Belum Yakin Ekonomi Indonesia Loyo? Ini Buktinya

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 July 2019 17:48
Investasi Melempem
Foto: Progres konstruksi Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) makin dikebut dengan telah selesainya proses perakitan mesin Tunnel Boring Machine (TBM) yaitu alat bor raksasa yang didatangkan khusus dari Zhanghuabang Wharf, Shanghai Tiongkok. Sejak pertama kali dirakit pada pertengahan Februari 2019, alat bor raksasa ini kini segera dioperasikan menembus lapisan tanah di bawah tol Cikampek mulai KM 3 300, dari arah Jakarta. (Dok. KCIC)
Salah satu hal yang menyebabkan loyonya pertumbuhan ekonomi adalah melempemnya investasi. Bukan investasi di pasar modal yang dimaksud di sini, melainkan investasi riil. Kala Jokowi menggantikan kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014, penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI) tercatat melesat hingga 21,76% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat melambat signifikan menjadi 14,93%.

Namun dalam tiga tahun berikutnya (2016-2018), pertumbuhan PMDN selalu bisa dipacu di atas 20%. Bahkan pada tahun 2018, pertumbuhannya tercatat mencapai 25,28%. Pada kuartal I-2019, PMDN tercatat tumbuh sebesar 14,14% secara tahunan (year-on-year/YoY), cukup jauh di atas pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal I-2018) yang sebesar 11,05%.


Namun bagi Indonesia, yang terpenting itu bukanlah PMDN namun penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.

Celakanya, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.

Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Patut dicurigai, lemahnya penanaman modal oleh investor asing di Indonesia dipicu oleh banyaknya ketidakpastian kebijakan di era Jokowi.

Bank Dunia (World Bank) melakukan survei kepada 754 perusahaan internasional dan hasilnya dituangkan dalam publikasi berjudul Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018.

Tak Percaya Ekonomi Indonesia Loyo? Simak Deretan Buktinya!Foto: Faktor-faktor yang dianggap penting dalam menentukan lokasi penanaman modal
(Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018, World Bank)
Di posisi dua dari deretan faktor yang mempengaruhi keputusan investor dalam menentukan lokasi penanaman modal, ada poin kepastian hukum dan perundangan. Sebanyak 40% responden menganggap bahwa kepastian hukum merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka, sementara 46% menilainya sebagai faktor penting.

Nyaris lima tahun Jokowi memerintah, banyak kebijakan maju-mundur yang membuat kita geleng-geleng kepala.

Pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa pengguna jalan tol akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) dengan tarif sebesar 10%. Kebijakan ini rencananya akan mulai berlaku pada 1 April 2015.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER/10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol.

Namun, satu hari pasca kebijakan tersebut dikemukakan ke publik, pemerintah justru membatalkan kebijakan tersebut pasca menggelar rapat koordinasi.

Kemudian pada November 2016, pemerintah secara resmi meluncurkan paket kebijakan ekonomi jilid 16 yang diarahkan untuk mengatasi permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD). Salah satu poin dari paket kebijakan tersebut adalah revisi Daftar Negatif Investasi (DNI).

Kala itu, aturan turunan dari kebijakan tersebut belum diterbitkan. Namun, paket kebijakan tersebut menuai protes dari para politisi, pelaku usaha, hingga masyarakat umum. Pasalnya, investor asing rencananya diberi keleluasaan untuk mengakuisisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga 100%.

“Saya minta diganti. UMKM kan penyangga ekonomi kita jadi harus dilindungi. Masa sih urusan membersihkan umbi-umbian, warnet, mesti asing? Gak usahlah, itu UMKM aja,” tegas Maruarar Sirait yang merupakan Anggota Komisi XI DPR kala itu.

Pada akhirnya, pemerintah pun meralat kebijakan relaksasi DNI, terutama di sektor UMKM.

Kebijakan maju-mundur Jokowi lainnya terjadi juga pada Oktober 2018. Bahkan, ini bisa dibilang yang paling absurd. Kala itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga bensin jenis premium. Kacaunya, kebijakan sepenting ini seolah-olah menjadi ‘mainan’ bagi pemerintah.

Selang satu jam dari pengumuman kenaikan harga, Kementerian ESDM mengumumkan bahwa rencana kenaikan harga bensin jenis premium tersebut batal dieksekusi.

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Jonan dalam keterangan tertulisnya. (ank/ank)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular