Chevron Hengkang dari Proyek IDD, RI-AS Bisa Panas Dingin?

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
24 July 2019 07:46
Chevron Hengkang dari Proyek IDD, RI-AS Bisa Panas Dingin?
Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek pengembangan laut dalam (Indonesia Deepwater Development) menyisakan sejumlah masalah.

Hingga saat ini, proyek IDD tahap II Gendalo-Gehem masih belum berjalan. Tampaknya proses negosiasi pemerintah Indonesia dengan operator proyek, Chevron, berlangsung dengan cukup alot.

Gagasan proyek atas lapangan gas di Wilayah Kerja (WK) eksplorasi Rapak dan Ganal, Selat Makassar ini telah mencuat sejak tahun 2007. Pembahasan proyek sempat terhenti beberapa kali. Di 2018, bahkan Chevron melepas porsi di Selat Makassar.

Urusan biaya investasi seringkali membuat diskusi mentok. Awalnya, Chevron mengajukan nilai investasi proyek sebesar US$ 6,9 miliar kepada pemerintah pada tahun 2007.

Tapi karena harga minyak melonjak hingga menyentuh US$ 100/barel membuat Chevron berpikir ulang. Proposal biaya investasi pengembangan proyek (Plan of Development/POD) yang ditawarkan Chevron naik menjadi US$ 12 miliar di tahun 2014.

Sebagai informasi, angka investasi itu merupakan dana yang harus diberikan pemerintah kepada Chevron atas sebagai investment credit. Sejak saat itu hubungan pemerintah dengan Chevron meregang dan seringkali tarik ulur. Proses tawar menawar menjadi semakin alot.



Barulah pada Juni 2018, Chevron mau menurunkan biaya investasi IDD tahap II menjadi US$ 5 miliar. Itu pun setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, bertandang ke Washington untuk bernegosiasi dengan Chevron.

Jonan mengungkapkan penurunan biaya investasi bisa dilakukan karena adanya perubahan rencana teknologi yang digunakan pada proyek.

"Karena dulunya mau pakai FLNG (floating liquified natural gas) diganti dengan sistem Christmas Tree (sistem untuk mengekstrak gas)," ujar Jonan di Washingron, Senin (25/6/2018).

Kendati demikian, penurunan biaya investasi yang hampir 50% tersebut belum mampu mempercepat progres proyek IDD tahap II.

Sampai-sampai belum lama ini, sempat beredar desas-desus rencana penggantian operator IDD. Kabar tersebut diterima CNBC Indonesia dari seorang sumber di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK) hari Sabtu (20/7/2019).

Belakangan, Wakil Kepala SKK Migas Sukandar membantah perihal wacana pergantian operator IDD. "Tetap Chevron," ujar Sukandar melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Senin (22/7/2019).

Setelah dikonfirmasi, pihak Chevron masih enggan membeberkan lebih rinci terkait pembahasan dengan SKK Migas.

"Kami masih kontak secara reguler dengan SKK Migas. Bagaimanapun, sesuai dengan kebijakan kami, kami tidak bisa membuka rinci tentang pembahasan dengan SKK Migas tersebut," ujar Cameron Van Ast, External Affair Adviser Chevron Asia Pacific kepada CNBC Indonesia melalui surat elektronik.

Kini, masa depan proyek IDD masih gamang. Segala kemungkinan masih terbuka lebar.

BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Jika pemerintah benar-benar mendepak Chevron dari proyek IDD, maka ada kemungkinan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) bisa agak tegang.

Pasalnya, proyek migas dan mineral merupakan proyek yang erat kaitannya dengan hubungan politik suatu negara. Dalam hal ini, Chevron merupakan raksasa migas asal Negeri Paman Sam.

Mungkin kita masih ingat dengan proses alot negosiasi Blok migas Mahakam dengan pihak operator, Total (Prancis) dan Inpex (Jepang).

Pada akhir Desember 2017, kontrak Total dan Inpex atas pengelolaan Blok Mahakam habis, sesuai dengan jadwal. Kedua perusahaan tersebut telah mengelola blok migas terbesar tersebut selama 50 tahun sebelumnya. 

Pemerintah pun berencana mengalihkan operator kepada PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), yang mana merupakan anak perusahaan PT Pertamina.

Namun pada Maret 2017 atau sembilan bulan sebelum kontrak berakhir, Presiden Prancis saat itu Francois Hollande datang sendiri ke Indonesia. Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo.

Meskipun pemerintah membantah, namun kunjungan Hollande ke Indonesia menjadi sinyal keseriusan Prancis untuk bekerja sama dengan Indonesia. Melalui Total salah satunya.

Maka dari itu, hubungan baik Indonesia dengan AS berisiko meregang jika Chevron benar-benar 'ditendang'.

Terlebih saat ini, pucuk pimpinan AS dipegang oleh Donald Trump yang terkenal gemar melakukan kebijakan yang 'protektif'.

Salah satu yang paling santer adalah perang dagang dengan China, dimana Trump mengenakan tarif pada produk impor asa China senilai US$ 200 miliar. Alasan pengenaan tarif tersebut adalah defisit perdagangan yang cukup besar dengan China.

Risiko itulah yang harus dihadapi Indonesia. Terlebih saat ini AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.

Foto: Taufan Adharsyah


Pada tahun 2018, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan hingga US$ 8,56 miliar dengan AS. Itu merupakan surplus terbesar kedua diantara perdagangan Indonesia dengan negara lain. Sedikit lebih kecil dibanding surplus dengan India yang sebesar SU$ 8,7 miliar.

Tentu saja pertimbangan perdagangan bukan hal yang bisa dianggap enteng, terlebih dengan negara dimana Indonesia mendapatkan keuntungan.

Presiden Joko Widodo juga berkali-kali menekankan pentingnya menggenjot ekspor agar neraca transaksi berjalan Indonesia bisa terangkat. Hal itu sangat diperlukan karena transaksi berjalan merupakan komponen penting dalam stabilitas keuangan dalam negeri.

Sebagai contoh, sejak defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) muncul per akhir 2011, nilai tukar rupiah memiliki kecenderungan untuk terus melemah. Hingga saat ini.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 >>> Di sisi lain, Indonesia sangat membutuhkan tambahan produksi dari sumur migas yang besar.

Sebagai informasi, target jumlah lifting minyak bumi tahun 2019 sebesar 775 ribu barel/hari. Sementara target lifting gas sebesar 1.250 Mboepd.

Sumber: SKK Migas


Jumlah tersebut sudah jauh menurun sejak mencapai puncak pada tahun 1990, dimana lifting minyak 1,6 juta barel/hari dan lifting gas 1.127 Mboepd. Bahkan produksi migas Indonesia diprediksi masih akan turun setidaknya hingga tahun 2050.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa penurunan produksi migas disebabkan minimnya penemuan cadangan baru. Dalam 10 tahun terakhir contohnya, tidak ada penemuan cadangan migas raksasa (giant discovery). Dirinya mengungkapkan hal tersebut dalam Forum Fasilitas Produksi Migas 2019 di Semarang, Senin (15/7/2019).

Padahal, kebutuhan migas Indonesia selalu meningkat setiap tahun. Migas juga merupakan motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan sumber energi utama untuk keperluan logistik. Sementara gas banyak digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk pembangkit listrik. Artinya, tambahan produksi dari Blok migas baru akan sangat bermanfaat untuk Indonesia.

Sebagai informasi, estimasi produksi minyak pada proyek IDD tahap II Gendalo-Gehem mencapai 40 ribu barel/hari. Sedangkan produksi gas sebesar 1.120 Mmscfd.

Jika pada akhirnya pemerintah masih mempercayakan Chevron sebagai operator IDD, tidak ada jaminan akan segera terealisasi. Berkaca pada lambatnya proses negosiasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/gus) Next Article Konsumsi BBM Mulai Bengkak, Ini Kata Pertamina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular