
RI Mau Gaspol Mobil Listrik, Belajar Dulu dari Konversi BBG
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
08 August 2019 15:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Masalah polusi udara di Jakarta tidak dapat lagi dianggap sepele. Mengutip AirVisual, kualitas udara Jakarta pada siang hari sering berstatus tidak sehat.
Bahkan akhir-akhir ini penampakan polusi udara di Jakarta dapat dilihat dengan kasat mata. Seringkali penduduk mendapati udara Jakarta seperti diliputi kabut asap sehingga jarak pandang berkurang.
![]() |
Dampaknya juga bukan hanya pemandangan. Dalam laporan yang disusun oleh Bank Dunia, polusi udara di Indonesia berisiko mengurangi potensi perekonomian sekitar 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya di tahun 2018, kerugian ekonomi Indonesia akibat polusi mencapai Rp 140 triliun.
Untuk itu, diperlukan solusi yang tepat untuk mengusir polusi udara secara berkelanjutan.
Berdasarkan data dari Breathe Easy Jakarta, penyumbang polusi utama di Jakarta adalah transportasi, termasuk transportasi. Andil transportasi pada polusi di Jakarta mencapai 46% di tahun 2012.
![]() Sumber:Breathe Easy Jakarta |
Diprediksi hingga tahun 2030 transportasi masih akan menjadi penyumbang polusi terbesar di Jakarta dengan andil sekitar 43%.
Itu artinya perlu perhatian lebih pada sektor transportasi untuk benar-benar membuat Jakarta minim polusi udara.
Konversi BBG
Sebenarnya sudah ada kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi polusi udara. Bahkan sudah sejak lama hal itu diupayakan.
Mungkin sebagian masyarakat masih ingat pada tahun 2012 silam, pemerintah sempat sangat bersemangat untuk mengkonversi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor menjadi Bahan Bakar Gas.
Saat itu pemerintah di tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mensinergikan beberapa kementerian untuk mempercepat proses konversi dari BBM ke BBG. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyediakan infrastruktur dan pasokan gas, Kementerian Perindustrian membangun bengkel kendaraan dan menyediakan converter-kit, sementara Kementerian Perhubungan membuat aturan kelayakan bagi kendaraan BBG.
Meskipun ada tujuan lain dibalik upaya konversi tersebut, yaitu pemanfaatan sumber daya gas alam yang melimpah, namun ada pula keuntungan perihal gas buang.
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), emisi BBG jauh lebih kecil dibanding BBM. Penggunaan BBM dapat mengurangi emisi CO sebesar 95%, CO2 sebesar 25%, HC sebesar 80%, dan NOx sebesar 30%.
Namun sayangnya, proses konversi ini berjalan dengan sangat lambat.
Hingga hari ini, mobil yang menggunakan BBG di Jakarta masih sangat jarang ditemui. Pada tahun 2016 jumlahnya tidak sampai 10.000 unit. Bandingkan dengan jumlah mobil BBM yang sangat banyak. BPS mencatat ada 3,52 juta mobil pelat B alias yang terdaftar di DKI Jakarta pada tahun 2016.
Selain itu, infrastruktur pendukung BBG juga sangat minim. Hingga tahun 2018 saja hanya ada sekitar 20-an Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas yang ada di Jakarta. Sementara jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mencapai lebih dari 262.
Padahal sudah sejak lama program konversi tersebut dilakukan.
Pemberian insentif yang rasanya kurang greget membuat proyek konversi BBM ke BBG terhambat. Pemerintah sudah sempat membagikan converter kit gratis kepada 5.000 orang. Namun apalah artinya lima ribu dibanding tiga juta? Sangat sedikit.
Selanjutnya pemerintah juga tidak memberlakukan peraturan yang memaksa untuk beralih menggunakan BBG. Tidak ada pula produsen mobil yang diharuskan membuat mobil BBG.
Selain itu, infrastruktur yang dibangun untuk mendukung konversi tersebut sangat minim.
Strategi pemberian insentif yang minim tersebut sudah terbukti tidak berhasil. Seharusnya pemerintah sadar akan hal itu dan tidak melakukan kesalahan yang sama dengan kehadiran solusi yang akan datang.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Kendaraan Listrik Sudah di Depan Mata
Kendaraan Listrik Sudah di Depan Mata
Kini, perkembangan teknologi yang semakin pesat membuat aplikasi masal kendaraan listrik bukan lagi sekedar mimpi.
Lebih hebat dari BBG, kendaraan listrik sama sekali tidak menghasilkan emisi. Artinya, jika 3 juta mobil dan 13 juta motor yang ada di Jakarta seluruhnya merupakan kendaraan listrik, Jakarta bisa memangkas sekitar 40% polusi udara.
Namun sayang, saat ini harga baterai untuk kendaraan listrik masih relatif mahal. Menurut analis konsultan Wood McKenzie, Sushant Gupta, teknologi baterai saat ini membuat harga jual kendaraan listrik 30% lebih mahal ketimbang kendaraan konvensional.
Lagi-lagi tanpa adanya insentif dari pemerintah, sulit untuk mempercepat konversi ke kendaraan listrik.
Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang mencoba menggunakan kendaraan listrik. Contohnya Perusahaan Taxi kenamaan, Blue Bird, yang beberapa bulan lalu memperkenalkan 30 armada taksi mobil listrik. Memang jumlahnya baru sedikit, namun perusahaan menargetkan untuk memiliki 2.000 armada taxi listrik pada 2025 mendatang.
Namun, keberhasilan konversi energi ini baru bisa dikatakan berhasil jika pengguna pribadi telah secara sukarela menggunakan kendaraan listrik. Pengguna pribadi akan sangat sensitif terhadap komponen-komponen biaya.
Dalam hal ini, sebenarnya sudah ada sinyal positif bahwa listrik bisa jadi sumber energi transportasi masa depan. Peminatnya sudah ada.
Namun, keberhasilan konversi energi ini baru bisa dikatakan berhasil jika pengguna pribadi telah secara sukarela menggunakan kendaraan listrik. Pengguna pribadi akan sangat sensitif terhadap komponen-komponen biaya.
Dalam hal ini, sebenarnya sudah ada sinyal positif bahwa listrik bisa jadi sumber energi transportasi masa depan. Peminatnya sudah ada.
Produsen motor listrik asal Indonesia, PT Gesits Techlologies Indo (GTI) mengatakan sudah berhasil menjual 1.200 unit motor listrik bernama "Gesits" hingga ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2019 bulan Mei silam.
Hal itu memberi sinyal bahwa Kondisi saat ini cukup antusias menyambut kehadiran teknologi kendaraan listrik. Hal ini sangat jauh berbeda dengan proses konversi BBM ke BBG dulu yang sempat diliputi ketakutan akan insiden ledakan tanki gas.
Maka dari itu, dorongan pemerintah mutlak diperlukan untuk mempercepat penggunaan kendaraan listrik di Jakarta.
Belajar dari kasus BBG, insentif yang setengah-setengah terbukti tak mampu mengubah gaya hidup masyarakat yang sudah nyaman dengan BBM. Baik dari ketersediaan infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian daya baterai maupun insentif yang mempengaruhi harga kendaraan perlu diberikan secara masif dan merata.
Hal itulah yang sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan rintisan (startup) demi mendapatkan pelanggan. Tanpa adanya promo-promo yang masif, aplikator ojek online seperti Gojek dan Grab tampaknya akan kesulitan untuk menarik minat konsumen sehingga mau menggunakan layanan.
Strategi insentif berupa promo yang dilakukan oleh para startup tersebut juga sudah terbukti berhasil. Hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun kedua perusahaan tersebut mampu membuat ojek online menjadi sektor yang melibatkan jutaan orang di dalamnya, baik mitra pengemudi, maupun pelanggan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Atasi Polusi, Jonan Usul Jakarta Pakai Cara China Ini
Most Popular