
Penuh Derita, Industri Tekstil Kena Tsunami Perang Dagang
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 July 2019 18:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang AS-China benar-benar sudah menunjukkan dampak yang signifikan bagi perekonomian dunia. Bahkan, dampak dari perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sudah merembet ke Indonesia.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Pada hari Selasa (16/7/2019), S&P Global Ratings memutuskan untuk memangkas habis peringkat (rating) utang jangka panjang PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) beserta dengan surat utang berupa senior unsecured notes yang diterbitkan perusahaan, dari BB- menjadi CCC-.
Sebagai informasi, DMDT berada di bawah naungan Grup Duniatex yang merupakan pemain besar di industri tekstil tanah air. Tak tanggung-tanggung, pemangkasan yang dieksekusi oleh S&P langsung sebanyak enam level.
Dalam publikasinya, S&P menyebut bahwa DMDT berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Namun, S&P memproyeksikan bahwa perusahaan akan tetap mampu untuk membayar bunga dari senior unsecured notes senilai US$ 300 juta pada bulan yang sama. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki dana di interest reserve account untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga sekitar US$ 13 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Dalam beberapa bulan ke depan, S&P menilai bahwa penurunan likuiditas yang signifikan pada induk usaha DMDT yakni Grup Duniatex dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Pasalnya, kondisi likuiditas Grup Duniatex yang begitu ketat telah membuat anak usahanya yang lain, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang bergerak di bidang pemintalan, gagal memenuhi kewajiban utangnya mulai pekan kemarin.
S&P berpandangan bahwa ketatnya likuiditas dari Grup Duniatex, termasuk juga anak usahanya yang bergerak di bidang pemintalan seperti DDST, akan berdampak negatif pada kegiatan operasional DMDT. Hal ini lantaran DDST dan anak usaha lain yang bergerak di bidang pemintalan merupakan penyuplai utama untuk DMDT.
"Kami melihat bahwa kurangnya likuiditas yang mencukupi dan dukungan modal dari perbankan dapat menghambat produksi di perusahaan-perusahaan pemintalan," tulis S&P dalam publikasinya.
Perang dagang antara AS dengan China telah secara signifikan mempengaruhi perusahaan tekstil di Indonesia. Menurut catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat (dalam hal bea masuk) seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak bulan Mei.
Gempuran produk dari China tersebut membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Jika sampai DMDT tak mampu memenuhi kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019, S&P membuka kemungkinan untuk kembali memangkas peringkat perusahaan ke level Selective Default (SD). Bahkan, peringkat perusahaan bisa dipangkas hingga ke level D jika induk usahanya yakni Grup Duniatex memasukkan DMDT ke dalam skema restrukturisasi utang.
Dikutip dari halaman resmi S&P, peringkat SD diberikan kala S&P meyakini bahwa sebuah perusahaan telah gagal untuk melunasi surat utang tertentu yang diterbitkannya, namun akan tetap mampu untuk memenuhi kewajiban atas surat utang lainnya.
Sementara itu, peringkat D diberikan kala S&P meyakini bahwa sebuah perusahaan akan mengalami gagal bayar (baik secara sebagian maupun keseluruhan) atas seluruh surat utang yang diterbitkannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Pada hari Selasa (16/7/2019), S&P Global Ratings memutuskan untuk memangkas habis peringkat (rating) utang jangka panjang PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) beserta dengan surat utang berupa senior unsecured notes yang diterbitkan perusahaan, dari BB- menjadi CCC-.
Dalam publikasinya, S&P menyebut bahwa DMDT berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Namun, S&P memproyeksikan bahwa perusahaan akan tetap mampu untuk membayar bunga dari senior unsecured notes senilai US$ 300 juta pada bulan yang sama. Hal ini dikarenakan perusahaan memiliki dana di interest reserve account untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga sekitar US$ 13 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019.
Dalam beberapa bulan ke depan, S&P menilai bahwa penurunan likuiditas yang signifikan pada induk usaha DMDT yakni Grup Duniatex dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Pasalnya, kondisi likuiditas Grup Duniatex yang begitu ketat telah membuat anak usahanya yang lain, yakni PT Delta Dunia Sandang Tekstil (DDST) yang bergerak di bidang pemintalan, gagal memenuhi kewajiban utangnya mulai pekan kemarin.
S&P berpandangan bahwa ketatnya likuiditas dari Grup Duniatex, termasuk juga anak usahanya yang bergerak di bidang pemintalan seperti DDST, akan berdampak negatif pada kegiatan operasional DMDT. Hal ini lantaran DDST dan anak usaha lain yang bergerak di bidang pemintalan merupakan penyuplai utama untuk DMDT.
"Kami melihat bahwa kurangnya likuiditas yang mencukupi dan dukungan modal dari perbankan dapat menghambat produksi di perusahaan-perusahaan pemintalan," tulis S&P dalam publikasinya.
Perang dagang antara AS dengan China telah secara signifikan mempengaruhi perusahaan tekstil di Indonesia. Menurut catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat (dalam hal bea masuk) seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak bulan Mei.
Gempuran produk dari China tersebut membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Jika sampai DMDT tak mampu memenuhi kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 juta yang akan jatuh tempo pada September 2019, S&P membuka kemungkinan untuk kembali memangkas peringkat perusahaan ke level Selective Default (SD). Bahkan, peringkat perusahaan bisa dipangkas hingga ke level D jika induk usahanya yakni Grup Duniatex memasukkan DMDT ke dalam skema restrukturisasi utang.
Dikutip dari halaman resmi S&P, peringkat SD diberikan kala S&P meyakini bahwa sebuah perusahaan telah gagal untuk melunasi surat utang tertentu yang diterbitkannya, namun akan tetap mampu untuk memenuhi kewajiban atas surat utang lainnya.
Sementara itu, peringkat D diberikan kala S&P meyakini bahwa sebuah perusahaan akan mengalami gagal bayar (baik secara sebagian maupun keseluruhan) atas seluruh surat utang yang diterbitkannya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/dru) Next Article Era Biden-Harris, Perang Dagang AS-China Berlanjut?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular