Sawit RI Diganggu, Menlu Retno Tegas ke Pejabat Uni Eropa

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
02 June 2021 15:50
Pernyataan Menlu RI Retno Marsudi dalam Pertemuan Majelis Umum PBB mengenai Palestina. (tangkapan Layar Youtube MoFA Indonesia)
Foto: Pernyataan Menlu RI Retno Marsudi dalam Pertemuan Majelis Umum PBB mengenai Palestina. (tangkapan Layar Youtube MoFA Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Lestari Priansari Marsudi kembali membicarakan isu diskriminasi kelapa sawit Indonesia di Eropa dalam pertemuan bilateral dengan Josep Borrell Fontelles, Perwakilan Tinggi Persatuan Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan (HR/VP) Uni Eropa (UE).

Kepada Borrell, Retno mengatakan pemerintah Indonesia serius dalam menghasilkan kelapa sawit secara berkelanjutan. Pemerintah RI, kata Retno, juga terus memperkuat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Selama ini produksi sawit berkelanjutan ada di tangan Uni Eropa dan para anggotanya melalui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

"Saya dan HRVP Borrell mendiskusikan kembali isu kelapa sawit Indonesia. Permintaan Indonesia sederhana, agar kelapa sawit Indonesia diperlakukan secara fair," kata Retno dalam keterangan pers virtual pada Rabu (2/6/2021).

"Saya sampaikan keseriusan pemerintah menghasilkan kelapa sawit secara berkelanjutan dan terus memperkuat ISPO," lanjutnya.

Retno juga menyampaikan jika melakukan kerja sama ekonomi dan perdagangan yang adil, tidak diskriminatif dan terbuka akan membantu percepatan pemulihan ekonomi.

Sementara itu Borrell mengatakan setuju untuk menangani isu kelapa sawit di Indonesia secara bersama-sama. UE sendiri juga masih mengimpor kekurangan 25% minyak kelapa sawit.

"Hubungan kita harus lebih luas lagi mencakup isu-isu lain juga. Tentu isu minyak sawit menghambat hubungan kita, tapi kita harus mengatasi masalah itu," kata Borrell.

"Saya tahu betapa pentingnya minyak sawit bagi masyarakat Indonesia dalam mengatasi kemiskinan. Kita harus cari solusi yang mengatasi isu keberlanjutan dan ekonomi," tambahnya.

Selain membahas isu kelapa sawit, keduanya juga bertukar pikiran mengenai komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi. Menurut Retno, pembangunan hijau dan berkelanjutan merupakan prioritas Indonesia.

Awal Sengketa Sawit

Sejak akhir Januari 2020 lalu, pemerintah Indonesia melakukan gugatan terhadap Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan yang mendiskriminasi produk sawit dan turunannya. Kebijakan yang mendiskriminasi sawit tersebut adalah Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE.

regulasi Uni Eropa yang cenderung mendiskreditkan CPO di antaranya Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act). RED II adalah kebijakan Uni Eropa terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030.

Kebijakan ini menetapkan Uni Eropa wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energi melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Untuk mendukungnya, Uni Eropa akan menerbitkan delegated act, yang isinya menetapkan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan berisiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi.

Kriteria ini dikenal sebagai konsep ILUC (indirect land use change/perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung). Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC. Di sinilah letak diskriminasi tersebut.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pembabatan Hutan Turun, Jokowi Ada Senjata Sakti Lawan Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular