akan melakukan intervensi atas aksi demonstrasi yang tak kunjung usai di Hong Kong. Melalui media sosial Weibo, Pimpinan Redaksi Global Times Hu Xijin mengatakan bahwa menurutnya Beijing akan melakukan intervensi jika kondisi di Hong Kong tak juga membaik. Untuk diketahui, Global Times merupakan media yang dimiliki dan dijalankan oleh Partai Komunis.

Sementara itu, Beijing mengatakan bahwa para demonstran di Hong Kong telah memperlihatkan “tanda-tanda terorisme” dan otoritas terkait harus menundukkan mereka “tanpa rasa kasihan dan simpati”.

Semenjak aksi demonstrasi di Hong Kong dimulai pada awal bulan Juni, lebih dari 700 orang telah ditahan oleh pihak kepolisian. Lalu, setidaknya 200 orang menderita luka-luka dan sebanyak 5 orang bahkan sampai melakukan aksi bunuh diri, dilandasi oleh kekecewaan terhadap pemerintahan pimpinan Carrie Lam.

Untuk diketahui, The Civil Human Rights Front selaku kelompok yang telah mengorganisir beberapa aksi demonstrasi besar-besaran di Hong Kong mengatakan bahwa pihaknya akan kembali menggelar aksi demonstrasi pada hari Minggu (18/8/2019).

Untuk menonton video dari The New York Times, silahkan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular