
Kenapa KPPU Gagal Buktikan Ada Kartel di Bisnis Garam?
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
30 July 2019 19:57

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan 7 pelaku usaha tidak terbukti melakukan praktik kartel garam industri aneka pangan. Putusan dibacakan dalam sidang putusan perkara di ruang sidang KPPU, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Adapun 7 pelaku usaha yang menjadi terlapor di antaranya, PT GSA, SM, PT NGC, PT UCI, PT CGI, PT BMBP dan PT SLM. Dugaan kartel merupakan kasus yang diinisiasi oleh KPPU.
"Menimbang bahwa berdasarkan, penilaian, analisis dan kesimpulan serta melihat pasal 43 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 1999, Majelis Komisi memutuskan menyatakan bahwa terlapor 1, terlapor 2, terlapor 3, terlapor 4, terlapor 5, terlapor 6, dsn terlapor 7 tidak terbukti melanggar pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999," ucap Ketua Majelis Komisi Dinnie Melanie saat membacakan putusan perkara di ruang sidang KPPU, Jakarta.
Dugaan kartel perdagangan garam industri aneka pangan disebut terjadi pada 2015-2016 lalu. Pada awal 2015 industri makanan dan minuman mengalami kesulitan garam industri aneka pangan.
Importir melalui Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mendorong pemerintah untuk menetapkan kuota impor garam karena persediaan menipis. Para terlapor difasilitasi AIPGI diketahui membuat perjanjian untuk menentukan kuota impor masing-masing pada Mei 2015.
Dari sini, mereka diduga melakukan pengaturan produksi dan diduga melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Untuk dugaan kartel, hal ini diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Namun, dalam sidang pembacaan putusan perkara, salah satu perusahaan dinyatakan tidak mendapat kuota impor. Selain itu, unsur mempengaruhi harga juga tidak terpenuhi dalam kasus ini.
"Tidak ada kesamaan dalam menaikkan harga sehingga perjanjiannya tidak menyebabkan kenaikan harga kepada konsumen," kata anggota Majelis Komisi Guntur Saragih kepada awak media usai sidang.
Majelis komisi, kata Guntur, menilai kenaikan harga garam masih dianggap di ambang batas wajar karena memasukkan faktor inflasi dalam analisis.
"Beberapa kenaikan dianggap tidak signifikan," ucapnya.
Tidak terpenuhinya unsur mempengaruhi harga ini kemudian membuat dugaan praktik kartel tidak terbukti meski unsur lainnya seperti perjanjian, adanya pelaku usaha, mengatur produksi sebagaimana diatur dalam pasal 11 terpenuhi. Menurut Guntur, dalam hukum formil seluruh unsur harus terpenuhi agar dugaan kartel terbukti.
(hoi/hoi) Next Article Putusan Kasus Kartel Garam akan Diketok Malam Ini
Adapun 7 pelaku usaha yang menjadi terlapor di antaranya, PT GSA, SM, PT NGC, PT UCI, PT CGI, PT BMBP dan PT SLM. Dugaan kartel merupakan kasus yang diinisiasi oleh KPPU.
"Menimbang bahwa berdasarkan, penilaian, analisis dan kesimpulan serta melihat pasal 43 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 1999, Majelis Komisi memutuskan menyatakan bahwa terlapor 1, terlapor 2, terlapor 3, terlapor 4, terlapor 5, terlapor 6, dsn terlapor 7 tidak terbukti melanggar pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999," ucap Ketua Majelis Komisi Dinnie Melanie saat membacakan putusan perkara di ruang sidang KPPU, Jakarta.
Dugaan kartel perdagangan garam industri aneka pangan disebut terjadi pada 2015-2016 lalu. Pada awal 2015 industri makanan dan minuman mengalami kesulitan garam industri aneka pangan.
Importir melalui Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) mendorong pemerintah untuk menetapkan kuota impor garam karena persediaan menipis. Para terlapor difasilitasi AIPGI diketahui membuat perjanjian untuk menentukan kuota impor masing-masing pada Mei 2015.
Dari sini, mereka diduga melakukan pengaturan produksi dan diduga melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Untuk dugaan kartel, hal ini diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Namun, dalam sidang pembacaan putusan perkara, salah satu perusahaan dinyatakan tidak mendapat kuota impor. Selain itu, unsur mempengaruhi harga juga tidak terpenuhi dalam kasus ini.
"Tidak ada kesamaan dalam menaikkan harga sehingga perjanjiannya tidak menyebabkan kenaikan harga kepada konsumen," kata anggota Majelis Komisi Guntur Saragih kepada awak media usai sidang.
Majelis komisi, kata Guntur, menilai kenaikan harga garam masih dianggap di ambang batas wajar karena memasukkan faktor inflasi dalam analisis.
"Beberapa kenaikan dianggap tidak signifikan," ucapnya.
Tidak terpenuhinya unsur mempengaruhi harga ini kemudian membuat dugaan praktik kartel tidak terbukti meski unsur lainnya seperti perjanjian, adanya pelaku usaha, mengatur produksi sebagaimana diatur dalam pasal 11 terpenuhi. Menurut Guntur, dalam hukum formil seluruh unsur harus terpenuhi agar dugaan kartel terbukti.
(hoi/hoi) Next Article Putusan Kasus Kartel Garam akan Diketok Malam Ini
Most Popular