
Negosiasi Dagang AS-China Dimulai di Shanghai, Damai Nih?
Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
30 July 2019 11:44

Shanghai, CNBC Indonesia - Perwakilan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan China akan kembali bertemu untuk melanjutkan negosiasi dagang. Pertemuan akan digelar di Shanghai, China, pada Selasa (30/7/2019).
Perwakilan AS dipimpin oleh Perwakilan Dagang AS Robert Lightizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin. Sedangkan perwakilan China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong San.
Namun, satu pertanyaan masih menggantung, apakah damai dagang akan terwujud kali ini? Sebab, dari berbagai pernyataan, kedua belah pihak masih belum yakin bahwa pembicaraan kali ini akan mencapai kata sepakat.
Sekadar gambaran, negosiasi di Shanghai akan menjadi diskusi tatap muka pertama sejak negosiasi pada Mei gagal. Ini karena Presiden AS Donald Trump menuduh China ingkar janji.
Hingga saat ini, Washington dan Beijing saling mengenakan tarif satu sama lain senilai lebih dari US $ 360 miliar. Negosiasi terjadi tepat saat Beijing menghadapi tekanan atas kerusuhan yang sedang berlangsung di Hong Kong.
Beberapa hari sebelum pertemuan di Shanghai, Trump mengancam akan mencabut status negara berkembang China di World Trade Organization (WTO). SementaraChina membalas dengan jawaban tentang "arogansi dan keegoisan" AS, yang menurut media pemerintah menggunakan tekanan menjelang pembicaraan perdagangan.
Pada Jumat lalu, Trump mengaku percaya negosiator China akan menunda kesepakatan sampai pemilihan presiden AS tahun depan usai. Dikutip Straits Times, Selasa (30/7/2019), Trump juga mengatakan, "Ketika saya menang, mereka semua akan menandatangani kesepakatan."
Trump juga membuat marah pihak China, dengan menyatakan perlambatan ekonomi memaksa mereka untuk membuat perjanjian perdagangan, dan memasukkan raksasa telekomunikasi Huawei ke dalam daftar hitam terkait masalah keamanan nasional.
Tetapi, dimulainya negosiasi perdagangan dilihat sebagai hal yang positif (walaupun hanya sedikit yang bisa diharapkan), setelah gencatan senjata yang disepakati antara Trump dan Presiden China Xi Jinping di G-20 Juni lalu.
"Secara realistis, pembicaraan kali ini memperjelas di mana kedua belah pihak berdiri setelah jeda yang signifikan dalam keterlibatan satu sama lain," kata Wakil Presiden Senior di Dewan Bisnis AS-China Jake Parker.
Langkah penting
Negosiasi dagang di Shanghai juga merupakan jalan untuk membangun hubungan yang lebih baik antara kedua negara. Seperti dijelaskan di awal, China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong Shan.
"Menteri Zhong Shan, seperti Liu He, adalah anggota Komite Sentral Kongres Partai ke-19, sehingga keterlibatannya akan menunjukkan peningkatan partisipasi dari pihak China," kata Parker.
Steven Mnuchin mengatakan kepada CNBC Internasional pekan lalu, masih ada banyak masalah. Apalagi setelah harian pemerintah China, The Global Times, menulis bahwa "secara luas diyakini bahwa pembicaraan perdagangan akan memakan waktu lama."
Kemungkinan akan ada "konsesi sederhana yang ditempuh", kata Stephen Innes, analis di Vanguard Markets Singapura. Misalnya terkait pembelian baru produk pertanian AS di China atau jeda kenaikan tarif lebih lanjut pada ekspor China ke AS.
"Setelah satu bulan ketegangan yang meningkat, kesepakatan apa pun praktis akan menjadi positif," ujar Innes.
Satu hal yang pasti, perang dagang antara AS-China telah menghadirkan kekhawatiran di kalangan perusahaan AS. Apalagi di saat sekarang di mana laporan keuangan perusahaan dipaparkan.
Menurut data Refinitiv, per Senin (29/7/2019), sudah ada sekitar 76% dari 222 perusahaan yang telah melaporkan pendapatan mereka lebih tinggi dari ekspektasi analis, sejalan dengan tren baru-baru ini. Namun, pendapatan kuartal ketiga diperkirakan turun 0,6% dari tahun lalu.
Sementara itu, dari perusahaan yang tergabung di S&P 500 yang telah melaporkan pendapatan kuartal kedua, ada 77% perusahaan yang berfokus pada ekspor yang telah melaporkan pendapatannya lebih tinggi dari ekspektasi analis sejauh ini. Sedangkan untuk perusahaan yang berfokus pada ekonomi domestik, baru 66% yang telah melaporkan pendapatannya melampaui ekspektasi hingga saat ini, menurut analisis Credit Suisse.
Namun, menurut data IBES dari Refinitiv, laba bersih perusahaan-perusahaan S&P 500 diperkirakan hanya akan naik 0,6% pada kuartal kedua dibandingkan tahun lalu. Padahal pada periode yang sama tahun lalu laba bersih telah melonjak 24,9% akibat dari langkah pemotongan pajak AS.
Patrick Palfrey, seorang analis di Credit Suisse, mengatan hasil itu menunjukan bahwa perusahaan yang berorientasi ekspor merasa perang dagang tidak sebesar yang diperkirakan investor.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Panas! China Ancam AS Gegara 'Penindasan' Atas Huawei Cs
Perwakilan AS dipimpin oleh Perwakilan Dagang AS Robert Lightizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin. Sedangkan perwakilan China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong San.
Namun, satu pertanyaan masih menggantung, apakah damai dagang akan terwujud kali ini? Sebab, dari berbagai pernyataan, kedua belah pihak masih belum yakin bahwa pembicaraan kali ini akan mencapai kata sepakat.
Hingga saat ini, Washington dan Beijing saling mengenakan tarif satu sama lain senilai lebih dari US $ 360 miliar. Negosiasi terjadi tepat saat Beijing menghadapi tekanan atas kerusuhan yang sedang berlangsung di Hong Kong.
Beberapa hari sebelum pertemuan di Shanghai, Trump mengancam akan mencabut status negara berkembang China di World Trade Organization (WTO). SementaraChina membalas dengan jawaban tentang "arogansi dan keegoisan" AS, yang menurut media pemerintah menggunakan tekanan menjelang pembicaraan perdagangan.
Pada Jumat lalu, Trump mengaku percaya negosiator China akan menunda kesepakatan sampai pemilihan presiden AS tahun depan usai. Dikutip Straits Times, Selasa (30/7/2019), Trump juga mengatakan, "Ketika saya menang, mereka semua akan menandatangani kesepakatan."
Trump juga membuat marah pihak China, dengan menyatakan perlambatan ekonomi memaksa mereka untuk membuat perjanjian perdagangan, dan memasukkan raksasa telekomunikasi Huawei ke dalam daftar hitam terkait masalah keamanan nasional.
Tetapi, dimulainya negosiasi perdagangan dilihat sebagai hal yang positif (walaupun hanya sedikit yang bisa diharapkan), setelah gencatan senjata yang disepakati antara Trump dan Presiden China Xi Jinping di G-20 Juni lalu.
"Secara realistis, pembicaraan kali ini memperjelas di mana kedua belah pihak berdiri setelah jeda yang signifikan dalam keterlibatan satu sama lain," kata Wakil Presiden Senior di Dewan Bisnis AS-China Jake Parker.
Langkah penting
Negosiasi dagang di Shanghai juga merupakan jalan untuk membangun hubungan yang lebih baik antara kedua negara. Seperti dijelaskan di awal, China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He dan Menteri Perdagangan Zhong Shan.
"Menteri Zhong Shan, seperti Liu He, adalah anggota Komite Sentral Kongres Partai ke-19, sehingga keterlibatannya akan menunjukkan peningkatan partisipasi dari pihak China," kata Parker.
Steven Mnuchin mengatakan kepada CNBC Internasional pekan lalu, masih ada banyak masalah. Apalagi setelah harian pemerintah China, The Global Times, menulis bahwa "secara luas diyakini bahwa pembicaraan perdagangan akan memakan waktu lama."
Kemungkinan akan ada "konsesi sederhana yang ditempuh", kata Stephen Innes, analis di Vanguard Markets Singapura. Misalnya terkait pembelian baru produk pertanian AS di China atau jeda kenaikan tarif lebih lanjut pada ekspor China ke AS.
"Setelah satu bulan ketegangan yang meningkat, kesepakatan apa pun praktis akan menjadi positif," ujar Innes.
Satu hal yang pasti, perang dagang antara AS-China telah menghadirkan kekhawatiran di kalangan perusahaan AS. Apalagi di saat sekarang di mana laporan keuangan perusahaan dipaparkan.
Menurut data Refinitiv, per Senin (29/7/2019), sudah ada sekitar 76% dari 222 perusahaan yang telah melaporkan pendapatan mereka lebih tinggi dari ekspektasi analis, sejalan dengan tren baru-baru ini. Namun, pendapatan kuartal ketiga diperkirakan turun 0,6% dari tahun lalu.
Sementara itu, dari perusahaan yang tergabung di S&P 500 yang telah melaporkan pendapatan kuartal kedua, ada 77% perusahaan yang berfokus pada ekspor yang telah melaporkan pendapatannya lebih tinggi dari ekspektasi analis sejauh ini. Sedangkan untuk perusahaan yang berfokus pada ekonomi domestik, baru 66% yang telah melaporkan pendapatannya melampaui ekspektasi hingga saat ini, menurut analisis Credit Suisse.
Namun, menurut data IBES dari Refinitiv, laba bersih perusahaan-perusahaan S&P 500 diperkirakan hanya akan naik 0,6% pada kuartal kedua dibandingkan tahun lalu. Padahal pada periode yang sama tahun lalu laba bersih telah melonjak 24,9% akibat dari langkah pemotongan pajak AS.
Patrick Palfrey, seorang analis di Credit Suisse, mengatan hasil itu menunjukan bahwa perusahaan yang berorientasi ekspor merasa perang dagang tidak sebesar yang diperkirakan investor.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Panas! China Ancam AS Gegara 'Penindasan' Atas Huawei Cs
Most Popular