
APBN Jokowi Jilid I: PNS Dimanjakan, Pemberi Utang Juga?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2019 13:48

Sekarang kita kembali ke inti pertanyaan. Sebenarnya APBN 2015-2018 untuk siapa? Dari sisi belanja, ke mana keberpihakan pemerintahan Jokowi?
Kalau menggunakan indikator pertumbuhan belanja di masing-masing kelompok, maka belanja barang adalah yang paling tinggi. Sepanjang 2015-2018, anggaran belanja barang tumbuh rerata 18,71%.
Ini bisa diartikan bahwa APBN masih konsumtif, karena belanja barang adalah pengeluaran untuk instansi pemerintah non-gaji. Misalnya pengadaan keperluan kantor, makanan, honorarium, sewa gedung, sewa konsultan, perjalanan dinas, dan sebagainya.
Memang ada harapan belanja ini punya trickle down effect ke perekonomian. Misalnya perjalanan dinas abdi negara ke luar kota, bisa menggerakkan sektor transportasi, perhotelan, dan restoran.
Namun seberapa besar dampaknya dibandingkan belanja bersifat investasi seperti pembangunan infrastruktur? Menurut kajian Bank Indonesia (BI), setiap 1% tambahan pengeluaran pemerintah berbasis konsumsi akan meningkatkan output perekonomian sebesar 0,03% dalam jangka panjang.
Sementara untuk pengeluaran berbasis investasi seperti belanja modal, setiap peningkatan 1% akan menambah output ekonomi 0,2% dalam jangka panjang. Jadi dampak belanja negara akan lebih besar dirasakan oleh rakyat jika pemerintah lebih rajin berinvestasi, bukan cuma mengonsumsi.
Kemudian di bawah belanja barang ada pengeluaran pembayaran bunga utang yang juga tumbuh tinggi. Sepanjang 2015-2018, anggaran pembayaran bunga utang tumbuh rata-rata 17,92%.
Penarikan utang di pemerintahan Jokowi periode I memang tinggi. Pada 2014, ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonoo (SBY) berakhir, nominal utang pemerintah adalah Rp 2.608,78 triliun. Pada akhir 2018, jumlahnya membengkak 69,36%. Sepanjang 2015-2018, nilai utang pemerintah rata-rata tumbuh 14,15%.
Semakin menyedihkan ketika kita melihat perkembangan belanja negara secara keseluruhan. Sepanjang 2015-2018, belanja negara hanya tumbuh 5,69%. Jauh di bawah pertumbuhan pembayaran bunga utang.
Artinya, porsi pembayaran utang dalam belanja negara membengkak. Apakah belanja negara tidak dinikmati oleh rakyat tetapi para pemberi utang? Silakan disimpulkan sendiri ya...
Sayang sekali, APBN yang semestinya berfungsi sebagai katalis penggerak sektor swasta belum berfungsi optimal pada pemerintahan Jokowi periode I. APBN masih banyak terpusat untuk pembayaran belanja barang dan bunga utang, yang dampak ekonominya minim.
Oleh karena itu, mari berharap Jokowi mampu memperbaikinya pada pemerintahan jilid II. Jokowi sering mengatakan dia akan tanpa beban pada 2019-2024 karena tidak bisa dipilih lagi. Semoga tanpa beban itu termasuk lebih berani membuat APBN berpihak kepada kepentingan rakyat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Kalau menggunakan indikator pertumbuhan belanja di masing-masing kelompok, maka belanja barang adalah yang paling tinggi. Sepanjang 2015-2018, anggaran belanja barang tumbuh rerata 18,71%.
Memang ada harapan belanja ini punya trickle down effect ke perekonomian. Misalnya perjalanan dinas abdi negara ke luar kota, bisa menggerakkan sektor transportasi, perhotelan, dan restoran.
Namun seberapa besar dampaknya dibandingkan belanja bersifat investasi seperti pembangunan infrastruktur? Menurut kajian Bank Indonesia (BI), setiap 1% tambahan pengeluaran pemerintah berbasis konsumsi akan meningkatkan output perekonomian sebesar 0,03% dalam jangka panjang.
Sementara untuk pengeluaran berbasis investasi seperti belanja modal, setiap peningkatan 1% akan menambah output ekonomi 0,2% dalam jangka panjang. Jadi dampak belanja negara akan lebih besar dirasakan oleh rakyat jika pemerintah lebih rajin berinvestasi, bukan cuma mengonsumsi.
Kemudian di bawah belanja barang ada pengeluaran pembayaran bunga utang yang juga tumbuh tinggi. Sepanjang 2015-2018, anggaran pembayaran bunga utang tumbuh rata-rata 17,92%.
Penarikan utang di pemerintahan Jokowi periode I memang tinggi. Pada 2014, ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonoo (SBY) berakhir, nominal utang pemerintah adalah Rp 2.608,78 triliun. Pada akhir 2018, jumlahnya membengkak 69,36%. Sepanjang 2015-2018, nilai utang pemerintah rata-rata tumbuh 14,15%.
Semakin menyedihkan ketika kita melihat perkembangan belanja negara secara keseluruhan. Sepanjang 2015-2018, belanja negara hanya tumbuh 5,69%. Jauh di bawah pertumbuhan pembayaran bunga utang.
Artinya, porsi pembayaran utang dalam belanja negara membengkak. Apakah belanja negara tidak dinikmati oleh rakyat tetapi para pemberi utang? Silakan disimpulkan sendiri ya...
Sayang sekali, APBN yang semestinya berfungsi sebagai katalis penggerak sektor swasta belum berfungsi optimal pada pemerintahan Jokowi periode I. APBN masih banyak terpusat untuk pembayaran belanja barang dan bunga utang, yang dampak ekonominya minim.
Oleh karena itu, mari berharap Jokowi mampu memperbaikinya pada pemerintahan jilid II. Jokowi sering mengatakan dia akan tanpa beban pada 2019-2024 karena tidak bisa dipilih lagi. Semoga tanpa beban itu termasuk lebih berani membuat APBN berpihak kepada kepentingan rakyat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru)
Pages
Most Popular