Di Balik Uni Eropa Mati-Matian Lawan Sawit RI

Efrem Siregar, CNBC Indonesia
31 July 2019 21:20
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan kembali di balik perlawanan Uni Eropa soal sawit.
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa Uni Eropa (UE) akan memakai segala cara untuk menghambat impor produk sawit Indonesia. Sebab UE tidak memiliki lahan yang cocok untuk menanam sawit. Belum lama ini UE, menerapkan tarif anti subsidi terhadap produk biodiesel Indonesia.

"Dia (UE) tidak bisa menanam kelapa sawit di negaranya sehingga akhirnya terjadi segala upaya habis-habisan untuk mencoba menahan sawit," kata Darmin dalam diskusi Sustainable Program Sawit Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/7/2019).

Dia memberi perbandingan pada produk minyak nabati yang dihasilkan di Eropa, seperti soybean, sunflower, dan rapeseed. Untuk Soybean, katanya, produktivitas hanya sebesar 0,4 ton per hektare, Sunflower 0,6 ton per hektare, Rapeseed 0,7 ton per hektare.


"Coba tebak kelapa sawit berapa? Sawit 4 ton per hektare. Berapa kali dari minyak-minyak itu? Antara 6-10 kali produktivitasnya. Jadi kalau dibuka dan diadu, diapakan aja mesti kalah," kata Darmin.

 Darmin menceritakan bahwa Eropa kali pertama menyadari terpukul lewat produk biofuel sawit. Tuduhan subsidi pun dilancarkan, namun pada akhirnya Indonesia memenangkan gugatan di WTO pada tahun 2017.

"Dalam beberapa tahun kita naik 4 kali lipat. Dia kemudian menggugat. Kita waktu itu melahirkan BPDP (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Dia bilang ini subsidi dan tuduhan subsidi itu resmi disampaikan dan mulai menerapkan bea anti-dumping. Kita maju ke WTO dan 2017 kita menang," kata Darmin.

Kini, UE akan menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) terhadap impor biodiesel dari Indonesia terkait dugaan subsidi pada produk sawit. Besarannya berkisar antara 8-18% dan dijadwalkan mulai berlaku 6 September 2019. Sebelumnya juga parlemen UE pernah mengeluarkan Delegated Act Renewable Energy Directive (RED) II pada 2018.

Untuk menangkal sentimen negatif atas sawit Indonesia, pelaku usaha dan pemerintah berusaha meyakinkan global dengan mengampanyekan sustainable development. Salah satunya dengan menerapkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai tandingan dari RSPO yang dibidani oleh UE. Perpres ISPO sendiri, kata Darmin, akan diupayakan rampung pada tahun ini.

Sementara itu pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan bahwa isu negatif akan sawit yang berakibat pada pemasaran perlu dilawan dengan komitmen untuk menjalankan pengelolaan hutan berkelanjutan.

"Isu ini bisa menghambat industri sawit Indonesia. Kami akan terus meyakinkan publik dunia bahwa Indonesia sudah berkomitmen menjalankan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan seperti ditetapkan Millenium Develoment Goals dan Sustainable Development Goals sehingga seharusnya tidak ada lagi isu bagi industri sawit Indonesia di pasar Uni Eropa," kata Rosan.



Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono juga menilai perlunya narasi positif dalam industri sawit Indonesia. Kampanye sustainable perlu dilakukan sungguh-sungguh.

Selain itu dia berharap pemerintah dapat melakukan penguatan hubungan perdagangan bilateral dengan perjanjian perdagangan.


(hoi/hoi) Next Article Serang Balik Eropa, RI Dikabarkan Hambat Miras & Susu Impor

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular